Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemimpin yang Menipu Rakyat

Oleh Adhie M. Massardi

Rabu, 30 Maret 2011, 07:19 WIB
Pemimpin yang Menipu Rakyat
ilustrasi/ist
PEMIMPIN dalam perspektif Islam adalah Imam. Kedudukannya sangat tinggi dan terhormat. Maka bila sopir atau tukang kebun telah disepakati menjadi imam, siapa pun makmumnya, wajib mengikuti.

Model kepemimpinan Islam memang sering diilustrasikan dalam shalat berjamaah. Seseorang yang dianggap paling fasih dan paham Al Qur’an (kompetensi) selalu dipersilakan menjadi imam. Sebaliknya, bila sang imam di tengah jalan batal, misalnya karena (maaf) kentut, maka ia harus segera mundur untuk digantikan orang lain.

Dalam pemerintahan, pemimpin (umara) sering juga dimanifestasikan sebagai wakil Allah. Makanya pemimpin (Sultan) kerajaan Mataram Islam di Jogjakarta juga memakai tambahan gelar Sayidin Panotogomo (pemimpin agama) dan Kalifatullah (wakil Allah) di muka bumi.

Pemimpin dalam konsep Islam menjadi mutlak, dan karena itu wajib dihormati dan ditaati, karena tugas pemimpin tiada lain kecuali menyejahterakan umatnya. Adagium yang terkenal tentang kepemimpinan adalah: Tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah al-ammah (Tindakan dan kebijakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya!)

Menyejahterakan umat. Inilah kata kuncinya kenapa kepemimpinan dalam konsepsi Islam memperoleh kedudukan sangat mutlak. Sebab umat (rakyat) adalah subyek yang melahirkan predikat (pemimpin), dan bukan sebaliknya.

Rasulullah SAW adalah contoh nyata pemimpin yang setiap saat memikirkan umatnya. Nasib umatnya senantiasa menjadi pikiran beliau..Bahkan kata-kata terakhir yang terucap ketika maut menjemput adalah: “Ummati, ummati, ummati…!” (Umatku, umatku, umatku…!)

Ada kegelisahan luar biasa pada Rasulullah SAW akan masa depan umatnya. Bagaimana keimanan, ketakwaan dan kesejahteraan mereka kelak.

Kecintaan Nabi SAW kepada umatnya tercermin pula pada do’a Beliau, sebagaimana dituturkan Aisyah ra dalam sebuah hadits. “Wahai Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku, lalu dia mempersulit urusan mereka (rakyat), maka persulit pulalah dia. Dan siapa saja yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku, lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia!”

Sikap keras Rasulullah kepada pemimpin yang abai juga tercermin dari hadits yang disampaikan Al Hasan ra. Kepada Ubaidullah bin Ziyad (walikota Bashrah) yang datang membezuknya, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: “Seorang hamba yang dipercayakan Allah memimpin rakyatnya, tetapi dia menipu rakyatnya, maka jika dia mati, Allah mengharamkan surga baginya!”

Lalu bagaimana dengan Presiden Yudhoyono, yang secara moral, oleh para pemuka agama dianggap sudah “batal” karena terlalu sering berbohongan dan tidak perduli kepada nasib rakyatnya yang kian terpuruk dalam penderitaan? Apakah juga wajib mundur sebagaimana imam shalat yang sudah “kentut”?

Dalam soal ini (pemerintahan), ada yang berpendapat: pergantian kepemimpinan nasional harus 5 tahun sekali sesuai ketentuan Konstitusi (UUD 1945). Ketentuan ini memang harus kita hormati dan pelihara.

Tapi jika Presiden sendiri tidak mampu memelihara keharusan ini, dengan membiarkan anomali dan demoralisasi di segala bidang kehidupan, dan membiarkan rakyat mengatasi sendiri berbagai persoalan hidupnya, maka secara moral keharusan ini tidak berlaku.

Sebaliknya, secara moral, kita semua wajib menyelamatkan negara-bangsa dari kehancuran. Dengan demikian, keharusan Konstitusional tentang pergantian presiden 5 tahun sekali tidak berlaku. Karena seluruh komponen bangsa harus tunduk kepada keharusan moral (menyelamatkan negara-bangsa) tersebut. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA