“Kalau dilihat situasinya saat saya diganti, hampir sama dengan sekarang, yakni desakan berbagai pihak. Jadi, reshuffle kabinet itu pasti terjadi,†ujarnya kepada RakÂyat Merdeka, di Jakarta, Jumat (4/3).
“Kalau ditanya kapan waktuÂnya, saya tidak bisa meramalkan. Tapi, sebagai seorang akademisi dan orang belajar politik, saya meÂlihat desakan untuk dilakukanÂnya reshuffle cukup besar dan PreÂsiden menyadari hal tersebut,†tambah bekas Menkumham itu.
Dijelaskannya, reshuffle kaÂbiÂnet merupakan bagian dari upaya Presiden menolong citra dirinya yang terus menurun, dan krisis kepercayaan rakyat terÂhadap pemerintahan.
“Jika kita melihat kondisi saat ini, dua hal tersebut telah terpeÂnuhi. Jadi, untuk memperbaiki kiÂnerja sekaligus citranya, PresiÂden akan melakukan reshuffle kabinet,†paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya:
Apa soal kalkulasi politik dan kinerja menteri saja sebagai alaÂsan dilakukan reshuffle kabiÂnet?
Keduanya memang saling berÂkaitan satu sama lain. Tapi, maÂÂsaÂlah kinerja harusnya tidak menÂjadi bagian dalam masalah poliÂtik. Sebab, pemerintah tidak akan dapat bertahan lama kalau tidak mampu meningkatkan kinerjaÂnya.
Sayangnya, dalam KIB II PreÂsiden terlalu banyak melakukan negosisasi politik dan kurang mampu mengukur kinerja. SeÂbab, yang ada dipikirannya hanya menjaga stabilitas pemerintahan saat berhadapan dengan DPR, sehingga menerima koalisi yang begitu luas. Namun, kurang meÂmikirkan faktor kinerja dari perÂsonel yang duduk di dalamnya.
Apa Presiden lebih memenÂtingÂkan stabilitas politik?
Kita lihat saja langkah-langkah yang diambilnya sampai pemÂbenÂtukan koalisi pemerintahan. Itu Sekretariat Gabungan Koalisi yang tidak lazim terjadi dalam sistem pemerintahan presidenÂsial, tapi Presiden tetap melakuÂkannya.
Padahal, Setgab sama sekali tidak ada kaitannya dengan kinerja.
Kemudian, kalau kita banÂdingÂkan dengan KIB I, kinerja pemeÂrintah saat itu jauh lebih sigap karena lebih banyak diisi orang-orang profesional di bidangnya.
Apakah dalam reshuffle seÂbelumnya, Presiden juga lebih mengedepankan pertimbangan politik?
Presiden SBY itu, cenderung melakukan penataan bila ada tekaÂnan, baik dari DPR maupun pihak lainnya. Jadi, dia kurang memperhatikan aspek kemamÂpuan dari para personel yang ditempatkannya.
Reshuffle KIB I pertama meruÂpakan bukti otentik, SBY lebih mengutamakan faktor politik dibanding kinerja. Saat itu, Alwi Shihab diganti sebagai Menko Kesra, karena sedang terjadi kiÂsruh di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Alwi dikeluarkan kemudian Menko Kesra diganti Aburizal Bakrie. Sri Mulyani keÂmudian menjadi Menteri KeÂuangÂan dan kader Golkar ditamÂbah sebagai Kepala Bappenas.
Secara fair, saya akui, saat itu memang masih ada pertimÂbaÂngan faktor kemampuan, namun perÂtimÂbangan politiknya masih lebih besar. Dalam reshuffle seÂÂlanjutÂnya, saya melihat SBY juga selalu mengedepankan faktor politik dibanding kemamÂpuan. Secara umum, seperti itu yang dilakukan SBY selama ini terhadap kabiÂnetnya.
Apa dampaknya jika pola seÂperti ini terus dipertahankan?
Jika mau belajar dari peristiwa yang lalu, SBY mestinya mengÂamÂbil langkah yang dalam. Harus mempertimbangkan fakÂtor huÂbungan politik juga keÂmampuanÂnya. Kalau dia meÂromÂbak kabinet semata-mata untuk memperkuat koalisinya, dia akan kembali meÂmasukkan orang-orang yang tidak memÂpunyai kiÂnerja. Pada akhirÂnya, SBY akan keÂsulitan mendongÂkrak kinerja pemerinÂtahanÂnya dan memenuhi janji-janjinya keÂpada rakyat saat kamÂpanye dulu.
Apa yang membuat SBY sulit memilih langkah tersebut?
Ini persoalan kultur dan sisÂtem. Dari segi kultur harus diaÂkui, kita belum bisa menerapkan arti dari suatu pemerintahan. Yakni, ada partai yang memeÂrintah dan ada partai oposisi. Kalau kita amati, praktek terseÂbut terjadi sejak zaman Orde Baru sampai saat ini. Padahal, di Tahun 1945 sampai 1948, tradisi parlementer itu daÂpat berjalan, yang oposisi-opoÂsisi, yang peÂmeÂrintah-pemeÂrintah.
Tapi, sejak zaman Orde Baru hingga saat ini, kita tidak lagi mampu membangun hal tersebut karena prilaku politiknya sudah berubah. Bahkan, partai-partai yang telah menyatakan berkoalisi pun tidak mampu beraksi saat menghadapi kasus Bank Century dan angket mafia pajak. Jadi, saat ini kita akan kian sulit untuk membedakan mana partai oposisi dan mana yang koalisi.
Kalau dari segi sistem?
Dalam sistem presidensial, kita sebenarnya tidak menganut sisÂtem koalisi dalam pemerintahan. Sebab, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, baik kultur mauÂpun sistemÂnya tidak menÂduÂÂkung. [RM]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: