Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Republik Krisis Ketata-negaraan

Rabu, 29 September 2010, 00:00 WIB
Republik Krisis Ketata-negaraan
NEGARA Indonesia adalah negara hukum.Ini bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945.Itu sebabnya segala sesuatu yang berjalan di republik ini (harus) ada aturan hukumnya.Acuan hukum standar di bawah Konstitusi adalah (1) hukum produk negara, (2) hukum agama dan (3) hukum adat (konsensus anggota masyarakat).

Hukum rimba, hukum karma, hukum alam, dan jenis hukum lain tidak bisa dijadikan acuan karena belum pernah menjadi kesepakatan umum. Khusus bagi para penyelenggara negara, hukum tatanegara wajib ditaati setelah UUD 1945.

Kalau Anda ingin jadi presiden, wajib paham ini. Karena sebelum dinobatkan, Anda harus mengucapkan sumpah yang bunyinya seperti ini:

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh UUDdan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa.”

Memahami hukum sangat penting karena Presiden adalah Kepala Negara yang secara moral jadi panglima bagi tegaknya konstitusi dan produk undang-undang lainnya.Bukan malah sebaliknya, mengacaukan tata-hukum nasional.Atau, Presiden justru jadi sumber (biang) segala jenis kerancuan hukum.Menimbulkan krisis ketata-negaraan seperti sekarang.

Beruntung kita punya Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata-negara, yang mau buang-buang waktu membawa status Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk diuji legalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ternyata benar, jabatan Jaksa Agung bagi Hendarman ilegal.Memang, keputusan MK atas jabatan Hendarman per Jumat (24/9) pukul 14.35.Tapi langkah MK dilakukan agar tidak menimbulkan kekacauan hukum.

Hanya secara politik, keputusan itu menjelaskan kepada kita kejaksaan, institusi publik yang berperan menegakkan hukum publik, selama berbulan-bulan ternyata dipimpin oleh Jaksa Agung gadungan.

Semua ini terjadi karena Presiden RI SBYudhoyono kurang paham hukum.Atau, lupa pada sumpah yang pernah diucapkannya di hadapan rakyat.

Bisa jadi Yudhoyono paham hukum dan ingat sumpah.Tapi menegakkan hukum tidak menjadi prioritas.Karena bisa saja menurut pandangan Presiden, menegakkan citra jauh lebih penting dibandingkan menegakkan hukum.

Meskipun ini soal penafsiran prioritas semata, tapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kesalahan menafsirkan prioritas seorang pemimpin bakal menimbulkan persoalan serius di masyarakat.

Mungkin itu pula sebabnya Presiden tidak merasa perlu turun tangan menyelesaikan kemelut di tubuh Kepolisian RI, baik menyangkut konflik di tingkat petingginya maupun isu “rekening gendut” milik para jenderalnya.

Padahal kepolisian, menurut undang-undang, adalah pasangan kejaksaan dalam menegakkan hukum publik.Jantung bagi tumbuhnya Republik Indenesia sebagai “negara hukum” seperti amanat Konstitusi.

Kalau kita mau mempermalukan Presiden, yang memilih “citra sebagai panglima”, sebenarnya ada banyak kebijakan yang bila divisum secara hukum, akan menghasilkan kesimpulan yang sama: ilegal.

Misalnya, Kepres untuk memperpanjang jabatan komisioner Komisi Yudisial. Bobolnya kas negara Rp 6,7 triliun yang kita kenal sebagai “skandal rekayasa bailout Bank Century” juga dipicu dari Istana, lewat Perppu yang kemudian ditolak DPR.

Tapi krisis ketata-negaraan yang terjadi sekarang, membuktikan pandangan saya saat jadi jubir Presiden Gus Dur. “Tidak ada urgensinya presiden harus bisa melihat…!”

Lihat sekarang.Semua penyelenggara negara bisa melihat.Hasilnya?Kesalahan administrasi justru paling menonjol.Banyak yang kemudian mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam jumlah triliunan rupiah. [**]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA