Achsanul Qosasi: Biaya 1,2 M Itu Sudah Menjadi Kesepakatan

Sabtu, 19 Maret 2011, 00:39 WIB
Achsanul Qosasi: Biaya 1,2 M Itu Sudah Menjadi Kesepakatan
Achsanul Qosasi
RMOL.Rencana Komisi XI DPR melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat dan Inggris untuk meminta masukan terkait RUU Akuntan Publik (AP), menuai banyak protes.

Achsanul Qosasi, Wakil Ke­tua Komisi XI yang memimpin rombongan ke Amerika, mengung­kapkan, dalam RUU AP tersebut belum ada kesepakatan mengenai tiga hal, yaitu masalah pidana, masa­lah akuntan publik asing, dan perizinan.

“Yang memberikan izin itu apakah suatu lembaga indepen­den semacam counsil atau izin di Kementerian Keuangan. Kalau mau independen, izin diberikan oleh Kementerian Keuangan atas pertimbangan council,” kata Achsanul.

Karena belum ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah, me­nurut dia, maka DPR belum se­tuju atas pasal yang diajukan  pemerintah. Untuk itu,  DPR akan melakukan kajian di luar negeri untuk melihat regulasi mengenai akuntan publik yang dijalankan kedua negara tersebut.

Berikut wawancara dengan Achsanul.

Apa alasan Komisi XI mela­kukan kunjungan kerja ke luar negeri?

RUU AP ini menyangkut ke­uang­an negara yang harus diin­tegra­sikan dengan luar negeri.

Diintegrasikan?

Reformasi untuk sistem ke­uangan yang bersifat macro-pru­dential yang menyeluruh ter­hadap undang-undang, antara lain Undang-Undang Akuntan Publik, Undang-Undang Mata Uang, Undang-Undang Transfer Dana, UU PPATK, UU OJK (Otoritas Jasa Keuangan), hal ini harus dibereskan segera karena menyambut IFRS (International Financial Report Standard) 2012.

Lainnya?

Undang-undang tentang pengawasan sistem keuangan terkait reformasi bidang sistem keuangan, maka diterbitkan UU OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Undang-undang protokol pe­nanganan krisis muncul namanya JPSK. Jika in selesai Indonesia siap menyam­but yang namanya Internasional Financial Report Standard.

Keterkaitan dengan RUU AP, bagaimana?

RUU ini harus diintegrasikan dengan sistem yang dianut  Amerika dan Inggris. RUU Akun­tan Publik negeri ini merupakan bagian dari reformasi sistem keuangan Indonesia.

Kenapa harus ke Amerika dan Inggris?

Pertama, hampir 80 persen akuntan publik asing yang ada di Indonesia, induknya kalau tidak dari Amerika, dari Inggris. Peru­sahaan itu seperti Ernst & Young, KPMG, Price Water House, dan DLoyd. Seluruhnya ada di dua negara itu.

Lalu?

Mereka menerapkan sistem pidana, apakah yang di­maksud dengan penalti atau denda ter­hadap akuntan publik adalah untuk pidana atau sanksi pen­cabutan izin. Kita tidak akan tahu karena prosesnya ada di parle­men. Untuk itu, kita agen­dakan bertemu dengan parlemen yang membawahi masalah keuangan.

Bagaimana dengan akuntan publik yang dimiliki Indo­nesia?

Di Indonesia ada 400 akuntan publik, dari jumlah itu dikuasai  the big four, yaitu Ernst & Young, KPMG, Price Water House, dan DLoyd. Mereka yang menguasai pasar akuntan publik, sedangkan yang kecil-kecil ikut saja, tapi semuanya sudah di­ambil the big four.

Maksud Anda?

Dari hasil pemeriksaan seka­rang ini, satu perusahaan BUMN itu diperiksa. Mereka tugasnya hanya me-review, sedangkan yang kerja orang kita. Kemudian ketika dibayar, jumlah mereka lebih banyak. Jadi, money come to Amerika, money come to Inggris.

Apakah ingin membatasi akun­tan asing?

Betul. Poin kita untuk mem­batasi akun­tan publik asing agar tidak melanggar UU WTO. Kita ada proteksi untuk melindungi akun­tan publik lokal. Apabila akuntan publik itu terafiliasi dengan asing, maka akuntan publik kita akan mati.

Mengapa itu bisa terjadi?

Undang-Undang Akuntan Publik ini sudah puluhan tahun tidak kita atur. Bila uangnya untuk akuntan publik lokal, hasil­nya bisa masuk keuangan negara.

Emang nggak bisa kalau nggak studi banding?

Kita bisa saja asal menge­sah­kan, tapi yang jadi masalah, terin­tegrasi atau tidak. Apabila diatur, aturannya seperti apa. Yang di­takutkan, di sana diatur secara komplet, sedangkan di Indonesia belum diatur. Maka mereka bisa berbuat apa saja di Indonesia.

Bagaimana dengan anggaran studi banding yang nilainya 1,2 miliar, apa­kah rasional?

Itu sudah jadi kesepakatan. Tapi kita hitung saja, biaya tiket dan kebutuhan anggota Dewan sekitar 75 juta dikali­kan 18 anggota Dewan. Biaya itu belum ditambah dengan staf anggota DPR sekitar 2-3 orang tiap anggota.

Bukankah studi banding itu dilakukan saat penyusunan RUU?

Ada dua, yaitu proses penyu­sunan dan pembahasan. Saat proses penyusunan tidak dilaku­kan, berarti di proses pemba­hasan. Tergantung itu inisiatif siapa, di Baleg atau Komisi XI. UU ten­tang perekonomian nasio­nal kita lakukan pada saat pe­nyusunan pasal bukan pem­bahasan.

Apakah unsur pemerintah dili­batkan dalam kunjungan ini?

Tidak, karena nanti tujuannya lain. Biarkan pendapat pemerin­tah seperti apa, pendapat DPR se­perti apa. Apabila bareng akan ada kesepakatan, karena kita be­lum sepakat dalam 2-3 pasal. [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA