Bencana Sumatera, Telaah Konstitusi dan Sustainability

Senin, 15 Desember 2025, 23:34 WIB
Bencana Sumatera, Telaah Konstitusi dan Sustainability
Dadangsah Manjalib. (Foto: Dokumentasi Penulis)
AKHIR November 2025 menggores catatan cerita duka bangsa, banjir bandang dan tanah longsor di berbagai titik lokasi pulau sumatera meliputi provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh menyebabkan lebih dari 1000 orang dinyatakan meninggal dan jutaan jiwa terdampak kehilangan tempat tinggal serta mata pencaharian. 

Yang lebih menyayat hati, pada saat kita menyaksikan saudara kita tergapai-gapai di tengah seretan arus banjir berupaya menyelamatkan nyawanya, potongan kayu balok secara glonggongan terburai menutupi permukaan derasnya arus banjir bandang dan menerjang saudara-saudara kita yang tengah hanyut tersebut.

Peristiwa pahit ini  membuat mata kita terbelalak dan memahami bahwa bencana tersebut bukan faktor fenomena alam semata, melainkan bencana ekologi akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak bijak, tidak adil dan tidak berkelanjutan (Sustainability). Kombinasi hujan ekstrim dengan degradasi lingkungan akibat deforestasi, ekspansi perkebunan, dan buruknya tata kelola pertambangan menciptakan kerentanan struktural yang berujung pada tragedi kemanusiaan.

Orientasi Kebijakan

Dalam sistem sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan yang kian erat saling terpaut, instabilitas darinya akan mempengaruhi rantai suplai nasional dan global. Bencana alam, kemampuan daya beli, perlambatan ekonomi, gangguan produksi, hingga pada akhirnya menjerumuskan dalam jurang konflik sosial politik yang sangat destruktif dan tidak memberikan kepastian. 

Mengingat kembali pada peristiwa Great Depression 1930 yang mana ekonomi global terjun dalam jurang resesi yang menyebabkan krisis multidimensi. Seorang ekonom Amerika, Howard R. Bowen melakukan analisis dan menarik kesimpulan bahwa kehadiran industri dan pemanfaatan sumber daya alam seharusnya tidak untuk mengejar profit semata, melainkan juga harus memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas sosial ekonomi dan lingkungan. 

Menurut Bowen, value dari ekonomi lebih dari hanya sekedar kepentingan profit oriented semata, namun hendaknya secara bersama sama pemangku kebijakan dan stakeholders memiliki tanggung jawab untuk menjaga daya beli masyarakat, stabilitas ekonomi hingga ujungnya mengenai keamanan nasional dan global.

Begitupun dalam hal kebijakan pemanfaatan sumber daya alam, hendaknya berpegang erat pada asas keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan, sehingga pemenuhan kesejahteraan bukan hanya berorientasi jangka pendek, namun ia harus berorientasi pada keselamatan semesta dan keadilan pada generasi mendatang.

Hakikat Sustainability

Memang, konsep Social Responsibility dalam dunia ekonomi bisnis secara eksplisit baru diperkenalkan oleh Howard R. Bowen melalui bukunya ‘Social Responsibility of the Businessman’ yang mana Howard menekankan tolok ukur pencapaian ekonomi mesti dilandaskan pada nilai-nilai keadilan, distribusi kesejahteraan dan keamanan nasional.

Namun kendati kajian pemikiran konsep Social Responsibility dalam dunia ekonomi bisnis baru diperkenalkan pada pertengahan abad ke 20 oleh Howard, sejatinya prinsip-prinsip tersebut sudah dipraktekkan oleh manusia melalui filantropi atau donasi charity dalam sepanjang sejarah peradabannya di berbagai belahan dunia, hal ini tidak lain adanya faktor sosial etik yang terus berkembang di tengah masyarakat. Hanya saja, kesadaran sosial etik demikian, ketika itu belum terbangung atau dianut secara struktural dalam budaya  dan regulasi pada suatu entitas bisnis hubungan industrial.

Yang menjadi highlight dalam hal ini adalah, tercetusnya gagasan social responsibility dalam koridor etis hubungan ekonomi bisnis oleh Howard R. Bowen, tidak terlepas dari sisi buruk revolusi industri atas eksploitasi terhadap kaum buruh dengan upah dan jam kerja yang tidak sebanding, disertai resiko keamanan dan kesehatan kerja yang tidak terjamin. 

Revolusi industri yang ditandai dengan penemuan energi tenaga uap oleh James Watt pada tahun 1763 telah memantik transformasi sosial budaya secara signifikan. Fenomena yang terjadi pada pertengahan abad ke 18 itu telah menjadi tonggak sejarah peradaban manusia, yang mana tadinya sistem produksi di berbagai aspek dilakukan secara konvensional, beralih pada industrialisasi dengan kecepatan produksi meningkat secara signifikan. Seiring dengan itu, terjadi kesenjangan sosial antara pemodal dan pekerja. Hal inilah yang memicu teori kritis perlawanan Karl Marx dengan bukunya yang berjudul Das Kapital. 

Adapun Karl Marx meyakini, ekonomi yang tidak berkeadilan akan menjadi bom waktu. Upah yang rendah menjadikan daya beli masyarakat, lemah. Sementara produksi barang kian meningkat, pada puncaknya ekonomi akan collapse akibat over produksi yang tidak diimbangi dengan daya beli. Pabrik membanjiri pasar namun rakyat tidak mampu membeli. 

Apa yang terjadi kemudian pada resesi ekonomi global tahun 1930 yang dikenal dengan Great Depression mengkonfirmasi relevansi pandangan Marx, yang mana melalui hasil analisis ekonom inggris, John Maynard Keynes mengungkapkan, pemicu krisis ekonomi global kala itu akibat turunnya daya beli masyarakat berimplikasi pada perlambatan laju produksi dan pemutusah hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Situasi demikian menyebabkan kredit macet membengkak dan runtuhnya saham wall street. 

Argumentasi peristiwa Great Depression ini digunakan oleh Howard R. Bowen dalam bukunya ‘Social Responsibility of the Businessman’  sebagai contoh historis untuk mendukung gagasannya dalam mendorong kesadaran tanggung jawab sosial yang terbangun secara struktural dalam hubungan industrial.

Selanjutnya memasuki abad 21, gagasan Social Responsibility  terus dikembangkan secara struktural pada kelembagaan yang dianut dalam skala global. Di mana, gagasan ini inheren dalam program Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2015.

Sehingga Sustainability dimaknai sebagai prinsip etis untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Konsep ini menekankan pengelolaan sumber daya yang bijaksana dan bertanggung jawab untuk memastikan kelestarian jangka panjang, dengan menyeimbangkan tiga pilar utama yakni; lingkungan, ekonomi, dan sosial. 

Manifestasi Konstitusi Adil Makmur

Landasan pemanfaatan sumber daya alam secara bijak berkeadilan (sustainability) telah terpatri secara konstitusi dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke II dan ke IV yang menegaskan frasa adil makmur bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai cita-cita luhur bangsa dan tujuan bernegara. Berkeadilan yang dimaksud tidak hanya pemenuhan kesejahteraan umum pada generasi saat ini, namun juga harus berorientasi pada keselamatan semesta dan keadilan pada generasi mendatang.

Untuk itu, dengan kerendahan hati kami mengajak semua stakeholders atau semua aktor untuk bahu-membahu dan bertindak bijak dalam pembangunan ekonomi atau pemanfaatan sumber daya alam dengan mengacu pada keseimbangan lingkungan, ekonomi dan sosial demi mencapai cita-cita luhur bangsa dan tujuan negara yakni adil makmur untuk seluruh rakyat Indonesia. rmol news logo article


Dadangsah Manjalib (Om D)
Mahasiswa Magister Komunikasi Universitas Nasional (UNAS) yang juga Penggerak Sustainability 


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA