Emil Abeng: 5 Sektor Industri Keok Terkena Imbas ACFTA­­­

Sabtu, 02 April 2011, 00:16 WIB
Emil Abeng: 5 Sektor Industri Keok Terkena Imbas ACFTA­­­
Emil Abeng
RMOL.Dominasi produk impor yang terus menguat telah menggerus pangsa pasar produk dalam negeri. Daya saing industri nasional juga makin lemah saat berhadapan dengan pelaksanaan perdagangan bebas terutama pasca pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).

“Anehnya, situasi sulit itu tidak disikapi serius. Pemerintah terlihat gamang. Perjanjian sudah ditandatangani tapi daya saing kita masih lemah,” ujar Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Kosgoro 1957 Emil Abeng, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut anggota Panja Daya Saing DPR itu, para pelaku in­dustri mengaku kepayahan ka­rena ACFTA.

“Pemerintah belum mampu mengatasi imbas negatif akibat kebijakan yang sudah diterapkan lebih setahun ini,’’ kata anggota Komisi VI DPR ini.

Berikut kutipan selengjkapnya:

Kenapa Anda bilang begitu?

Berdasarkan masukan dan telaah kami di Panja Daya Saing, setidaknya ada lima sektor in­dustri keok yang terkena imbas perjanjian ACFTA, yaitu elektro­nika, furnitur, logam dan produk logam, permesinan, tekstil dan produk tekstil.

Apa saja permasalahan uta­ma yang dihadapi kelima sektor itu?

Mahalnya bahan baku dan ku­rangnya suplai komponen.

Pihak mana yang harus ber­tanggung jawab?

Pemerintah dalam hal ini Ke­men­terian Perdagangan dan Kemen­terian Perindustrian perlu meningkatkan koordinasi untuk membuat kebijakan memecahkan masalah ini. Jangan jalan sendiri-sendiri.

Apakah energi juga jadi per­masalahan?

Ya, harga energi yang mahal jadi beban peningkatan daya saing pelaku ekonomi pada lima sektor industri tadi. Pemerintah, misalnya, harus menurunkan biaya produksi listrik PLN me­lalui perbaikan sistem pembelian gas dan batubara. Kebijakan gas dan batubara diutamakan untuk suplai kebutuhan di dalam negeri, untuk mengatasi kelangkaan suplai.

Ada kendala lain terkait pe­ningkatan daya saing pelaku eko­nomi nasional?

Peningkatan modal usaha melalui kredit belum berhasil karena pemerintah dan BI gagal menurunkan suku bunga saat ini yang relatif masih tinggi diban­ding negara-negara lain. Lihat China, baru saja menaikkan suku bunga pinjaman menjadi 5,56 persen dari 5,31 persen. Tapi itupun masih jauh lebih rendah dibandingkan di Indonesia yang suku bunga kredit perbankan berkisar 9 sampai 16 persen. Itupun masih dianggap rendah.

Sejauh ini, keluhan apa yang Anda dengar dari asosiasi in­dustri?

Mereka masih mengeluhkan kurangnya keberpihakan peme­rin­tah terhadap pelaku ekonomi nasional. Saya khawatir, tidak lama lagi industri kita mati. Kita hanya sekadar distributor barang-barang China. Sebab produk mereka memberikan margin lebih tinggi daripada produk kita, yaitu sekitar 20 persen.

Bukankah produk dalam ne­geri sudah mulai banyak dan berkualitas?

Tetap saja harga murah barang China jadi nilai tambah. Standar Nasional Indonesia sangat lemah, tertinggal dari negara-negara lain.  Dari 228 Pos Tarif, 77 be­lum SNI, 122 sudah SNI dan 29 dalam rancangan. Impor tekstil dari negara-negara ACFTA juga lebih besar dari impor produk yang sama dari negara most fa­voured nations, padahal negara-negara peserta ACFTA tidak dikenakan pajak.

Artinya, implementasi ACFTA begitu dilematis ya?

Di satu sisi, ACFTA sudah telanjur ditandatangani. Di sisi lain, terlalu besar pertaruhannya bagi bangsa ini karena mene­rapkan ACFTA secara tergesa-gesa. Ini masalah serius yang harus segera diselesaikan. Setiap detik, setiap jam kita menunda keputusan atas masalah ini, maka bangsa kita mengalami ke­mun­duran.

Anda menilai sejauh apa res­pons pemerintah mengatasi ke­kurangan daya saing Indone­sia?

Pemerintahan sangat lambat. Contohnya saja, sampai Maret 2011 lima sektor industri terpukul imbas penerapan ACFTA. Janji-janji peningkatan infrastruktur, lapangan kerja, kualitas SDM dan aparat sedikit terlihat menurut fakta di lapangan.

Mengapa tidak dikiritisi dari sebelum ACFTA ditanda­tanga­ni saja?

Waktu itu pemerintah menyata­kan, ACFTA tak bisa ditunda atau dibatalkan. Kenyataannya, ACFTA dapat ditunda melalui pro­ses pengajuan penundaan lewat badan resmi yang ditunjuk, dalam hal ini Sekretariat Jenderal ASEAN selama pemerintah le­wat Menteri Perdagangan mem­punyai itikad untuk hal itu.

Pemerintah tidak melibatkan DPR?

Pemerintah lewat Menteri Per­daga­ngan sepertinya mengambil keputusan sendiri untuk masalah sangat strategis ini. Kenya­taan­nya, dalam proses ACFTA, DPR tidak dilibatkan, mulai dari proses perundingan internasional hingga penandatanganan, padahal per­jan­jian tersebut secara hukum nasional masih perlu diadopsi ke dalam hukum nasional oleh DPR.

Bukankah pemerintah selalu berusaha mengurangi dampak negatif bagi pelaku ekonomi na­sional?

Sudah sangat terlambat karena pelaku ekonomi nasional telanjur dirugikan secara finansial atau­pun ketenagakerjaan. Dulu, da­lam berbagai kesempatan, peme­rintah seakan menyalahkan pemerintah sebelumnya dengan mengatakan perjanjian ACFTA merupakan hasil kebijakan rezim sebelumnya. Ini sikap tidak tepat mengingat peme­rintah se­harus­nya menerima tu­gas apa pun guna mencari penye­lesaian proble­matika bangsa, bukan mencari kambing hitam.

Lantas, benar-benar tidak ada solusinya?

Jelas tak ada solusi jangka pendek karena permasalahan Indonesia dalam kasus ACFTA sudah menjadi permasalahan kumulatif. Kita harus lebih serius dengan satu niat dan tindakan baik bersama. Kalau tidak, kita makin kehilangan potensi eko­nomi dan serius terancam lost generation. [RM]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA