Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Negara Gagal atau Pemerintahan Gagal?

Rabu, 06 Oktober 2010, 00:00 WIB
Negara Gagal atau Pemerintahan Gagal?
ilustrasi
INDONESIA sebagai failed state (negara gagal) menjadi topik perbincangan paling hangat dalam dua tahun terakhir ini. Makanya, jangan heran bila buka situs “pencarian google” dan kita ketik “Indonesia negara gagal”, hanya dalam tempo 17 detik akan muncul 1.190.000 topik.

Memang banyak forum digelar, dan ratusan artikel ditulis para ahli, untuk mengupas nasib negeri kita yang terindikasi sebagai negara gagal. Tentu saja semuanya dijelaskan dengan sangat gamblang, lewat indikator keilmuan dan fakta empirik, yang niscaya juga kita rasakan bersama.

Paling banyak dijadikan referensi adalah sosiolog Noam Chomsky, yang dalam bukunya (Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy, 2006), bilang begini: Sebuah negara bisa dinyatakan gagal bila tidak punya kemampuan atau ogah-ogahan melindungi warganya dari berbagai tindak kekerasan dan ancaman kehancuran.

Satu lagi yang penting dari ciri-ciri failed state. Negara tidak bisa menjamin hak-hak rakyatnya, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Institusi-institusi demokrasi juga gagal dipertahankan.

Lebih parah lagi kalau institusi demokrasi seperti KPU, DPR, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, malah dikriminalisasi, lalu dikooptasi untuk kepentingan sesaat kelompok tertentu. Sehingga “hukum” dimanipulasi dan dijadikan instrumen untuk menggebuk lawan-lawannya.

Di negeri kita, ciri-ciri negara gagal versi Chomsky yang sudah disepakati sebagai indeks internasional negara gagal, memang sangat nyata adanya. Tapi dalam konteks negeri kita yang presidensial, yang memosisikan Presiden RI sebagai representasi Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, maka kata “negara” itu arti harfiyahnya adalah: Pemerintah!

Itulah sebabnya dalam melihat negeri kita, saya lebih sreg meminjam “kacamata Gus Dur” yang insya-Allah benar karena sumbernya nilai-nilai Islam. Jadi situasi negeri kita sekarang, lebih disebabkan lemahnya kepemimpinan nasional. Hal yang juga sering dilontarkan dan dirasakan banyak orang.

Sedangkan dalam soal kepemimpinan, Gus Dur (semoga Allah menjamin surga bagi beliau), pernah mengatakan:

Sebenarnya terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan dan konsep negara dalam pandangan Islam. Saya pernah mengemukakan sumber tertulis (dalil naqli) bagi sebuah pandangan Islam. Adagium itu adalah, “Tiada agama tanpa kelompok atau masyarakat, tiada masyarakat tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa sang pemimpin" (La dina Illa bi jama'atin wa la jama'ata illa bi imamatin wa la imamata illa bi imamin).”

Kita tahu, dalam Islam pemimpin memiliki arti sangat penting. Karena pemimpin adalah pejabat yang bertanggungjawab atas penegakan perintah-perintah Islam dan pencegah larangan-larangan-Nya (amar ma'ruf nahi munkar). Untuk itu, pemimpin dilengkapi dengan kekuasaan efektif (sa'ukah).

Dalam Islam, kata Gus Dur, pola kepemimpinan haruslah berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan orang banyak, demi kepentingan umum. Sebab kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah al-mashlahah al-'ammah).

Makanya, tesis Chomsky soal negara gagal dalam konteks Indonesia harus ditafsirkan sebagai: pemerintahan gagal. Jadi kegagalan terciptanya keselamatan dan kesejahteraan umum dalam sistem ketatanegaraan kita adalah kegagalan kepemimpinan.

Sedangkan untuk keluar dari penderitaan, Islam (Qur’an) sudah memberi pedoman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada mereka !”

Bagi orang-orang yang berpikir, niscaya paham apa maksud ayat (Qur’an) ini, dan tahu harus berbuat apa menyaksikan keadaan negeri ini. [**]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA