WAWANCARA

Linda Amalia Sari: Sungguh, Nggak Ada Niatan Biarkan Perempuan Tertindas

Kamis, 10 Maret 2011, 03:58 WIB
Linda Amalia Sari: Sungguh, Nggak Ada Niatan Biarkan Perempuan Tertindas
Linda Amalia Sari
RMOL. Peringatan Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada 8 Maret lalu tidak begitu nyaring di Indonesia. Hanya sebagian perempuan Indonesia yang memperingatinya.

Segelintir orang mengkritisi negara, yang dianggap melaku­kan pembiaran terhadap perem­puan yang tertindas. Mulai dari kasus pelecehan, penganiayaan, pemerkosaan, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) serta tidak adanya hak yang semestinya bagi buruh dan tenaga kerja wanita (TKW).

Tentang hal itu, Menteri Negara Pemberdayaan Perem­puan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar menjamin, pemerintah tidak ada niatan sama sekali membiarkan perempuan Indonesia terus tertindas.

“Kami tidak pernah melakukan pembiaran,” ujar Linda kepada Rakyat Merdeka di kantornya, kemarin.

Negara dianggap melakukan pembiaran merujuk pada ke­naikan berlipat  kasus kekerasan perempuan. Tanggapan Anda?

Apa pun alasannya, negara tidak membiarkan dan diam. Kita punya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan perangkat aturan lainnya sebagai payung hukum bagi perempuan dan laki-laki jika terjadi KDRT.

Komnas Perempuan melan­sir ada 445 kasus kekerasan, naik delapan kali lipat sejak 2009. Benarkah begitu?
Kasus kekerasan memang fenomena gunung es yang me­nun­tut kesadaran masyarakat untuk melapor. Data kami, dari 27 provinsi yang memberikan laporan pada tahun 2010 terdapat 14.037 kasus.

Bagaimana Anda melindungi perempuan di tengah marak­nya kekerasan berbau agama?  
Prinsipnya, perempuan dan anak harus diprioritaskan dalam keadaan apa pun. Kementerian kami mendapat mandat melin­dungi mereka melalui kebijakan-kebijakan afirmasi maupun yang mendorong secara teknis. Itu telah kami lakukan di daerah ben­cana, konflik atau perlindungan tenaga kerja perempuan.

Lantas, upaya apa untuk men­­dorong peran perempuan me­nenangkan pasangannya yang terlibat dalam kelompok yang mengusung isu agama dan moral?
Secara psikologis perempuan lebih tidak tertarik dengan pen­dekatan kekerasan dan anarkis. Makanya, perempuan strategis untuk meredam konflik. Namun, kesulitannya, perempuan belum punya keberanian terhadap suami­nya karena masih dominan­nya budaya patriarki dalam ma­syarakat.

Apakah Anda masih meno­lak usul moratorium TKI?
Kami tidak menolak, tapi mora­torium se­baiknya pilihan terakhir. Bagi saya, jika morato­rium diterapkan maka akan lebih banyak TKI ilegal.

Relevankah alasan sulit meng­hentikan pengiriman TKI karena ter­batas­nya kesempa­tan kerja di negeri sendiri?
Faktanya, kesempatan kerja di dalam negeri memang terbatas. Tapi bukan berarti kita mengirim TKI tanpa aturan. Cara pandang masyarakat juga harus jelas karena masalah ini tanggung jawab bersama, termasuk pihak kami.

Lantas, apa yang sudah pe­me­rintah lakukan?
Secara langsung peran kemen­terian kami tidak terlihat karena tugas kami tidak pada penciptaan tenaga kerja. Tapi kami men­dorong pemberdayaan ekonomi perempuan dalam menunjang ekonomi keluarga dan masya­rakat yang akhirnya menunjang ekonomi makro.

Pilih mana, melanggar HAM dengan melarang TKW atau membiar­kan kasus kekerasan TKW te­rus terjadi?
Melarang TKW ke luar negeri belum tentu melanggar HAM jika itu membahayakan. Kami hanya ingin menciptakan suasana yang kondusif bagi TKW mulai dari perekrutan, pembekalan dan penempatan serta perlindungan.

Keterwakilan politik perem­puan selalu diikuti hancurnya institusi keluarga seperti per­ce­raian. Komentar Anda?
Jika terjadi seperti itu jelas saya tidak setuju. Tapi. saya yakin hal itu sangat sedikit terjadi di Indo­nesia. Kita bisa lihat perem­puan yang terjun di dunia politik juga berhasil dalam kehidupan ke­luarga dan bermasyarakat.

Program kesetaraan gender dianggap kapitalis dan gagal memuliakan perempuan. Apa­kah kementerian Anda masih mau meneruskan program ini?  
Di Indonesia konsep gender tidak sama dengan konsep femi­nisme, karena ketertinggalan perempuan di Indonesia disebab­kan salah satunya budaya pa­triarki selain juga pemahaman agama yang bias gender. Inilah yang harus direkonstruksi karena menghambat kemajuan perem­puan.

Sejauh mana negara mencip­takan keadilan dalam kasus poli­gami?
Undag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak membolehkan pria mela­kukan poligami sehingga nikah siri banyak dilakukan pria yang berpoligami dan itu sah menurut agama. Namun, pihak yang selalu dirugikan adalah perempuan karena secara hokum akan tera­baikan misalnya dalam hak harta warisan.

Adakah upaya meng-up­grade para pembantu rumah tangga? Terkesan para PRT hi­dup dan berjuang sendiri.
Upaya itu telah diintensifkan oleh DPR dalam Prolegnas ten­tang RUU Pekerja Rumah Tangga dan Kementerian Perem­puan mendukung upaya itu.  [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA