Kisah singkatnya dimulai dari seorang ilmuwan Victor Frankenstein, yang terobsesi pada upaya melawan kematian, sebagai cara mengobati lara atas kehilangan ibunda tercinta.
Berbekal kekuatan pengetahuan, segala cara dipergunakan untuk menghadirkan keabadian. Lalu tercipta makhluk hidup dari substansi mati, menjelma sebagai monster yang dipenuhi amarah, akibat kesepian dan ditinggalkan.
Dalam fiksi ilmiah, apa yang ditampikan film Frankenstein lambat laun mulai mewujud pada kehidupan nyata. Penyuntingan genetika, dengan maksud membentuk generasi unggul selayaknya manusia super kini bukan hal yang tidak mungkin. Data genom dapat disalin dan diedit, memperbaiki kelemahan dan membentuk kesempurnaan.
Keturunan manusia, di masa mendatang dengan ilmu modern, bisa diseting sesuai kehendak orang tua. Hal tersebut, seolah membuka kotak pandora akan keinginan terdalam manusia untuk menjadi
superhuman yang tak tertandingi.
Dunia terhenyak ketika kelahiran bayi kembar Lulu dan Nana, dengan gen yang telah disunting He Jiankui di Tiongkok, 2018, dunia menuju era evolusi terencana -
directed evolution.
Lantas pertanyaan fundamental kembali diperbincangkan, tentang bagaimana lompatan teknologi mampu melampaui dinding filosofis? Selama ini manusia bersifat sebagai pencipta untuk berbagai alat bantu bukan untuk membentuk serupa makhluk. Timbangan etisnya bukan lagi soal "bisakah kita melakukannya?", tetapi "apakah kita boleh melakukannya?".
Pada buku Homo Deus, 2017, Yuval Noah Harari mulai membincangkan tentang pergeseran manusia berubah dari Homo Sapiens yang pintar dengan kemampuan berpikir didukung kapasitas otaknya, mulai bertindak menjadi pencipta kehidupan -
playing as god, berpegang pada bioteknologi dan revolusi genetika.
Terjadi perubahan ontologis, tentang hakikat keberadaan manusia. Pada era sebelumnya, manusia adalah makhluk yang dilahirkan -
begotten serta menerima kehidupan sebagai anugerah, kini menjadi objek yang dibuat -
made.
Filsuf Jerman, Jürgen Habermas, menyebut ketika orang tua mulai mendesain gen anak, maka tercipta relasi yang tidak setara. Posisi atas eksistensi anak tersebut bukan lagi individu otonom, melainkan produk program aspirasi orang tua. Situasi ini menjadi ancaman atas etika spesies, ungkap Habermas, ketika intervensi teknis pada tubuh manusia merusak dasar kesetaraan moral.
Risiko yang lebih luas jelas bukan pada tingkat individu melainkan pada level sosial. Bagaimana jika teknologi penyuntingan gen ini dilepas ke mekanisme pasar bebas, dengan basis pendekatan
supply-demand, maka siapa yang akan membelinya? Jelas tidak semua pihak mampu mengakses, kesenjangan semakin terbuka.
Ketimpangan akan semakin melembaga, ketika sekelompok pihak mampu membeli gen pintar, sehat dan memiliki dimensi kekuatan fisik sempurna. Francis Fukuyama (2002) mengkhawatirkan kerusakan fondasi demokrasi liberal yang berpijak pada kesetaraan martabat manusia. Membangun kasta biologis baru, semacam “aristokrasi genetik", ketidaksetaraan tertulis permanen dalam kode DNA (Lindsay, 2005).
Lantas teknologi dan pengetahuan bertransformasi dari euphoria menjelma sebagai distopia. Michael Sandel memberi argumen dari sisi humanis, tentang hilangnya etika keterberian -
ethics of giftedness. Bahwa menjadi manusia adalah tentang kemampuan menerima hidup sebagai anugerah yang tidak sepenuhnya bisa kita kontrol, baik ataupun buruk.
Ambisi serupa Victor Frankenstein untuk menyunting gen, mewakili nafsu kuasa yang dominan. Ketika anak terlihat sebagai produk yang perlu disempurnakan, kita kehilangan kerendahan hati, serta kasih tanpa syarat bisa berubah menjadi cinta bersyarat, "selalu mencintaimu, selama modifikasi genetikmu berfungsi sesuai pesanan" (Sandel, 2007).
Revolusi genetika bagian dari kemajuan modern, menjadi keniscayaan, tidak bisa dihentikan, tetapi harus diarahkan. Pembedanya terletak pada tujuan selaras moralitas, rekayasa genetika untuk terapi pengobatan masih dapat diterima secara rasional, tetapi penggunaannya untuk mengkreasi suprahuman harus dilarang keras.
Bagi Nietzsche, Übermensch -manusia super adalah sebuah konsep filosofis tentang individu yang telah melampaui moralitas konvensional dan kelemahan manusia biasa untuk menciptakan serta mencapai potensi tertinggi kemanusiaannya, bukan indikasi kesempurnaan fisik.
Kisah Prometheus menjadi mitos Yunani paling kuat menjelaskan asal usul pengetahuan dan penderitaan. Prometheus mencuri api -ilmu pengetahuan dari Gunung Olympus, Zeus si Raja Dewa mengutuknya dengan dirantai di gunung Kaukasus. Tersiksa, karena setiap hari, seekor elang besar datang dan memakan hatinya, yang kemudian tumbuh kembali.
Kemajuan sains yang tidak diimbangi dengan adopsi moralitas akan membawa kita pada kehancuran kompleks. Hanya dalam batas-batas moralitas dan hati yang teguh bak Promotheus, memungkinkan pengetahuan mendapatkan imbangan setaranya yakni nurani kemanusiaan.
Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Indraprasta PGRI
BERITA TERKAIT: