Logika ekonomi politik pembangunan dalam PSN yang demikian tak perlu dipersoalkan secara panjang. Sebab, setiap orang di republik ini merindukan kesejahteraan dan keadilan sosial yang sejak lama hilang. Namun, jika jargon pembangunan hanya indah di atas kertas, namun buruk dalam praktik, maka layak disebut “retorika kosong Prabowo-Gibran”, sebab, minim perubahan.
Jika membaca dokumen Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 yang mengatur terkait Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada era pemerintahan Prabowo-Gibran, dalam buku I ditemukan terkait pengaturan proyek strategis nasional. Bled tersebut pada pokoknya telah memandatkan 77 daftar indikasi PSN. Pada pokoknya, lintas sektor yang berupa proyek dan program strategis: mulai dari makan bergizi gratis (MBG); pembangunan manusia dan kebudayaan; swasembada pangan; swasembada air; hilirisasi, industrialisasi, dan transformasi digital; konektivitas dan kawasan hingga perumahan dan permukiman.
Perpres 12/2025 RPJMN hanya memandatkan, PSN sektor pelabuhan terdiri atas: Pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan Bali, Pengembangan Pelabuhan Ambon Terpadu Maluku, dan Pembangunan Pelabuhan Patimban Jawa Barat.
Berbeda dengan Prabowo (Perpres RPJMN), bahwa Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian melalui Permenko Perekonomian No. 16/2025 Perubahan Kedelapan atas Permenko Perekonomian No. 7/2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional pada bagian lampirannya telah memuat 15 PSN sektor pelabuhan; Pelabuhan KEK Maloy (Kalimantan Timur), Pelabuhan Sanur (Bali), Pelabuhan Likupang (Sulawesi Utara), Makassar New Port (Sulawesi Selatan), Terminal Multipurpose Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Pelabuhan Patimban (Jawa Barat).
Selanjutnya, tercatat Pelabuhan Terminal Kijing (Kalimantan Barat), Pengembangan Pelabuhan Kupang (NTT), Pelabuhan Sorong (Papua Barat Daya), Pelabuhan Teluk Palu (Sulawesi Tengah), Pelabuhan Hub Internasional Kuala Tanjung (Sumatera Utara), Pelabuhan Hub Internasional Bitung (Sulawesi Utara), Pelabuhan Benoa atau Bali Maritime Tourism Hub (Bali), Pelabuhan Palembang Baru (Sumatera Selatan), hingga Pelabuhan Terminal Peti Kemas Muaro Jambi (Jambi).
Jika membaca secara cermat, perubahan daftar PSN sektor pelabuhan tersebut bukan semata penambahan proyek, tetapi menunjukkan pergeseran orientasi prioritas pembangunan, yang kadang sulit dijelaskan oleh logika tata kelola pemerintahan yang berpihak pada warga kecil. Di atas kertas, proyek pelabuhan menjadi salah satu tiang penting dalam narasi pembangunan nasional; mengurangi biaya logistik, memperlancar alur barang, serta menjadi pusat integrasi ekonomi regional.
Namun demikian, jika diuji lebih jauh, di mana perubahan PSN sektor pelabuhan (versi RPJMN 3 PSN Pelabuhan) vs Permenko 16/2026 (15 PSN Pelabuhan), maka pertanyaan besar muncul; siapa yang memenangkan peta pembangunan itu, dan siapa yang justru terpinggirkan?
Laporan riset lapangan Lokataru sejak Desember 2024 hingga Desember 2025, termasuk melalui laporan penelitian dan investigasi pada PSN Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat, pada Juli lalu berjudul “Pelanggaran HAM dan Hukum dalam PSN Pelabuhan Patimban: Nelayan dalam Kepungan Bisnis” (Lokataru, 2025), serta pemetaan awal terhadap 14 PSN Pelabuhan lainnya, ada pola pelanggaran yang tidak dapat diabaikan; Mereka yang paling terdampak adalah yang paling tidak didengar.
Studi Lokataru pada rentang waktu April-Juli 2025 di PSN Pelabuhan Patimban memperlihatkan, tercatat 800 nelayan kehilangan daerah tangkapan (fishing ground), 500 warga lokal terdampak kebijakan penutupan akses jalan, 625 anggota koperasi desa lumpuh (tidak berproduksi), 30 pedagang kaki lima dikepung proyek pelabuhan, 285 petani tambak kehilangan lahan, mafia tanah, skema pembiayaan PSN Patimban melalui utang dari perusahaan Jepang, budaya nadran lumpuh, dan kerusakan ekologis serta pencemaran perairan lainnya ialah bukti buruknya PSN era Jokowi. Potret buram tersebut seolah-olah “akan diulangi” pada rezim Prabowo-Gibran.
Nelayan dan pedagang kecil yang kehilangan ruang hidup, tetapi suaranya justru paling pelan atau nyaris tak terdengar dalam proses kebijakan. Ruang hidup mereka berubah lebih cepat dibanding kemampuan mereka memahami apa yang sedang terjadi. Di titik itulah, pembangunan PSN Pelabuhan tidak hanya berurusan dengan logika teknokrasi dan cara pandang ekonomi (pertumbuhan); ia berhadapan langsung dengan hak asasi manusia, hukum, dan soal keadilan sosial.
Prabowo vs Airlangga: Siapa yang Menentukan Arah Kebijakan?Perlu dicatat bahwa arah politik hukum pada ranah kebijakan publik bukan terjadi dalam ruang hampa politik. Jika merekam ulang pidato-pidato kenegaraan dan non-formal Prabowo, ia seolah-olah menekankan ketahanan pangan dan kedaulatan nelayan sebagai prioritas utama pembangunan nasional. Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, sebagai pengendali utama perumusan dan pelaksana PSN, tampak mendorong ekspansi infrastruktur pelabuhan secara agresif. Agenda Menko Airlangga, sejalan dengan agenda logistik dan industrialisasi strategis.
Perbedaan Presiden dan pembantunya (Menko Airlangga), harus dilihat bukan sekadar teknis birokrasi, tetapi menunjukkan dua wajah pembangunan yang tampak berseberangan. Pendekatan Prabowo; menempatkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai titik fokus kedaulatan rakyat, sedangkan, pendekatan Menko Airlangga; memperluas jaringan infrastruktur pelabuhan sebagai motor pertumbuhan ekonomi terintegrasi dengan investasi dan industri yang acapkali ekstraktif; merusak alam dan keberlanjutan lingkungan dan ekologi.
Kalau diurai lebih jauh, alasan Airlangga tampak “tidak tunduk” pada posisi Prabowo harus dibaca dalam konteks kelembagaan dan jaringan kekuasaan. Pertama, mandat kelembagaan. Prabowo bertanggungjawab pada stabilitas nasional dan kedaulatan pangan, sementara Airlangga, sebagai pengendali koordinasi ekonomi, maka ia harus berfokus pada ekspansi pembangunan infrastruktur besar dan daya saing ekonomi.
Kedua, jaringan elit yang berbeda. Kebijakan infrastruktur besar selalu terkait kuat dengan jaringan bisnis-logistik—yang bukan hanya milik BUMN, tetapi juga elite sektor swasta yang berafiliasi kuat dengan rezim ekonomi saat ini. Sejak awal, dapat ditebak sebagai gejala lama dalam bungkus baru, yakni; periodisasi bulan madu oligark. Dalam bahasa lain, pergantian pemain lama dengan pemain baru, atau boleh juga jika dilihat upaya mempertahankan “kepentingan-kepentingan akumulasi ekonomi” kelompok-kelompok bisnis lama yang dijaga secara ketat pada era Jokowi.
Ketiga, Perbedaan logika kebijakan. Satu sisi menekankan ekosistem produksi rakyat, di sisi lain menekankan efisiensi dan konektivitas modal. Pun sulit juga untuk memisahkan, baik Prabowo dan Airlangga hampir sama dari latar belakang pebisnis besar di negeri ini. Pertanyaan kemudian bukan sekadar “siapa berkuasa” tetapi “kepentingan siapa yang dibela?”.
Keruhnya Laut, Keruhnya KebijakanStudi Lokataru sejak Desember 2024 hingga Desember 2025 memperlihatkan bahwa, di banyak desa pesisir yang terkena dampak PSN Pelabuhan, pertanyaan pertama yang muncul selalu sama: siapa yang sebenarnya menikmati pembangunan ini?
Di Patimban, misalnya, nelayan menceritakan bagaimana wilayah tangkap mereka berubah menjadi lumpur; air menjadi keruh akibat pengerukan dan reklamasi, jalur melaut dibatasi secara ketat dan patroli pihak keamanan berlebihan dengan dalih zona merah (objek vital nasional), dan beberapa daerah penangkapan (fishing ground) tertutup reklamasi demi pembangunan pelabuhan.
Kondisi serupa juga muncul dalam penelusuran awal Lokataru di PSN Pelabuhan Makassar New Port (MNP). Di mana sejak awal peresmian proyek ini oleh Presiden Jokowi telah dipersoalkan oleh warga. Penolakan warga terhadap PSN MNP pada tahun 2020 lalu, misalnya, mendapatkan represi dari negara. Catatan KIARA (2020), mengungkap 7 nelayan ditangkap, 1 aktivis dan 3 mahasiswa diringkus Polisi Perairan dan Udara (Polairud) setempat.
ahkan, penolakan terhadap PSN MNP ini terlihat dalam keterangan Komnas Perempuan pada sidang gugatan PSN di Mahkamah Konstitusi dengan register perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025, tertanggal 7 Oktober 2025, di mana proyek tersebut telah membawa dampak terhadap 300 perempuan nelayan kehilangan sumber nafkah. Gejala lanjutannya adalah peningkatan kasus KDRT akibat tekanan ekonomi.
Tak hanya di Makassar, pola serupa juga terjadi pada PSN Pelabuhan Benoa atau Bali Maritime Tourism Hub (Bali), tercatat pada tahun 2016 di mana para aktivis penolak reklamasi Teluk Benoa mengalami kekerasan dan interogasi aparat keamanan (Mongabay, 2016). Secara umum, polanya hampir sama yakni; PSN ditolak warga berujung pada penangkapan (kriminalisasi aktivis). Dampak lanjutnya adalah hilangnya daerah penangkapan nelayan, ekonomi nelayan terpukul, dan reklamasi sudah menjadi cerita umum akan menyebabkan pencemaran perairan laut dan mengancam ekosistem laut.
Secara ekologis, publik tidak sulit untuk menebak apa yang terjadi. Sudah menjadi hukum dasar, bahwa reklamasi atau pengerukan laut mengubah arus, mengganggu biota laut, mempengaruhi rantai makanan biota-biota laut, serta pencemaran perairan. Dalam konsep tata kelola sumber daya alam laut telah disebutkan secara jelas di mana “pengerukan memicu sedimentasi yang membuat ikan sulit melakukan pemijahan dan ikan akan menjauh”. Namun persoalan yang lebih seriusnya bukan hanya dampak yang ditimbulkan, tetapi praktik tersebut harus dilihat sebagai ketidaksiapan negara untuk mengelola atau memitigasi dampak itu.
Padahal, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang seharusnya menjadi instrumen kunci seringkali berjalan sebagai prosedur administratif belaka. Pun demikian, konsultasi publik berlangsung singkat, kilat, terbatas, dan lebih berfungsi sebagai mekanisme pengabsahan daripada dialog substantif dan partisipasi bermakna oleh Mereka yang suaranya kerap diabaikan dalam penentuan pembangunan. Nelayan sering baru tahu perubahan sosio-ekologisnya dan ruang hidupnya hilang setelah garis pantai berubah secara fisik, dan masuknya excavator untuk menguruk laut menjadi daratan.
Fakta tersebut ingin memperlihatkan, di sinilah persoalan HAM muncul. Di mana hak atas informasi, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan hidup, hak atas ekonomi, sosial, budaya dan hak-hak dasar lainnya, termasuk hak berpartisipasi, dan penghidupan yang layak seharusnya melekat pada kebijakan pembangunan nyaris tak diperhitungkan secara detail oleh negara. Hal tersebut seolah-olah dipertontonkan secara “telanjang” dalam rezim PSN sektor pelabuhan.
Ketika Bisnis Pelabuhan Menundukkan Negara serta Merobohkan Daulat RakyatPraktik bisnis sektor pelabuhan tak pernah netral atau steril dari kepentingan “kartel ekonomi-politik”. Di balik setiap proyek raksasa, selalu ada jaringan kepentingan atau pihak yang meraup untung berada di balik layar. Dari pelaku logistik besar, konglomerat nasional, BUMN strategis, hingga perusahaan global. Dalam laporan Lokataru (2025), mengungkap mereka bertemu dalam satu simpul; akses terhadap ruang dan konsesi jangka panjang.
Konsentrasi kepemilikan dalam sektor logistik dan pelabuhan di Indonesia sangat kuat. Beberapa grup usaha yang dominan menguasai layanan bongkar muat, angkutan kontainer, depo peti kemas, monopoli pengadaan barang dan jasa, kartel bisnis sektor teknologi dan data, hingga akses hinterland. Ketika sebuah PSN pelabuhan muncul di peta, bukan hanya negara yang bergerak; pasar ikut bergerak–seringkali lebih cepat.
Analisis struktur bisnis yang Lokataru lakukan, terlihat pola berulang; grup usaha yang sama muncul dalam beberapa PSN berbeda, induk perusahaan atau anak perusahaan yang berafiliasi dengan elit politik atau pejabat aktif sebagai operator pelabuhan, pemegang konsesi, struktur kepemilikan menyatu antara operator pelabuhan, logistik, dan kawasan industri.
Kondisi tersebut di atas mirip dengan apa yang disebut oleh beberapa ilmuwan disebut sebagai “kartel oligarkis, klientelisme, patronase”, kendati dalam konteks Indonesia, pola tersebut sudah melampaui konsep-konsep klasik tentang dominasi elit ekonomi-politik. Ia bekerja melalui instrumen hukum (menundukkan hukum), penyelundupan regulasi, dan konsesi yang sah secara formal, tetapi bias dalam dampaknya.
Konflik Kepentingan: Negara yang Memainkan Peran GandaSalah satu problem terbesar PSN Pelabuhan adalah peran ganda yang dimainkan negara; sebagai regulator sekaligus pelaku usaha melalui BUMN atau bahkan perusahaan swasta yang terafiliasi dengannya. Ketika BUMN menjadi operator pelabuhan dan pemerintah menjadi pemberi izin, maka mekanisme pengawasan menjadi tumpul. Dalam beberapa kasus, audit dampak lingkungan dilakukan setelah proyek berjalan; bukan sebelumnya.
Parahnya lagi, kajian AMDAL dan audit lingkungan sejak awal dirancang secara manipulatif. Belum lagi misalnya, dalam PSN Pelabuhan Patimban sangat jelas dalam temuan Lokataru, di mana salah satu perusahaan operator pelabuhan Patimban tercatat memiliki afiliasi dengan pejabat negara aktif. Ini lah konflik kepentingan. Ketika negara memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain utama.
Lebih jauh lagi, hasil identifikasi Lokataru tercatat, di mana di lapangan terlihat konflik kepentingan dalam beberapa pola berikut; terbitnya izin reklamasi dalam tempo singkat, minimnya verifikasi independen terhadap dampak ekonomi-ekologis, konsultasi publik nyaris tak berjalan, dan tekanan politik agar proyek segera jalan meskipun data sosial belum lengkap.
Kondisi seperti ini membuat nelayan tidak hanya berhadapan dengan perusahaan atau korporasi besar, tetapi dengan koalisi kekuasaan yang melibatkan aktor bisnis, birokrasi, dan politik. Pola umumnya dapat dijelaskan, bahwa negara-pebisbis; mengusulkan ide, mengesahkan aturan hukum, menyiapkan anggaran (APBN/APBD, swasta dan pinjaman luar negeri), memasang orang (operator proyek), mengerjakan proyek, meraup untung, dan menyengsarakan warga lingkar proyek pelabuhan.
Kemiskinan yang DiciptakanDi banyak lokasi PSN Pelabuhan, para nelayan mengalami penurunan pendapatan hingga separuh dalam beberapa tahun pertama proyek berlangsung. Mereka harus melaut lebih jauh, mengeluarkan lebih banyak biaya, dan menghadapi risiko keselamatan yang lebih tinggi akibat lalu lintas kapal besar dan kondisi alam yang di luar prediksi.
Belum lagi, hasil tangkapan melautnya tak sama seperti dahulu kala (ketika proyek pelabuhan belum ada). Dulu, penghasilan para nelayan menjanjikan; dapat menyekolahkan anak, dapur mengepul, dan biaya hidup sehari-hari dapat diatasi.
Kenyataan pahit tersebut harus dilihat bukan kemiskinan alamiah; ini adalah kemiskinan baru yang diciptakan oleh negara melalui skema kebijakan yang tak matang. Ketika ruang tangkap hilang, kompensasi tak pernah setara, ketika lahan dialihfungsikan maka kerja paksa adalah keharusan. Sebab, tak ada pilihan lain. Mereka harus menjadi “buruh kasar” di tanah mereka sendiri.
Tak berhenti disitu, klaim pertumbuhan ekonomi lokal, penyerapan lapangan kerja lokal, dan program pemberdayaan warga terdampak tak pernah terdengar. Jika logika ekonomi menguasai logika kemanusiaan, maka keadilan sosial adalah pertaruhannya. Di saat bersamaan, negara seolah-olah ditekuk oleh kekuatan kapital. Padahal, negara itu harus mengabdi pada kepentingan publik.
Pelabuhan Bisa Maju, Nelayan Jangan “Dibunuh”Pembangunan harus bergerak maju, tetapi keadilan sosial dan hak asasi manusia tidak boleh “dibunuh”. Pelabuhan pada dasarnya dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional, menggerakkan roda bisnis, tetapi tidak boleh memperlambat laju kehidupan masyarakat pesisir.
Jika negara benar-benar ingin membangun masa depan yang inklusif, maka pembangunan pelabuhan harus melihat nelayan bukan sebagai sumber masalah atau penghambat pembangunan. Mereka harus ditempatkan pada tempat terhormat; hak-hak ekonomi, sosial, budaya, lingkungan harus dilindungi. Itulah puncak dari ajaran hak asasi manusia yakni penghormatan atas martabat kemanusian (human dignity).
Indonesia belum kehabisan waktu untuk memperbaiki arah. Pemerintahan Prabowo-Gibran belum kehabisan masa berkuasa, maka perbaikilah warisan-warisan buruk rezim pembangunan terdahulu. Negara ini membutuhkan keberanian dan kejujuran untuk mengakui bahwa kemajuan tidak boleh dibayar dengan pengorbanan yang tidak perlu. Sebab, pelabuhan yang kuat hanya mungkin berdiri di atas masyarakat pesisir yang hak-haknya dilindungi dan dipenuhi oleh negara sebagai tanggung jawab konstitusionalnya.
Hasnu, M.SosManajer Penelitian dan Pengetahuan Lokataru Foundation.
BERITA TERKAIT: