Permintaan Izin Pemeriksaan Gubernur Nyangkut Dimana?

Staf Khusus Presiden: Tidak Ada Permohonan Yang Masuk

Sabtu, 09 April 2011, 05:00 WIB
Permintaan Izin Pemeriksaan Gubernur Nyangkut Dimana?
ilustrasi, korupsi
RMOL.Permintaan izin pemeriksaan 61 kepala daerah atau wakil kepala daerah yang diajukan Kejaksaan Agung kepada Presiden, sampai kemarin tidak jelas juntrungannya. Surat itu nyangkut di mana?

Menurut Kepala Pusat Pene­rangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Noor Rochmad, pihaknya telah me­ngajukan izin pemeriksaan para kepala daerah itu sebagai tersang­ka maupun saksi sejak 2005 hingga 2011.

Meski begitu, Noor yakin jika surat izin pemeriksaan 61 kepala daerah tersebut sudah tiba di meja kerja Presiden, maka Presiden akan menandatanganinya. “Yang jelas, saya yakin Presiden akan me­nandatangani surat itu,” ka­tanya, kemarin.

Namun, pihak Istana mera­gu­kan, apakah betul sudah ada surat permintaan izin pemeriksaan 61 kepala daerah tersebut. “Kalau me­mang ada, pasti dua atau tiga hari akan ditandatangani Presi­den. Pre­siden tidak pernah meng­hambat suatu proses hukum apa­bila me­mang yang bersangkutan bersa­lah,” kata Staf Khusus Pre­siden Bidang Informasi, Heru Lelono yang dihubungi lewat telepon.

Heru mencontohkan, dirinya per­nah mendapat pertanyaan dari perwakilan LSM dan kyai dari Te­gal, Jawa Tengah mengenai pe­nanganan kasus dugaan korupsi Bupati Tegal. LSM dan kyai itu me­nanyakan, apakah surat izin Pre­siden untuk pemeriksaan Bu­pa­ti tersebut sudah keluar atau belum.

“Saya dikasih info, kejaksaan sudah mengirim ke Presiden. Saat rapat kabinet, saya langsung ber­tanya kepada Jaksa Agung. Saya ta­nya juga ke Seskab Pak Dipo Alam. Semingu kemudian saya men­dapat jawaban, tidak ada surat permoho­nan izin pemeriks­aa­n Bupati Tegal. Ini kan aneh,” katanya.

Heru menambahkan, Presiden memiliki political will yang baik terhadap upaya  penegakan hu­kum  dengan memberikan izin pe­meriksaan terhadap beberapa ke­pala daerah, tidaklah didasari siapa kepala daerah yang diberi­kan izin untuk diperiksa, baik oleh kejaksaan maupun kepo­li­sian. “Pak Presiden pernah bilang bahwa pemberantasan korupsi itu prioritas, tapi jangan terlalu mu­dah menjadikan seseorang ter­sangka. Sebaliknya, jika memang bukti-bukti sudah kuat, jangan ditunda penyelesaiannya.”

Kemudian, Heru berjanji akan me­­minta informasi lebih lanjut ke­pada Sekretaris Pribadi Pre­siden dan Menteri Sekretaris Ka­bi­net Dipo Alam. “Tadi saya lang­­sung SMS Pak Dipo yang mung­kin sedang di pesawat dari Bali untuk meminta jawabannya.”

Tak berselang lama, Heru me­ngirim pesan singkat kepada Rak­yat Merdeka. Intinya, hingga ke­marin tidak ada satu surat pun di meja Presiden mengenai per­min­taan izin pemeriksaan 61 kepala daerah itu.

“Saya mendapatkan info dari Sekretaris Presiden, ti­dak ada yang masuk terkait per­mo­honan tersebut. Apabila sebe­lum hari ini ada surat permintaan izin, maka sudah pasti diproses,” katanya.

Menurut Kapuspenkum Keja­gung, dari 61 kasus kepala daerah itu, dua diantaranya ialah perkara dugaan korupsi yang membelit gubernur. Yakni, kasus dugaan ko­rupsi dengan tersangka Gu­bernur Kalimantan Timur Awang Fa­roek Ishak dan tersangka Gu­bernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin.

Namun, Kapuspenkum mem­bantah bahwa pihaknya tidak se­rius atau menggantung kasus dua gu­bernur itu. “Kejaksaan berbeda de­ngan KPK yang memiliki ke­wenangan memeriksa kepala dae­rah tanpa melalui izin Presiden. Ka­rena belum ada izin pemerik­saan, kejaksaan hanya bisa me­nunggu. Bu­kan karena ada inter­vensi politik.”

Disebutkan pula, berkas per­baikan permohonan izin peme­rik­saan Awang ke Sekretariat Ka­binet sudah diajukan kejaksaan pada akhir Desember 2010. “Be­lum ada permintaan perbaikan lagi. Kami hanya bisa me­nunggu.”

Meski begitu, Noor menam­bah­kan, sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika 60 hari sejak surat diterima Presiden, izin tak diberikan, maka penyidik bisa langsung memeriksa kepala daerah ataupun wakil kepala dae­rah yang telah ditetapkan sebagai saksi atau tersangka.

Undang-undang itu, bahkan di­perkuat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2009. Namun, menurutnya, dasar dua hu­kum itu belum kuat bagi kejak­saan. “Kami ingin membawa ka­sus ini ke pengadilan secara sem­purna. Jangan sampai ada celah yang bisa dimanfaatkan. Meski memang dalam waktu 2 kali 30 hari sejak su­rat dikirim ke Pre­siden, izin be­lum juga turun, silakan langsung di­limpahkan ke pengadilan.”

Gubernur Kaltim Dan Kalsel Jadi Tersangka

Dari 61 kepala daerah yang izin pe­meriksaannya diajukan Ke­jaksaan Agung kepada Presiden, dua diantaranya ialah gubernur. Yakni, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak dan Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin.

Awang menjadi tersangka pada 9 Juli 2010. Jaksa Agung Muda Pi­dana Khusus (JAMPidsus) Mu­ham­mad Amari menetapkan Awang sebagai tersangka kasus divestasi saham PT Kaltim Prima Coal.

 Awang disangka merugikan negara Rp 576 miliar karena pe­ngalihan, penjualan, dan peng­gu­naan dana hasil penjualan saham milik Pemerintah Kabupaten Ku­tai Timur pada PT Kaltim Prima Coal (PT KPC) oleh PT Kutai Timur Energi (PT KTE). Saat itu Awang menjabat sebagai Bupati Kutai Timur. Awang disangka me­ngambil keputusan peng­gu­na­an hasil uang penjualan saham PT KTE yang bertentangan dengan cara pengelolaan keuangan daerah.

 Dalam kasus ini, Kejagung le­bih dulu menetapkan dua ter­sang­ka. Yaitu, Anung Nugroho, Di­rek­tur Utama PT Kutai Timur Ener­gy dan Apidian Tri Wahyudi, Di­rektur PT Kutai Timur Energy.   Kasus ini juga  terkait dengan pen­jualan saham PT KPC milik Pemda Kutai Timur oleh PT K­u­tai Timur Energy.  Awang Faroek dalam kasus ini dijerat Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 ayat (5), Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan negara. 

 Namun, kasus itu hingga kini belum dapat terselesaikan karena kejaksaan masih menunggu izin Presiden. Menurut Amari, pihak­nya sudah melampirkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kerugian negara kepada Sekretariat Kabinet, un­tuk dilaporkan kepada Presiden.

“Kasus Awang masih berjalan. Tempo hari sudah kami kirimkan itu dari BPK, mudah-mudahan sudah tidak lama lagi,” katanya pada Kamis (20/1) di Gedung Bundar, Kejagung.

 Sementara itu, Gubernur Ka­limantan Selatan Rudy Arifin di­tetapkan Kejagung sebagai te­r­sangka pada 28 September 2010. Rudy diduga terlibat korupsi pemberian uang santunan pembe­basan tanah eks PT Pabrik Kertas Martapura oleh panitia pengada­an tanah Kabupaten Banjar 2002-2003 senilai Rp 6,3 miliar.

 Amari mengatakan, Rudy bertanggungjawab sebagai Ketua Panitia dalam pembebasan bekas lahan PT Pabrik Kertas Marta­pura (PKM) tersebut. “Perannya Rudy Arifin sebagai Ketua Pa­nitia, kalau tak salah.”

Sebelum jadi Gubernur, Rudy adalah Bupati Banjar. Dia me­ngetuai Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Banjar tahun 2002-2003, dan mengeluarkan Surat Ke­putusan tentang Pembentukan Tim Pengembalian dan Peman­faa­tan eks Pabrik Kertas Marta­pura tahun 2001.

SK tersebut di­keluarkan untuk membebaskan tanah Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama pemegang hak PT Golden Marta­pura, milik Gunawan Sutanto.

 Kemudian, Rudy menerbitkan SK Panitia Pengadaan Tanah Ka­bupaten Banjar, tentang bentuk dan besarnya santunan dalam rangka pengadaan tanah, pada 2002. Seharusnya, menurut Keja­gung, tindakan pembebasan ta­nah milik PT Golden tidak dila­kukan, karena Rudy menge­tahui HGB-nya sudah berakhir masa berlakunya.

Akibatnya, negara diduga diru­gi­kan Rp 6,3 miliar.  Kejaksaan ju­ga belum me­ngan­tongi izin un­tuk memeriksa Rudy.

Duit Negara Habis Kalau Ditunda-tunda

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum

Pengamat hukum dari Uni­versitas Trisakti, Yenti Garnasih bingung mendengar kesim­pang­siuran proses hukum 61 pejabat daerah yang diduga korupsi. Tapi, menurutnya, jika memang Presiden belum mem­berikan izin, maka para kepala daerah itu tetap bisa diperiksa.

“Saya tidak mengerti, kenapa sampai terjadi kesimpangsiuran seperti ini. Yang satu mengaku sudah mengirim surat ke Pre­si­den, tapi pihak istana mene­gas­kan tidak ada surat yang masuk. Makanya, langsung saja di­proses hukum tanpa menunggu surat izin,” katanya.

Menurut Yenti, korupsi m­e­ru­pakan perkara yang tidak bisa ditunda-tunda proses hukum­nya karena merugikan keu­a­ngan negara. “Kalau kasus korupsi sampai ditunda-tunda, maka uang negara bisa habis di­makan mereka yang melakukan korupsi,” ujar doktor bidang pen­cucian uang ini.

Dia menambahkan, jika Ke­jak­saan Agung tetap tidak me­nindak 61 pejabat daerah yang diduga korupsi, maka sudah sewajarnya KPK segera me­ngam­bil alih kasus-kasus terse­but. “Tidak bisa ditawar-tawar lagi, KPK harus ambil alih itu se­mua. Soalnya, kita telah dike­ce­wakan dengan penanganan pe­rkara di kejaksaan,” tandasnya.

 Yenti mengingatkan bahwa proses penindakan dalam kasus korupsi bukanlah sekadar men­jebloskan pelakunya ke penjara. “Yang penting itu, uang negara yang telah dicuri balik lagi ke kas negara. Makanya, saya te­ka­nkan tadi bahwa proses hu­kum perkara korupsi tidak bisa ditunda-tunda,” katanya.

 Dia menambahkan, korupsi yang dilakukan para pejabat ne­gara atau daerah telah me­n­ci­derai hukum di negeri ini. Apa­lagi, katanya, dari sekian tahun masa reformasi berjalan, peri­laku korupsi tidak hilang.

“Jangan salahkan hukumnya. Hukum sudah benar, yang tidak benar itu penegak hukumnya. Ka­lau seseorang sudah jelas ber­salah karena korupsi, ya tin­dak dong,” tandasnya.

Bisa Diperiksa Tanpa Izin

Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Dasrul Djabar meminta Kejak­saan Agung segera tangani 61 pejabat daerah yang diduga korupsi tersebut. Soalnya, sejak diberlakukannya Undang-Un­dang MD III, maka permintaan izin kepada Presiden tidak berlaku lagi.

 â€œTindak dong, jangan di­diamkan saja. Undang-Undang MD III telah menyebutkan bah­wa pejabat daerah bisa lang­sung diperiksa tanpa izin dari Presiden. Jadi, alasan belum di­terimanya surat izin dari Pre­si­den itu kurang tepat,” katanya.

 Dasrul mengingatkan, Un­dang-undang MD III me­nye­butkan ada tiga kriteria yang bisa dilakukan penindakan se­cara langsung tanpa perlu izin dari Presiden.

“Pertama itu ko­rupsi, kedua narkoba dan ketiga terorisme. Kesimpulannya, apabila ada pejabat negara atau pejabat dae­rah melakukan salah satu dari tiga pelanggaran tersebut, maka langsung dapat ditangani,” imbuhnya.

 Politisi Demokrat ini juga mengatakan, kesalahan bukan terletak pada sistem dan hu­kum­nya, melainkan dari pene­gak hukum itu.

“Gencarnya kampanye anti korupsi tidak akan efektif tanpa ko­mitmen tindakan konkret da­lam pelaksanaan hukumnya,” tegas dia.

 Menurutnya, kejaksaan se­ba­gai salah satu lembaga pene­gak hukum harus memberikan contoh yang baik demi te­gak­nya keadilan. Termasuk segera memproses 61 pejabat daerah itu. “Jika tidak ingin dicap miring terus oleh masyarakat, maka laksanakan saja Undang-Undang MD III yang telah disahkan itu,” saran dia.

 Jadi, nilainya, sikap lunak dari lembaga penegak hu­kum­lah yang memiliki andil besar da­lam lancarnya korupsi. “Ma­kanya, internal kontrol dari lem­baga penegak hukum perlu ditingkat­kan. Sehingga, bukti-bukti ko­rupsi tidak menjadi mu­bazir ma­nakala telah sampai lembaga peradilan,” katanya. [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA