Menurut Kepala Pusat PeneÂrangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Noor Rochmad, pihaknya telah meÂngajukan izin pemeriksaan para kepala daerah itu sebagai tersangÂka maupun saksi sejak 2005 hingga 2011.
Meski begitu, Noor yakin jika surat izin pemeriksaan 61 kepala daerah tersebut sudah tiba di meja kerja Presiden, maka Presiden akan menandatanganinya. “Yang jelas, saya yakin Presiden akan meÂnandatangani surat itu,†kaÂtanya, kemarin.
Namun, pihak Istana meraÂguÂkan, apakah betul sudah ada surat permintaan izin pemeriksaan 61 kepala daerah tersebut. “Kalau meÂmang ada, pasti dua atau tiga hari akan ditandatangani PresiÂden. PreÂsiden tidak pernah mengÂhambat suatu proses hukum apaÂbila meÂmang yang bersangkutan bersaÂlah,†kata Staf Khusus PreÂsiden Bidang Informasi, Heru Lelono yang dihubungi lewat telepon.
Heru mencontohkan, dirinya perÂnah mendapat pertanyaan dari perwakilan LSM dan kyai dari TeÂgal, Jawa Tengah mengenai peÂnanganan kasus dugaan korupsi Bupati Tegal. LSM dan kyai itu meÂnanyakan, apakah surat izin PreÂsiden untuk pemeriksaan BuÂpaÂti tersebut sudah keluar atau belum.
“Saya dikasih info, kejaksaan sudah mengirim ke Presiden. Saat rapat kabinet, saya langsung berÂtanya kepada Jaksa Agung. Saya taÂnya juga ke Seskab Pak Dipo Alam. Semingu kemudian saya menÂdapat jawaban, tidak ada surat permohoÂnan izin pemeriksÂaaÂn Bupati Tegal. Ini kan aneh,†katanya.
Heru menambahkan, Presiden memiliki political will yang baik terhadap upaya penegakan huÂkum dengan memberikan izin peÂmeriksaan terhadap beberapa keÂpala daerah, tidaklah didasari siapa kepala daerah yang diberiÂkan izin untuk diperiksa, baik oleh kejaksaan maupun kepoÂliÂsian. “Pak Presiden pernah bilang bahwa pemberantasan korupsi itu prioritas, tapi jangan terlalu muÂdah menjadikan seseorang terÂsangka. Sebaliknya, jika memang bukti-bukti sudah kuat, jangan ditunda penyelesaiannya.â€
Kemudian, Heru berjanji akan meÂÂminta informasi lebih lanjut keÂpada Sekretaris Pribadi PreÂsiden dan Menteri Sekretaris KaÂbiÂnet Dipo Alam. “Tadi saya langÂÂsung SMS Pak Dipo yang mungÂkin sedang di pesawat dari Bali untuk meminta jawabannya.â€
Tak berselang lama, Heru meÂngirim pesan singkat kepada RakÂyat Merdeka. Intinya, hingga keÂmarin tidak ada satu surat pun di meja Presiden mengenai perÂminÂtaan izin pemeriksaan 61 kepala daerah itu.
“Saya mendapatkan info dari Sekretaris Presiden, tiÂdak ada yang masuk terkait perÂmoÂhonan tersebut. Apabila sebeÂlum hari ini ada surat permintaan izin, maka sudah pasti diproses,†katanya.
Menurut Kapuspenkum KejaÂgung, dari 61 kasus kepala daerah itu, dua diantaranya ialah perkara dugaan korupsi yang membelit gubernur. Yakni, kasus dugaan koÂrupsi dengan tersangka GuÂbernur Kalimantan Timur Awang FaÂroek Ishak dan tersangka GuÂbernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin.
Namun, Kapuspenkum memÂbantah bahwa pihaknya tidak seÂrius atau menggantung kasus dua guÂbernur itu. “Kejaksaan berbeda deÂngan KPK yang memiliki keÂwenangan memeriksa kepala daeÂrah tanpa melalui izin Presiden. KaÂrena belum ada izin pemerikÂsaan, kejaksaan hanya bisa meÂnunggu. BuÂkan karena ada interÂvensi politik.â€
Disebutkan pula, berkas perÂbaikan permohonan izin pemeÂrikÂsaan Awang ke Sekretariat KaÂbinet sudah diajukan kejaksaan pada akhir Desember 2010. “BeÂlum ada permintaan perbaikan lagi. Kami hanya bisa meÂnunggu.â€
Meski begitu, Noor menamÂbahÂkan, sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika 60 hari sejak surat diterima Presiden, izin tak diberikan, maka penyidik bisa langsung memeriksa kepala daerah ataupun wakil kepala daeÂrah yang telah ditetapkan sebagai saksi atau tersangka.
Undang-undang itu, bahkan diÂperkuat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2009. Namun, menurutnya, dasar dua huÂkum itu belum kuat bagi kejakÂsaan. “Kami ingin membawa kaÂsus ini ke pengadilan secara semÂpurna. Jangan sampai ada celah yang bisa dimanfaatkan. Meski memang dalam waktu 2 kali 30 hari sejak suÂrat dikirim ke PreÂsiden, izin beÂlum juga turun, silakan langsung diÂlimpahkan ke pengadilan.â€
Gubernur Kaltim Dan Kalsel Jadi Tersangka
Dari 61 kepala daerah yang izin peÂmeriksaannya diajukan KeÂjaksaan Agung kepada Presiden, dua diantaranya ialah gubernur. Yakni, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak dan Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin.
Awang menjadi tersangka pada 9 Juli 2010. Jaksa Agung Muda PiÂdana Khusus (JAMPidsus) MuÂhamÂmad Amari menetapkan Awang sebagai tersangka kasus divestasi saham PT Kaltim Prima Coal.
Awang disangka merugikan negara Rp 576 miliar karena peÂngalihan, penjualan, dan pengÂguÂnaan dana hasil penjualan saham milik Pemerintah Kabupaten KuÂtai Timur pada PT Kaltim Prima Coal (PT KPC) oleh PT Kutai Timur Energi (PT KTE). Saat itu Awang menjabat sebagai Bupati Kutai Timur. Awang disangka meÂngambil keputusan pengÂguÂnaÂan hasil uang penjualan saham PT KTE yang bertentangan dengan cara pengelolaan keuangan daerah.
Dalam kasus ini, Kejagung leÂbih dulu menetapkan dua terÂsangÂka. Yaitu, Anung Nugroho, DiÂrekÂtur Utama PT Kutai Timur EnerÂgy dan Apidian Tri Wahyudi, DiÂrektur PT Kutai Timur Energy. Kasus ini juga terkait dengan penÂjualan saham PT KPC milik Pemda Kutai Timur oleh PT KÂuÂtai Timur Energy. Awang Faroek dalam kasus ini dijerat Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 ayat (5), Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan negara.
Namun, kasus itu hingga kini belum dapat terselesaikan karena kejaksaan masih menunggu izin Presiden. Menurut Amari, pihakÂnya sudah melampirkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kerugian negara kepada Sekretariat Kabinet, unÂtuk dilaporkan kepada Presiden.
“Kasus Awang masih berjalan. Tempo hari sudah kami kirimkan itu dari BPK, mudah-mudahan sudah tidak lama lagi,†katanya pada Kamis (20/1) di Gedung Bundar, Kejagung.
Sementara itu, Gubernur KaÂlimantan Selatan Rudy Arifin diÂtetapkan Kejagung sebagai teÂrÂsangka pada 28 September 2010. Rudy diduga terlibat korupsi pemberian uang santunan pembeÂbasan tanah eks PT Pabrik Kertas Martapura oleh panitia pengadaÂan tanah Kabupaten Banjar 2002-2003 senilai Rp 6,3 miliar.
Amari mengatakan, Rudy bertanggungjawab sebagai Ketua Panitia dalam pembebasan bekas lahan PT Pabrik Kertas MartaÂpura (PKM) tersebut. “Perannya Rudy Arifin sebagai Ketua PaÂnitia, kalau tak salah.â€
Sebelum jadi Gubernur, Rudy adalah Bupati Banjar. Dia meÂngetuai Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Banjar tahun 2002-2003, dan mengeluarkan Surat KeÂputusan tentang Pembentukan Tim Pengembalian dan PemanÂfaaÂtan eks Pabrik Kertas MartaÂpura tahun 2001.
SK tersebut diÂkeluarkan untuk membebaskan tanah Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama pemegang hak PT Golden MartaÂpura, milik Gunawan Sutanto.
Kemudian, Rudy menerbitkan SK Panitia Pengadaan Tanah KaÂbupaten Banjar, tentang bentuk dan besarnya santunan dalam rangka pengadaan tanah, pada 2002. Seharusnya, menurut KejaÂgung, tindakan pembebasan taÂnah milik PT Golden tidak dilaÂkukan, karena Rudy mengeÂtahui HGB-nya sudah berakhir masa berlakunya.
Akibatnya, negara diduga diruÂgiÂkan Rp 6,3 miliar. Kejaksaan juÂga belum meÂnganÂtongi izin unÂtuk memeriksa Rudy.
Duit Negara Habis Kalau Ditunda-tunda
Yenti Garnasih, Pengamat Hukum
Pengamat hukum dari UniÂversitas Trisakti, Yenti Garnasih bingung mendengar kesimÂpangÂsiuran proses hukum 61 pejabat daerah yang diduga korupsi. Tapi, menurutnya, jika memang Presiden belum memÂberikan izin, maka para kepala daerah itu tetap bisa diperiksa.
“Saya tidak mengerti, kenapa sampai terjadi kesimpangsiuran seperti ini. Yang satu mengaku sudah mengirim surat ke PreÂsiÂden, tapi pihak istana meneÂgasÂkan tidak ada surat yang masuk. Makanya, langsung saja diÂproses hukum tanpa menunggu surat izin,†katanya.
Menurut Yenti, korupsi mÂeÂruÂpakan perkara yang tidak bisa ditunda-tunda proses hukumÂnya karena merugikan keuÂaÂngan negara. “Kalau kasus korupsi sampai ditunda-tunda, maka uang negara bisa habis diÂmakan mereka yang melakukan korupsi,†ujar doktor bidang penÂcucian uang ini.
Dia menambahkan, jika KeÂjakÂsaan Agung tetap tidak meÂnindak 61 pejabat daerah yang diduga korupsi, maka sudah sewajarnya KPK segera meÂngamÂbil alih kasus-kasus terseÂbut. “Tidak bisa ditawar-tawar lagi, KPK harus ambil alih itu seÂmua. Soalnya, kita telah dikeÂceÂwakan dengan penanganan peÂrkara di kejaksaan,†tandasnya.
Yenti mengingatkan bahwa proses penindakan dalam kasus korupsi bukanlah sekadar menÂjebloskan pelakunya ke penjara. “Yang penting itu, uang negara yang telah dicuri balik lagi ke kas negara. Makanya, saya teÂkaÂnkan tadi bahwa proses huÂkum perkara korupsi tidak bisa ditunda-tunda,†katanya.
Dia menambahkan, korupsi yang dilakukan para pejabat neÂgara atau daerah telah meÂnÂciÂderai hukum di negeri ini. ApaÂlagi, katanya, dari sekian tahun masa reformasi berjalan, periÂlaku korupsi tidak hilang.
“Jangan salahkan hukumnya. Hukum sudah benar, yang tidak benar itu penegak hukumnya. KaÂlau seseorang sudah jelas berÂsalah karena korupsi, ya tinÂdak dong,†tandasnya.
Bisa Diperiksa Tanpa Izin
Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Dasrul Djabar meminta KejakÂsaan Agung segera tangani 61 pejabat daerah yang diduga korupsi tersebut. Soalnya, sejak diberlakukannya Undang-UnÂdang MD III, maka permintaan izin kepada Presiden tidak berlaku lagi.
“Tindak dong, jangan diÂdiamkan saja. Undang-Undang MD III telah menyebutkan bahÂwa pejabat daerah bisa langÂsung diperiksa tanpa izin dari Presiden. Jadi, alasan belum diÂterimanya surat izin dari PreÂsiÂden itu kurang tepat,†katanya.
Dasrul mengingatkan, UnÂdang-undang MD III meÂnyeÂbutkan ada tiga kriteria yang bisa dilakukan penindakan seÂcara langsung tanpa perlu izin dari Presiden.
“Pertama itu koÂrupsi, kedua narkoba dan ketiga terorisme. Kesimpulannya, apabila ada pejabat negara atau pejabat daeÂrah melakukan salah satu dari tiga pelanggaran tersebut, maka langsung dapat ditangani,†imbuhnya.
Politisi Demokrat ini juga mengatakan, kesalahan bukan terletak pada sistem dan huÂkumÂnya, melainkan dari peneÂgak hukum itu.
“Gencarnya kampanye anti korupsi tidak akan efektif tanpa koÂmitmen tindakan konkret daÂlam pelaksanaan hukumnya,†tegas dia.
Menurutnya, kejaksaan seÂbaÂgai salah satu lembaga peneÂgak hukum harus memberikan contoh yang baik demi teÂgakÂnya keadilan. Termasuk segera memproses 61 pejabat daerah itu. “Jika tidak ingin dicap miring terus oleh masyarakat, maka laksanakan saja Undang-Undang MD III yang telah disahkan itu,†saran dia.
Jadi, nilainya, sikap lunak dari lembaga penegak huÂkumÂlah yang memiliki andil besar daÂlam lancarnya korupsi. “MaÂkanya, internal kontrol dari lemÂbaga penegak hukum perlu ditingkatÂkan. Sehingga, bukti-bukti koÂrupsi tidak menjadi muÂbazir maÂnakala telah sampai lembaga peradilan,†katanya. [RM]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: