WAWANCARA

Dita Indah Sari: Ogah Disetir Penguasa, Tetap Membela Buruh

Minggu, 27 Februari 2011, 03:01 WIB
Dita Indah Sari: Ogah Disetir Penguasa, Tetap Membela Buruh
ilustrasi, buruh rokok
RMOL. Masuk birokrasi, tak membuat komitmen Dita Indah Sari memperjuangkan  buruh berubah. Dia berjanji tetap membela kaum termarjinalkan.

“Para buruh menaruh harapan kepada saya. Di sini saya akan berjuang lebih maksimal,” kata  Dita Indah Sari yang kini menjadi Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Dita telah memperjuangkan kaum buruh sejak rezim Soeharto berkuasa. Usai memimpin aksi di Tandes, Surabaya, Juli 1996, ia ditangkap dan diadili.

Dalam sebuah pengadilan yang tidak adil, Dita dijatuhkan hu­kuman delapan tahun penjara dan organisasi yang dipimpinnya, Pusat Perjuangan Buruh Indone­sia (PPBI) dianggap sebagai organisasi terlarang.

Tahun 1997-1998, Dita di­tahan di LP Wanita Malang dan LP Wanita Tangerang. Ia ke­mu­dian dibebaskan setelah men­dapat amnesti dari Presiden BJ Habibie.

Dita selanjutnya mengatakan, meski bergabung dalam biro­krasi, komitmennya terhadap per­juangan buruh tidak akan beru­bah. Sebab, belasan tahun men­jadi aktivis buruh telah mem­bentuk karakternya.

“Saya sudah 18 tahun menjadi aktivis buruh. Itu bukanlah waktu yang singkat. Karakter saya su­dah ditempa dengan berbagai peristiwa,” tegasnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa yang mendorong Anda masuk birokrasi?
Selama ini saya selalu di luar sistem, selalu oposisi. Namun, saya berpikir, bagaimana bisa ber­kontribusi efektif jika terus berada di luar. Selain itu, Cak Imin (Muhaimin Iskandar, Mena­kertrans) juga orang yang terbuka pada ide baru dan ingin melaku­kan terobosan. Jadi, saya bersedia masuk biro­krasi.

Bukannya kalau masuk biro­krasi menjadi terbelenggu?
Nggak seperti itu. Waktu men­jadi aktivis jalanan, ide-ide kami tidak terserap maksimal karena jalur birokrasinya sangat panjang. Namun, dengan adanya saya di dalam lingkungan tersebut, teman-teman dapat menghubungi saya, dan saya dapat berkomuni­kasi langsung dengan menteri. Jika menteri menyetujui, saya tinggal mensosialisasikan kepu­tu­san tersebut kepada seluruh staf dan jajaran di bawahnya, serta memastikan program tersebut tepat sasaran.

Aktivis lapangan dan bekerja dalam lingkungan birokrasi me­rupakan suatu hal yang sangat berbeda, apakah Anda rasakan seperti itu?
Dalam dunia aktivis itu hu­­bungannya ega­liter. Tidak ada per­bedaan antara koordinator, di­rektur, dan ketua. Jadi, kita bisa ekspresif dalam menyam­pai­kan pikiran. Kalau di biro­krasi, hu­bungan kerjanya berja­lan hierar­kis. Di sana kepang­katan dan senioritas men­jadi sa­ngat pen­ting.

Namun, saya tidak memiliki masalah dengan perbedaan ter­sebut. Setelah tiga bulan berga­bung dengan Kemenakertrans, saya sudah mampu beradaptasi dan menyikapi perbedaan ter­sebut.

Banyak orang khawatir, Anda terseret dalam sistem, se­hingga sosok pro buruh bisa menjadi pro penguasa?
Apa yang saya alami selama menjadi aktivis, telah memben­tuk karakter saya. Pondasi ter­sebut sudah sangat kokoh, se­hingga saya tidak mudah ter­pengaruh. Saya tidak akan meng­­khianati apa yang telah saya jalani. Saya ogah disetir pengua­sa, tetap membela buruh dengan memperjuangkan nasib­nya. Tapi kalau ada yang skeptis, ya lihat saja nanti. Saya akan buktikan.

Apakah masih sering berhu­bungan dengan aktivis?
Saya bersyukur dengan kegia­tan saya sekarang. Selain me­miliki banyak teman, jaringan saya pun bertambah. Meski ja­rang melakukan pertemuan lang­sung, namun komunikasi kami melalui SMS, Facebook, atau e-mail terus berjalan.

Terkadang, mereka datang kepada saya dan meminta ban­tuan.

Misalnya, teman dari serikat buruh yang ingin mengadukan kasus, advokasi dan sebagainya.

Anda cukup nyaman ya?
Betul. Sejauh ini, saya cukup menikmati pekerjaan ini. Saya senang, karena bisa berkontribusi ide dan tenaga di lingkaran pengambil keputusan. Meskipun perkerjaan saya lebih banyak, saya mengangap hal tersebut sebagai sebuah tantangan.

Bagaimana dengan jam kerja?
Waktu berjuang sebagai akti­vis, saya memiliki jam kerja yang tidak teratur. Namun, mes­ki su­dah terbiasa bekerja keras dan turun kejalanan, jam kerja saya saat ini membuat saya lebih capek.

Sebab, waktu kerja­nya le­bih panjang. Saya masuk pagi dan biasanya pulang ma­lam. Kadang kalau Sabtu atau Minggu ke luar kota, karena ada pe­kerjaan.

Dari segi pemikiran dan pe­kerjaan, lebih melelahkan seka­rang ini karena mengurusi lebih banyak persoalan. Kalau menjadi aktivis buruh, saya hanya mem­perjuangkan masalah advokasi, perlindungan, kenaikan gaji, dan sebagainya.

Namun sebagai staf ahli men­teri, ruang kerja saya tidak hanya sekadar persoalan buruh. Saya harus mengurusi masalah pe­ngangguran, jaminan sosial, lapangan pekerjaan, dan sebagai­nya.  [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA