Membaca Ulang Fenomena 'Quiet Quitting' pada Gen Z

Senin, 08 Desember 2025, 13:05 WIB
Membaca Ulang Fenomena 'Quiet Quitting' pada Gen Z
Ilustrasi (Artificial Inteligence)
DI TENGAH hiruk pikuk era digital, sebuah generasi baru, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, telah melangkah masuk ke dunia kerja: Generasi Z. Mereka memiliki preferensi kerja yang jauh berbeda dari generasi pendahulunya. Mereka lebih menekankan fleksibilitas, terbiasa dengan model komunikasi terbuka dan menuntut dunia kerja harus sejalan dengan gairah kerja (passion) personal (Gallup, 2022).  

Secara sosiologis, karakter generasi dibentuk oleh interaksi lingkungan sosialnya. Cara pandang ini dapat kita gunakan untuk memotret bagaimana perbedaan antara generasi x, generasi millenial dan gen z dalam interaksi kerja di sebuah perusahaan atau institusi. Tak ayal, jarak pengalaman, cara pandang dan perbedaan norma sosial menimbulkan ketegangan dan tantangan yang harus segera direspon.

Gen Z memiliki preferensi untuk keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance). Mereka memprioritaskan faktor-faktor seperti upah, tunjangan, jaminan kerja, work-life balance, dan fleksibilitas. Preferensi ini telah menyebabkan penolakan terhadap kompetisi yang intens dan keinginan untuk gaya hidup yang lebih santai. Sebagai karyawan, Gen Z tidak takut mencari perusahaan atau lembaga yang mematuhi tuntutan work-life balance mereka. Sebuah studi yang dilakukan Gallup, menemukan bahwa 73% karyawan Gen Z di Amerika meninggalkan pekerjaan mereka karena ketidaksesuaian dengan ekspektasi tempat kerja (Gallup, 2022).

Jika dianalogikan, situasi perbedaan tersebut mirip dengan mencoba menggunakan dua sistem operasi (OS) yang berbeda pada komputer yang sama: perangkat keras (lingkungan kerja) digunakan bersama, tetapi protokol dasar (pola dan karakteristik komunikasi) secara fundamental berbeda, yang dapat menyebabkan kesalahan dan konflik jika strategi adaptasi dan cara pandang baru tidak diterapkan dengan efektif (Pradhana et al., 2024). Jurang perbedaan inilah yang memicu munculnya sebuah 'epidemi' laten yang kini menjadi perhatian utama para manajer dan praktisi SDM: quiet quitting.

Quiet quitting sendiri muncul di ruang publik, setelah Video TikTok Zaid Khan (@zaidlepplin) dipublikasi. Dalam video nya, Zaid menjelaskan quiet quitting sebagai karyawan tidak langsung resign dari pekerjaan, tetapi tidak mau melampaui lingkup pekerjaan mereka (Xueyun et al., 2023). Secara sederhana, Quiet quitting  dimaknai sebagai sebuah ke konsep kerja secukupnya saja untuk keseimbangan hidup dan kesehatan mental. 

Banyak pendapat menyatakan bahwa pandemi COVID-19 jadi salah satu akselerator karyawan melakukan quiet quitting. Pandemi mengubah budaya kerja dari workaholic menjadi lebih memikirkan keseimbangan. Lebih banyak orang punya waktu untuk memikirkan dan mempertanyakan karier mereka dan mencari keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. 

Oleh karena itu, fenomena quiet quitting tidak bisa dipandang sebagai representasi kemalasan. Berbagai penelitian justru memperlihatkan bahwa fenomena ini adalah sebuah gejala, yang muncul akibat kesenjangan antara harapan karyawan dan realitas perusahaan.


Gen Z, Generasi Pembeda

Bagi Gen Z, Covid-19 adalah pengalaman yang sangat menyakitkan (overwhelmingly negative), karena saat pandemi berlangsung, rerata Gen Z sedang dalam masa transisi yang penuh tantangan menuju masa dewasa, baik secara pribadi maupun profesional. 
Di pasar kerja, Gen Z menghadapi tantangan ekonomi yang memperkuat rasa keputusasaan dan memperkuat kecenderungan gerakan quiet quitting. Sebuah penelitian di Tiongkok (Xueyun et al., 2023) tentang fenomena quiet quitting, menunjukan bahwa Gen Z mengalami tantangan hidup yang tidak mudah paska pandemi.

Tingginya pengangguran kaum muda, tingkat pengangguran kaum muda mencapai rekor tertinggi (19,9%) dalam sejarah negeri tirai bambu. Disamping itu, harga perumahan yang mahal. Peluang ekonomi menyempit: rasa putus asa di kalangan muda Tiongkok diperburuk oleh menurunnya peluang ekonomi, yang disebabkan oleh ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut belum rebound sepenuhnya.
Gen Z di Tiongkok yang lahir dan dibesarkan selama masa keemasan ekspansi ekonomi, kini menghadapi pasar kerja yang terbatas. Banyak pekerja dipaksa bekerja 12 jam dalam 6 hari seminggu, namun mereka tidak mampu membayar cicilan rumah atau membiayai hidup keluarga inti.

Fenomena tak beda juga ditemukan di Indonesia. Dari hasil penelitian Suhendar, dkk (2023), ditemukan bahwa karyawan Gen Z dan Milenial yang bekerja di perusahaan digital start-up di Indonesia, menganggap organizational commitment dan job satisfaction memiliki pengaruh signifikan terhadap quiet quitting. Sementara Ramadhi, dkk (2024) meneliti karyawan Gen Z yang bekerja di Sumatera Barat, menemukan bahwa workload dan work stress adalah faktor penunjang terjadi nya quiet quitting (Khasanah & Sari, 2025).


Tuntutan Perubahan Organisasi dan Hambatan Komunikasi

Jika fenomena quiet quitting diletakkan dalam perspektif organisasi/perusahaan, berbagai penelitian mengemukakan bahwa ada korelasi kuat antara budaya organisasi dengan mengerasnya fenomena quiet quitting. Dalam banyak kajian, fenomena organizational silence merupakan faktor terkuat pengaruhnya. 

Morrison dan Milliken (2000) mendefinisikan organizational silence sebagai tindakan karyawan yang secara sadar dan sengaja menyembunyikan informasi, pengetahuan, ide, atau pendapat mengenai masalah dan isu organisasi. Organizational silence dapat dipandang sebagai kondisi di mana karyawan tidak dapat mengemukakan ide-ide mereka tentang masalah organisasi secara bebas. Intinya, karyawan memilih tidak mengemukakan pendapat, pandangan, dan pemikiran mereka sesuai dengan kehendak mereka sendiri (Panahi et al., 2012). 

Dalam konteks pembahasan ini, organizational silence dapat diletakkan sebagai fase awal karyawan sebelum mengambil sikap quiet quitting. Meminjam perspektif komunikasi organisasi, quiet quitting adalah manifestasi dari kegagalan komunikasi dalam menciptakan iklim organisasi yang suportif. Social Exchange Theory menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah transaksi yang didasarkan pada timbal balik. Karyawan memberikan usaha ekstra (sumber daya) dengan harapan menerima imbalan yang setara atau lebih (pengakuan, dukungan, gaji) dari perusahaan.

Dari kacamata ini, quiet quitting niscaya terjadi terjadi ketika karyawan, merasa imbal balik dari perusahaan tidak setara dengan upaya yang mereka berikan. Salah satu aspek penyumbang dalam situasi ini adalah komunikasi yang buruk dan kurangnya pengakuan terhadap kinerja karyawan. Ini adalah bentuk kegagalan organisasi dalam mengomunikasikan nilai dan penghargaan tersebut. Ketika manajemen gagal mengomunikasikan apresiasi, keamanan psikologis terlanggar, dan karyawan merespons dengan mengurangi kontribusi (quiet quitting) sebagai bentuk "keseimbangan" balasan.

Perspektif lain yang dapat kita pinjam untuk mendekati fenomena quiet quitting adalah Job Demands-Resources Model (JD-R). Model JD-R menyatakan bahwa burnout (akar dari quiet quitting) terjadi ketika tuntutan pekerjaan (Job Demands) melebihi sumber daya pekerjaan (Job Resources).

Karenanya, komunikasi dua arah yang efektif dan dukungan manajerial berperan sebagai job resources yang melindungi karyawan dari dampak negatif workload. Kegagalan menyediakan komunikasi yang suportif dan informasi yang jelas menghilangkan sumber daya vital atas dukungan tersebut. Akibatnya, Gen Z, yang sangat mendambakan work-life balance, memilih quiet quitting sebagai cara untuk mengelola tuntutan yang berlebihan.


Saatnya Merespon, Ketimbang Memberikan Stempel 

Untuk merespon perubahan kondisi obyektif, termasuk fenomena quiet quitting, perusahaan harus beralih dari manajemen tradisional ke model yang memprioritaskan komunikasi dan kesejahteraan. Hal ini adalah sebuah keniscayaan, mengingat Gen Z adalah mayoritas pengisi angkatan kerja. Beberapa hal berikut adalah rekomendasi strategi respon dalam perspektif komunikasi organisasi.


Pelembagaan stay interview 

Jika Organizational Silence adalah fase awal quiet quitting, maka bagian sumber daya manusia tidak boleh menunggu hingga surat pengunduran diri melayang. Lakukan stay interview secara berkala, bangun dialog informal untuk menggali apa yang membuat karyawan bertahan dan apa yang mulai mengganggu mereka. Ini adalah bentuk konkret dari komunikasi dua arah untuk mendeteksi potensi masalah sebelum menjadi krisis.


Redefinisi Kinerja

Mengingat Gen Z menolak kompetisi yang tidak sehat dan mendambakan fleksibilitas, perusahaan harus bergeser dari mengukur "berapa lama karyawan duduk di meja" menjadi "apa capaian yang dihasilkan". Evaluasi berbasis outcome memberikan otonomi yang dihargai Gen Z, sekaligus menghilangkan persepsi bahwa mereka "malas" hanya karena menolak budaya kerja lembur yang eksesif.


Pelatihan Empati Bagi Manajemen Menengah

Dalam banyak kasus di perusahaan, yang terjadi adalah hambatan pada level manajer. Manajer adalah "wajah perusahaan" bagi karyawan. Karenanya, manajer memiliki kemampuan menciptakan psychological safety adalah tuntutan tak terhindarkan. Manajer harus dilatih untuk memvalidasi beban kerja tim agar selaras dengan kapasitas sumber daya yang tersedia, sehingga burnout dapat dicegah.


Transparansi Jenjang Karir
Di tengah ketidakpastian ekonomi yang memicu keputusasaan Gen Z, perusahaan perlu menginformasikan kejelasan masa depan. Jika kenaikan gaji tidak dimungkinkan dalam waktu dekat, tawarkan keuntungan lain yang bernilai, pengembangan diri. Program mentorship lintas generasi dan akses pelatihan menunjukkan bahwa perusahaan berinvestasi pada masa depan mereka, yang secara langsung menjawab kebutuhan akan dukungan manajerial dan peluang konkret.
Quiet quitting bukanlah masalah perilaku, melainkan masalah sistemik yang berakar pada kegagalan komunikasi dan kesenjangan harapan antar generasi. Dengan mengadopsi model komunikasi organisasi yang simetris, suportif, dan transformasional, perusahaan dapat mengubah sinyal alarm bahaya ini menjadi peluang untuk membangun keterikatan, produktivitas dan loyalitas sejati di era kerja modern. rmol news logo article


Danardono Siradjudin
Mahasiswa Magister Komunikasi Korporat Universitas Paramadina


EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA