I Ketut Mardjana: Pos Indonesia Sering Nombokin Dana PSO

Minggu, 09 Januari 2011, 00:07 WIB
I Ketut Mardjana: Pos Indonesia Sering Nombokin Dana PSO
RMOL.Tangan dingin I Ketut Mardjana, ternyata mampu membawa perubahan yang siginifikan bagi PT Pos Indonesia. Terbukti, setelah Mardjana masuk pada pertengahan 2008, perusahaan yang identik dengan warna oranye ini kian lincah memainkan perannya yang strategis.

Sukses ini ditandai dengan kemampuan Pos Indonesia me­raup laba sebelum pajak sebesar Rp 98 miliar pada akhir 2009. Kemudian di akhir 2010, laba sebelum pajak yang dicatat  pe­rusahaan berlogo burung merpati ini, meningkat hingga Rp 114 miliar.

Ini tentunya prestasi yang luar biasa, mengingat di tahun 2004-2008, Pos Indonesia terpuruk dalam kerugian hingga ratusan miliar rupiah. Keberhasilan ini patut mendapat acungan jempol, mengingat Pos Indonesia harus berji­baku dengan mi­nim­­nya kom­pen­sasi public service obligation (PSO) atau jasa pela­yanan publik, yang diberikan pemerintah. Lalu, bagaimana Pos Indonesia me­nyiasati hal ini? Mari kita simak obrolan Rakyat Merdeka, dengan orang nomor satu di PT Pos Indonesia.

Sebagai BUMN yang me­ngem­­ban misi bisnis dan sosial, tu­gas PT Pos Indonesia tidak bisa dibilang ringan. Sebab, selain ha­rus mencetak profit, Pos Indone­sia juga dituntut mem­beri­kan jasa pelayanan pu­blik berupa layanan pos univer­sal. Bagai­mana Pos Indonesia menjalani dua misi ini?

Memberikan jasa layanan pos universal yang sebenarnya meru­pakan tugas pemerintah, memang bukan tugas yang ringan.

Pos Indonesia tetap harus menyampaikan sepucuk surat ke daerah transmigrasi/terpencil ataupun medan perang, misalnya. Selain itu, berkembangnya dae­rah pemekaran menjadikan Pos Indonesia semakin berat. Sebab, kantor pos di wilayah terpencil umumnya selalu merugi. Dan yang tidak kalah penting, kami harus mampu menjangkau wila­yah terpencil di daerah perbata­san. Karena keberadaan kantor pos di sana, merupakan lambang bahwa wilayah tersebut masuk wilayah kedaulatan Indonesia. Semua itu, jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Apakah dalam hal ini pe­me­rintah sudah bersi­kap fair?

Dalam hal ini, treatment (perla­kuan, red) yang di­berikan peme­rin­tah me­mang belum fair. Sesuai amanat peme­rintah, Pos Indone­sia sudah menja­lankan tugas pelayanan publik seperti mencip­takan layanan pos universal yang mencakup keter­sediaan infra­struktur, tarif laya­nan standar, menjangkau semua tempat di luar negeri sebagai perwujudan kebe­basan transit dan wilayah pos tunggal, dan standar kinerja yang me­madai.

Namun, kompensasi yang kami terima masih belum mema­dai. Tahun 2009, kami sudah mengucurkan dana Rp 256,26 miliar untuk jasa layanan publik. Tapi, kompensasi yang kami terima hanya Rp 175 miliar. Dengan kata lain, kami rugi Rp 81,42 miliar. Dan total keru­gian yang dialami Pos Indonesia sebagai akibat penugasan pem­berian jasa layanan publik pada 2003-2010, diperkirakan menca­pai Rp 342,88 miliar. Ke­rugian akibat kurang bayar itu tak kunjung dibayar. Ini kan nama­nya Pos Indonesia yang men­subsidi negara.

Lalu, treatment yang fair itu seperti apa?

Begini, PSO itu kan bukan subsidi. Kalau subsidi, kita sudah tidak menerima. PSO itu kan biaya yang harus dikeluar­kan negara, agar jasa pelayanan publik tetap terjamin dan ter­jang­kau oleh sebagian besar ma­­sya­rakat. Ini ada dasar hu­kum­­nya. Sesuai UU No.19 Ta­hun 2003, pemerintah dapat memberikan pe­nugasan khusus kepada BUMN untuk menye­lenggarakan fungsi kemanfaatan umum, de­ngan tetap memper­hatikan mak­sud dan tujuan ke­giatan BUMN. Apabila penuga­san tersebut menurut kajian secara finansial tidak visibel, pe­merin­tah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluar­kan oleh BUMN tersebut. Terma­suk, margin yang diharapkan. Kalau begitu kan, yang kurang bayar itu seharusnya dibayar, dan di­tambah dengan margin. Jadi, kami berharap, pemerintah bisa lebih fair menyikapi hal ini.

Apa yang terjadi, kalau kon­disi seperti ini terus dibiarkan?

Kalau begini terus, Pos Indone­sia bisa terdegradasi. Kami jadi sulit berinvestasi, kesejahteraan karyawan terhambat, dan effort untuk bekerja keras menjadi tidak ada. Ini kan bahaya. Apalagi, peran Pos Indonesia  sangat stra­tegis bagi bangsa dan negara. Terutama sebagai perekat hubu­ngan antarmasyarakat, penggerak perekonomian masyarakat, alat komunikasi untuk keselarasan politik dan persatuan nasional, faktor dasar sosial, dan budaya, pe­rantara efektif hubungan dengan berbagai institusi, dan alat pertahanan/kedaulatan negara. Jadi, tolong, masalah ini betul-betul diperhatikan.

Kira-kira, langkah konkret apa yang harus diambil peme­rintah agar misi sosial Pos Indo­nesia dapat berjalan deng­an baik, dan tidak membe­rat­kan kinerja keuangan?

Saya berharap, pemerintah bisa memperlakukan Pos Indonesia sebagai entitas bisnis. Antara lain, bersedia men-support kantor pos di daerah perbatasan dan pem­bua­tan kode posnya, memberi perhatian yang selayaknya ke­pada pensiunan Pos Indonesia yang notabene merupakan pen­siunan pegawai negeri, memper­cayakan  pengiriman surat-surat dinas yang bersifat rahasia, dan berperan aktif dalam program penyehatan Pos Indonesia. Yang tidak kalah penting, adalah pem­berian dana kompensasi PSO secara wajar.

Itu tadi kan faktor dari pe­me­rintah. Ada hal-hal yang harus dibenahi pemerintah, terkait pe­ningkatan kinerja Pos Indo­ne­sia yang menjalan­kan misi bisnis dan misi sosial. Kalau dari internal sendiri ba­gai­mana? Apa yang akan dilaku­kan Pos Indo­nesia untuk mem­berikan laya­nan yang terbaik?

Saya selalu berusaha meyakin­kan seluruh pegawai bahwa sebagai BUMN berbentuk PT, meningkatkan kesejahteraan hanya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pertumbuhan pendapatan dan laba perusahaan. Jangan lagi menunggu pelanggan datang. Kita harus proaktif jemput bola untuk merebut pasar. Dan untuk me-maintenance karyawan berkinerja baik, saya sudah menganggarkan dana dari laba perusahaan.

Kalau resolusi di tahun 2011 bagaimana?

Untuk tahun 2011, Pos Indone­sia menargetkan pertumbuhan laba sebesar Rp 119 miliar. Saya optimis semua lini usaha perusa­haan akan menunjukkan pening­katan kinerja yang signifikan, baik pada layanan surat, logistik, ataupun jasa keuangan.

Saya pre­diksi, jasa pengiriman uang (remitansi) akan mengalami lonjakan yang cukup tajam. Saya berani bilang begini, karena fakta­nya pengiriman uang mela­lui Pos Indonesia naik signifikan dari Rp 43,7 triliun pada 2009 menjadi Rp 53 triliun pada 2010. Dari remitansi pada 2010, kami membukukan pendapatan sebesar Rp 235 miliar.

Di sisi lain, Pos Indonesia juga akan menggenjot lini usaha logis­tik, yang hingga saat ini masih berkontribusi minim. Setelah membuka pelayanan di bandara di Jakarta, kami juga akan mela­kukan hal serupa di Medan, Sura­baya, dan Makassar.

Untuk jasa pengiriman surat bagaimana? Apakah Pos Indo­nesia memiliki strategi khusus untuk menyiasati gempuran pesaing di era liberalisasi pos?

Tren di dunia, surat individual memang mengalami penurunan karena teknologi komunikasi. Tapi, surat korporat terus menun­jukan tren naik. Kondisi ini harus bisa kita tangkap sebagai peluang bisnis. Kami akan mendorong layanan admail, yang diyakini mampu memberikan keuntungan bagi pelanggan Pos Indonesia. Selain sebagai jawaban atas tantangan bisnis yang dihadapi, kehadiran unit bisnis ini juga dimaksudkan untuk memberikan solusi terintegrasi bagi para pe­langgan korporat.

Perusahaan yang menggu­nakan layanan ini cukup menye­diakan softcopy dokumen mau­paun surat. Pekerjaan selan­jut­nya, mulai dari pencetakan hingga distribusi, akan dilakukan oleh Pos Indonesia.

Apakah Pos Indonesia juga memiliki kemungkinan untuk memisahkan unit bisnis ter­tentu menjadi anak peru­sa­haan?

Sangat mungkin. Terutama untuk jasa logistik, yang me­miliki  potensi pasar  cukup besar. 13 persen dari Produk Domestik Brutto merupakan kebutuhan logistik.

Saat ini, strategic business unit (SBU) Pos Logistik memiliki modal yang cukup untuk menjadi perusahaan tersendiri, karena menjadi operator gudang lini satu di Ban­dara Soekarno-Hatta sejak Agustus 2010. Selain itu, SBU Pos Logistik PT Pos Indonesia juga mengantongi izin jasa kepa­beanan yang memungkinkan melakukan aktivitas ekspor dan impor. Bahkan, kami pun sudah mengopera­sikan satu pesawat Boeing 737 seri 300 untuk pela­yanan Jaya­pura-Wamena.

Untuk mencapai target ter­sebut, Pos Indonesia pastinya memerlukan strategi agar ti­dak kalah dalam bersaing. Strategi khusus apa saja yang sudah Anda siapkan?

Ada tiga strategi yang sudah disiapkan. Pertama, Pos Indone­sia memodernisasi bangunan dan pelayanannya, baik di kantor pusat maupun di cabang. Selain itu, Pos Indonesia juga akan me­nambah titik-titik pelayanan sampai ke pelosok daerah. Saat ini, Pos Indonesia memiliki 3.700 cabang dengan 24.000 titik layanan. Kedua, membangkitkan kembali brand image Pos Indo­nesia. Ketiga, memberikan pela­ya­nan berbasis teknologi dan informasi (TI). Untuk merealisa­sikan teknologi layanan berbasis TI, kami telah menyiapkan dana Rp 500 miliar.

Tercapainya target tersebut akan sangat tergantung respon pasar, kesiapan produk, dan sumber daya manusia yang kita punya.

Anda yakin, Pos Indonesia bisa menjadi perusahaan ter­baik dalam jasa layanan pos di Indonesia?

Saya yakin seyakin-yakinnya. Rapor biru yang dicatat Pos Indo­­ne­sia dalam dua tahun ter­akhir, adalah bukti nyata ke­percayaan karyawan dan masya­rakat. Selain itu, kami juga pu­nya keunggulan. Jaringan kami paling lengkap di seluruh nusan­tara, menjangkau hingga pelosok desa dengan 3.700 ca­bang di 25.000 titik laya­nan. Kalau itu kami optimalkan dengan baik, pandai mencari peluang, dan mendapat perla­kuan dari peme­rintah secara fair, kami yakin Pos Indonesia mampu menjadi peru­sahaan pos terbaik. [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA