Para aktivis anti korupsi mengaku heran mengapa KPK enggan masuk dalam kasus pembangunan gedung senilai Rp 1,1 triliun (tadinya Rp 1,8 triliun) itu mengingat banyak pintu masuk kasus yang bisa jadi alasan. Misalnya soal penyusunan anggaran yang berubah-ubah, jasa konsultasi desain gedung DPR, dan ketidakjelasan siapa pelaksana tender tersebut karena tiba-tiba desain gedung sudah rampung.
Menurut Ketua Komite Pemantau Pemberdayaan Parlemen Indonesia, Tom Pasaribu, pasti ada keuntungan besar yang didapatkan sekelompok elit di DPR dalam proyek itu. Itulah alasan mengapa DPR sangat ngotot.
"Sudah pasti ada keterlibatan tiga pihak, yaitu partai politik, pengusaha dan bahkan KPK. Itu riil itu, kenapa saya katakan KPK, karena KPK terang-terangan melanggar dasar hukum pendiriannya," ujar Tom saat dihubungi
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Jumat, 1/4).
Dalam dasar pendirian KPK, pada UU 30/2002, bahwa dalam upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur penindakan korupsi sekarang belum optimal maka perlu lembaga yang mempunyain kewenangan lebih.
"Nah karena KPK tidak mau menggunakan kewenangannya masuk ke persoalan ini, padahal jelas di depan mata dia rakyat menderita, KPK bukan hanya salah secara moral, tapi juga melanggar hukum," tegasnya.
Tom juga menduga ada proses kompromi sebelumnya yang membuat KPK tidak mau menyelidiki dugaan korupsi. "Komprominya di dalam proses revisi UU Tipikor," ungkap Tom.
Tidak sekali ini saja, imbuh Tom, KPK berdiam diri ketika ada indikasi korupsi dalam proyek-proyek di DPR, misalnya dalam kasus pembangunan pagar DPR dan renovasi rumah jabatan DPR.
"Orang-orang KPK takut jadi pengangguran. Dan memang banyak bukti kekurangan KPK. Menyesal lah dulu kita bela mati-matian KPK saat mereka ditekan Polisi," ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, M Jasin mengatakan pihaknya tidak dapat melakukan pengawasan secara langsung karena dari aspek hukum tidak memungkinkan.
[ald]
BERITA TERKAIT: