Setya Novanto: Kemesraan SBY-Ical Nggak Bakal Berlalu

Selasa, 01 Maret 2011, 00:56 WIB
Setya Novanto: Kemesraan SBY-Ical Nggak Bakal Berlalu
Setya Novanto
RMOL.Presiden SBY dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) masih berhubungan baik setelah voting hak angket mafia pajak di DPR.

“Kemesraan Pak SBY dan Pak Ical nggak bakal berlalu gara-gara perbedaan pandangan Partai Demokrat dan Partai Golkar ter­kait hak angket. Hubungan ke­duanya baik-baik saja,” ujar Ketua Fraksi Partai Golkar DPR, Setya Novanto, kepada Rakyat Merdeka, di Gedung DPR, Ja­karta, kemarin.

Menurut Bendahara DPP Partai Golkar itu, kemesraan itu mem­berikan sinyal, Partai Golkar ti­dak akan dikeluarkan dari koalisi parpol pendukung pemerintah.

“Pak SBY bisa memahami posisi Partai Golkar yang berbeda pandangan dengan Partai Demo­krat soal hak angket. Pimpinan Partai Golkar kan sudah bertemu beliau (SBY) sebelum sidang paripurna DPR,’’ ujarnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kenapa Anda yakin SBY-Ical masih mesra, juga Partai Golkar tidak akan dikeluarkan dari parpol koalisi pendukung pemerintah?

Begini ya, komitmen Presiden SBY dengan pimpinan Partai Golkar di awal koalisi adalah ka­lau mau mengganti menteri dari Partai Golkar maka dibicara­kan dulu dengan pimpinan Partai Golkar. Nah, kalau hubungan Pak SBY dan Pak Ical mesra-mesra saja, ini berarti tidak ada sinyal pergantian itu.

Apa SBY sudah memberi­ta­hu, menteri dari Par­tai Golkar tidak akan diganti?

Tidak ada pemberitahuan se­perti itu. Jadi, saya kira cukup je­las ya bahwa Partai Golkar tidak akan dikeluarkan dari koalisi pendukung pemerintah.  

Tapi petinggi Partai Demo­krat begitu getol meminta agar Partai Golkar keluar dari koa­lisi pendukung pemerintah?  

Saya sangat memahami apa yang disuarakan teman-teman Partai Demokrat.  Tapi perlu kita ingat bersama, komitmen Partai Golkar adalah dengan Pak SBY selaku Presiden Republik Indo­nesia. Sedangkan Partai Demo­krat adalah mitra koalisi pen­dukung pemerintah. Jadi, kami setara, sehingga kurang elok kalau meminta kami keluar dari koalisi. Seharusnya parpol koalisi pendukung pemerintah saling menghormati untuk me­wu­judkan komitmen menjaga NKRI, menegakkan pilar-pilar bangsa berdasarkan Pancasila, dan menjaga sistem presidensial.

Partai Golkar dianggap se­ring berseberangan dengan Par­tai Demokrat, ini berarti di­nilai bukan teman koalisi?  

Saya kira itu pendapat keliru. Sebab, komitmen awal Partai Golkar dengan Presiden SBY adalah memberikan kebebasan kepada Fraksi-fraksi di DPR yang merupakan kepanjangan tangan Parpol, untuk mengkritik peme­rin­tah kalau ada kebijakan yang tidak membela rakyat. Sebab, DPR mem­punyai fungsi penga­wa­san, maka diperboleh­kan meng­­kritisi apa yang men­jadi kelemahan-ke­lemahan pe­me­rintah.

Barangkali masalah pajak bu­kan dianggap kelemahan pe­merintah, sehingga tidak perlu hak angket?

Soal sikap kami tentang hak angket pajak itu kan sudah kami jelaskan, Partai Golkar ti­dak mungkin menarik diri dari ke­inginan membentuk hak angket.

 Sebab, akan memperkuat du­gaan  masyarakat akan  keterliba­tan keluarga atau usaha Bakrie. Ini tentu berdampak sangat nega­tif bagi Partai Golkar. Alasan kami ini sangat dipahami Pak SBY dan sejumlah petinggi Partai Demokrat.

Apa itu saja alasannya?

Selain itu, kami ingin memper­baiki sistem perpajakan, sehingga bisa menaikkan penerimaan pa­jak. Apabila kita bisa menaikkan 1 persen tax ratio saja, maka da­pat meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp 70 triliun. Ini dapat memenuhi kebutuhan po­kok masyarakat miskin. Seperti, pembelian beras atau yang ber­kaitan dengan pembangunan ru­mah-rumah sederhana atau mem­bangun 120 ribu Puskesmas.

Jadi, sudahlah kita lupakan soal hak angket pajak ini, mari kita bersama mendukung pemerintah SBY-Boediono sampai 2014.

Tapi Partai Demokrta ke­cewa dengan sikap Partai Golkar?

Kami juga pernah kecewa, saat memperjuangkan dana aspirasi yang awalnya didukung teman-teman parpol koalisi, tapi akhir­nya kami ditinggalkan Partai Demokrat dan PKS. Kami pun bisa mema­hami sikap mereka. Ya, begitulah romantika politik di DPR.

Kejadian seperti ini sudah be­berapa kali terjadi. Ada perbe­daan pandangan sesama parpol koalisi dalam membahas hal yang strategis, tapi bukan berarti koa­lisi pecah atau terjadi sikut-siku­tan. Tidak begitu maknanya. Namun perbedaan itu menjadi pem­belajaran politik.

Jadi, saya berharap agar Partai Demokrat bisa memahaminya. Marilah kita melihat kepentingan lebih besar, yakni mengamankan pemerintah ini sampai 2014.  

O ya, Ketua Fraksi Partai De­mo­krat DPR Jafar Hafsah mengusulkan perlunya UU ten­tang Koalisi, bagaimana menu­rut Anda?

Saya kira tidak perlu. Ka­rena dalam hal koalisi itu yang perlu diperbaiki adalah format hu­bu­ngan komunikasi sesama parpol koalisi pendukung peme­rintah. Jadi, kalau terjadi perbe­daan pendapat satu sama lain, tentunya bisa dibicarakan secara bersama di dalam rapat koalisi.

Pengawasan DPR terhadap kasus Century kurang maksi­mal, bagaimana menurut Anda?

Ya, kondisinya memang seperti itu. Padahal, kasus Bank Century dapat kita kemukakan bahwa se­cara objektif, data dan fakta itu menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi cukup kuat.

Hal ini berdasarkan hasil audit investigasi yang dilakukan BPK dan rekomendasi dari DPR sebagai hasil Pansus Hak Angket kasus Bank Century. Tapi sampai sekarang masih belum ditindak lanjuti.

Sedangkan hasil Pansus DPR merupakan taruhan kewibawaan DPR sebagai lembaga negara. Di mana salah satu fungsinya mem­perjuangkan aspirasi rakyat. Dan apabila Bank Century tidak tuntas akan menjadi preseden buruk bagi Indonesia, sebagai negara hu­­kum yang juga menggradasi masyarakat pada pemerintah.

Untuk itu kita melihat ada indi­kasi-indikasi kuat, kasus Bank Century menjadi ka­bur dengan berbagai isu atau pe­ris­tiwa lain yang datangnya be­la­kangan. Jadi, kita akan upaya­kan terus-mene­rus ke berbagai pihak. Yaitu de­ngan meningkat­kan efektifitas tim kinerja penga­was DPR  terkait Bank Century.

Bagaimana caranya agar pe­nga­wasan DPR itu bisa efektif?

Saya mengusulkan Pimpinan Tim Pengawas DPR itu dipegang satu orang secara permanen. Ka­lau selama ini kan bergantian. Ini tidak efektif. Sebab, antara satu dan lainnya tidak saling mendu­kung untuk memperkuat. Bah­kan, justru saling melemahkan dan tidak berkesinambungan.

Siapa yang pas memegang posisi itu?

Terserah saja. Bisa Pak Tjahjo Kumolo, Pramono Anung, Anis Matta, atau  Priyo Budi Santoso. Silakan pimpinan  DPR yang me­mutuskannya. [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA