WAWANCARA

Muhaimin Iskandar: Sekarang sudah Soft Moratorium

Kamis, 10 Maret 2011, 06:12 WIB
Muhaimin Iskandar: Sekarang sudah Soft Moratorium
Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
RMOL. "Kasus Darsem ini harus dijadikan momentum untuk melakukan perubahan kultural dari kultur penindasan menjadi kultur penghormatan pada hak asasi manusia. Bangsa kuli sekalipun mereka tetap memiliki hak asasi dan patut mendapatkan penghormatan."

Banyak yang memuji peme­rintah atas pemulangan TKI Bermasalah di Arab Saudi, tapi banyak pula yang ragu bahwa hal yang sama tidak akan teru­lang di masa mendatang. Apa yang sudah dilakukan peme­rintah?
Pemerintah berpedoman bah­wa penempatan TKI yang berma­salah berakar pada sistem penem­patan dan perlindungan yang belum terkonsolidasi optimal. Sikap pemerintah Arab Saudi sangat responsif dan ini mem­bantu kita dalam upaya menata sistem yang lebih baik. Langkah pertama yang kita lakukan adalah mengeluarkan kebijakan soft moratorium.

Soft moratorium itu penge­tatan total. Dimensinya berbeda. Jika moratorium lebih bernuansa politis dan diplomatis, maka soft moratorium lebih bermakna tek­nis. Kalau pengetatan itu di­dasari pada lemahnya sistem sistem perlindungan dan kontrol. Seka­rang sedang dilaksanakan dan penempatan hampir zero. Silakan tanyakan kepada Kepala BNP2TKI (Badan Nasional Pe­nempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) sejauh mana pengetatan itu saat ini dilaksanakan.

Selain itu, soft moratorium juga berlaku di beberapa negara timur tengah yang sekarang se­dang mengalami ketegangan politik seperti Mesir, Libya, Oman, Libanon, Yaman dan lain sebagai­nya. Kalau situasi politik di negara-negara tersebut sudah kon­dusif akan segera dipertim­bang­kan untuk membuka kem­bali.   

Mata rantai penempatan itu kan panjang, nah pada sisi mana yang menjadi perhatian utama pemerintah?
Pembenahan utama yang saat ini dilakukan oleh pemerintah adalah menaikkan status dari apa yang disebut sebagai PLRT (Penata Laksana Rumah Tangga) atau yang biasa disebut dengan PRT (Pembantu Rumah Tangga). PLRT selama ini masuk sektor informal, kita mau tingkatkan menjadi formal dengan syarat dan ketentuan yang memenuhi syarat. Utamanya adalah kompetensi kerja dan kemampuan bahasa untuk berkomunikasi.

Apa upaya konkritnya?
Setidaknya ada 4 macam jenis pekerjaan yang selama ini dilaku­kan oleh PLRT kita yaitu masak (cooker), merawat bayi (baby sitter), menjaga kebersihan ru­mah (house keeper) dan merawat lansia (care giver).

Pemerintah akan menetapkan 4 jenis pekerjaan ini sebagai peker­jaan formal dengan mela­kukan uji kompetensi. Sebagai penguat, ketentuan seperti ini akan dima­sukkan ke dalam perjanjian kerja sehingga setiap calon TKI me­ngetahui persis apa yang menjadi kerja utama mereka.

Memang ini tidak mudah karena perlu waktu menerapkan­nya ke dalam sistem lama yang sudah berjalan saat ini. Pertama-tama akan dilakukan sosialisasi baik kepada calon TKI, calon majikan, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), mitra usaha di luar negeri, atase ketenagakerjaan di KBRI  dan pejabat pelaksana teknis di daerah. Sosialisasi ini memerlukan waktu, mudah-mu­dahan dalam 6 bulan kita sudah bisa melangkah pada tahap berikutnya yaitu impelementasi sistem.

Biasanya impelementasi yang sering bermasalah. Kon­sepnya bagus, saat dilaksana­kan ternyata melenceng dari niat awalnya. Sistem yang se­perti apa?
Ada 3 macam sistem yang akan butuh waktu penyesuaian pada masa ini yaitu job order dan per­janjian kerja, rencana penempa­tan periodik yang dibuat oleh PPTKIS serta sistem online baik di BNP2TKI maupun konsor­sium asuransi. Pada ketiga sistem ini tidak ada lagi nantinya kolom PLRT. Yang ada justru 4 jenis pekerjaan itu.

Hal ini akan menguntungkan TKI karena bukan saja statusnya menjadi pekerja formal tapi juga bisa menaikkan gaji mereka karena keahliannya sudah me­ningkat. Dibuktikan melalui sertifikat yang dimilikinya.

Untuk kasus Darsem apa yang sudah disiapkan pemerin­tah setelah diputuskan penga­dilan agar yang terhukum mem­berikan ganti rugi?
Mari kita bicara lebih jauh lagi dari kasus Darsem ini. Per­soalannya bukan lagi sudah bebas dari hukuman maksimal atau siapa yang harus membayar diyat (denda), tetapi ternyata kasus ini membuka mata masyarakat Arab Saudi dan Indonesia khususnya tapi juga mata dunia.

Kasus ini harus dijadikan mo­mentum untuk melakukan peru­ba­han kultural dari kultur penin­dasan menjadi kultur penghor­matan pada hak asasi manusia. Bangsa kuli sekalipun mereka tetap memiliki hak asasi dan patut mendapatkan penghor­matan. Jadi keliru jika dikatakan bahwa mereka yang bekerja diluar negeri tidak berkete­ram­pilan dan justru mencoreng citra negara. Tuduhan itu terlalu mengusik nurani TKI. Setiap masalah pasti ada jalan keluar­nya, tapi banyak yang tidak sederhana. Meng­hindari masalah hanya satu hal, tapi lain halnya adalah mening­katkan kemam­puan TKI agar dengan sendirinya masalah itu dapat dihindari.

Seperti apa itu langkah mem­buka mata dunia atas ka­sus penindasan seperti ini?
Upaya yang dilakukan peme­rintah untuk banding justru agar yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi dan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. Mudah-mudahan ini bisa mengu­bah cara pandang masyarakat di Arab bahwa TKI yang bekerja di sana bukan orang yang lari dari masalah dan dapat dimanfaatkan tetapi mereka bekerja untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Saya sudah menghubungi berbagai pihak, khususnya lem­baga internasional baik yang bergerak dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) maupun ILO (International Labour Organi­zation) untuk ikut memperhati­kan kasus ini sekaligus memberi­kan masukan kepada pemerintah Arab Saudi bagaimana seharus­nya memberikan perlindungan maksimal pada TKI.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA