Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memunculkan optimisme besar dalam revolusi hukum pidana nasional. KUHP ini, yang secara prinsipil memutus warisan kolonial, dibangun di atas fondasi keadilan restoratif, pendekatan humanis, dan penguatan perlindungan hak asasi manusia.
Namun optimisme tersebut kini berpotensi redup oleh arah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang seharusnya menjadi mitra logis KUHP, tetapi justru dapat berubah menjadi jerat prosedural yang melemahkan semangat pembaruan itu sendiri.
Revisi KUHAP adalah keniscayaan. Hukum pidana materiil tidak dapat berjalan tanpa hukum acara yang menopangnya. Akan tetapi, alih-alih menyelaraskan paradigma baru KUHP, rancangan revisi KUHAP memperlihatkan dua masalah fundamental: jurang ideologis dan defisit teknis yang mengancam membawa kembali pola otoritarianisme prosedural ke dalam sistem peradilan pidana.
Jurang Ideologis: Kontrol Yudisial yang TerkikisBenturan paling mendasar terletak pada orientasi ideologis yang berbeda mengenai keseimbangan kekuasaan dalam peradilan pidana. KUHP baru mengedepankan prinsip ultimum remedium, proportionalitas, dan perlindungan maksimal kepada tersangka maupun terdakwa. Sebaliknya, sejumlah ketentuan dalam draf revisi KUHAP justru memperkuat dominasi eksekutif—khususnya aparat kepolisian—serta mengurangi peran kontrol yudisial yang seharusnya menjadi benteng utama negara hukum.
Perluasan Upaya Paksa dan Minimnya PengawasanDraf revisi KUHAP mengindikasikan kecenderungan memperluas tindakan upaya paksa tanpa mekanisme pengawasan hakim yang memadai. Perpanjangan penangkapan atau penahanan tanpa izin hakim, penggeledahan dan penyitaan berdasarkan keadaan “mendesak” yang ditafsirkan sepenuhnya oleh penyidik, serta pelemahan ruang praperadilan, adalah bentuk kemunduran ideologis.
Perluasan demikian menempatkan penyidik sebagai pihak yang memulai, melaksanakan, dan mengawasi tindakan mereka sendiri. Ketika kontrol yudisial dilemahkan, prinsip checks and balances terhapus, dan ruang penyalahgunaan kewenangan berubah dari potensi insidental menjadi peluang struktural. Indonesia memiliki sejarah panjang penyiksaan, intimidasi, dan pelanggaran hak asasi manusia dalam proses penyidikan -pengalaman yang seharusnya menjadi alasan utama memperkuat, bukan melemahkan, kontrol hakim.
Karena itu, pengurangan peran hakim dan pengawasan praperadilan secara langsung bertentangan dengan prinsip due process of law—roh utama reformasi KUHP 2023.
Paradoks Negara OtoritatifKetidaksinkronan antara semangat KUHP dan revisi KUHAP menciptakan paradoks serius. KUHP berupaya membangun sistem pro-citizen melalui pidana alternatif dan pengurangan kriminalisasi berlebihan. Sebaliknya, sejumlah ketentuan dalam revisi KUHAP tampak berorientasi pro-state, dengan menekankan kemudahan penyidikan di atas perlindungan hak individu.
Akibatnya, KUHP berupaya membebaskan warga dari jerat pidana yang tidak perlu, sementara KUHAP justru memperluas instrumen negara untuk menjerat warga melalui prosedur yang rentan disalahgunakan. Ketidaksinkronan ini melahirkan legal schizophrenia: dua undang-undang yang bergerak ke arah berlawanan sehingga melemahkan efektivitas sistem peradilan pidana secara keseluruhan.
Paradoks ini membuat reformasi materiil kehilangan makna karena dipatahkan oleh pendekatan prosedural yang memperbesar kekuasaan negara.
Defisit Teknis: Gagal Mengoperasionalkan Inovasi KUHPSelain persoalan ideologis, revisi KUHAP juga menunjukkan defisit teknis yang dapat menggagalkan implementasi reformasi fundamental dalam KUHP.
Mandeknya Keadilan Restoratif
KUHP 2023 membuka ruang luas bagi keadilan restoratif serta pidana alternatif seperti kerja sosial dan pengawasan. Namun revisi KUHAP belum menyediakan tata cara operasional yang jelas dan konsisten: mekanisme penerapan RJ di setiap tingkat proses, lembaga pengawas pidana kerja sosial, dan tata cara administrasi kesepakatan restoratif dalam sistem peradilan.
Tanpa prosedur yang baku, aparat akan mengisi kekosongan dengan diskresi masing-masing, yang tidak hanya memunculkan disparitas penerapan, tetapi juga mengancam legitimasi keadilan restoratif. Alih-alih menjadi instrumen humanis, RJ berpotensi menjadi ruang kesewenang-wenangan baru.
Ketiadaan Prosedur Pidana Korporasi
Pengakuan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam KUHP merupakan langkah progresif. Namun revisi KUHAP belum menyediakan mekanisme penanganan perkara korporasi: pemanggilan organ pengurus, penyitaan aset kompleks, verifikasi pertanggungjawaban, maupun prosedur pemeriksaan bukti digital dan transaksi keuangan.
Penanganan pidana korporasi bersifat unik dan tidak dapat disamakan dengan penanganan individu karena subjek hukum tidak memiliki fisik. Tanpa ketentuan mengenai representasi hukum, struktur pembuktian kesalahan kolektif, serta mekanisme penelusuran aset, norma progresif dalam KUHP berpotensi macet pada level implementasi.
Kekosongan ini menimbulkan legal vacuum yang serius dalam penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi, yang seringkali berdampak sistemik dan merugikan publik.
Implementasi Hukum yang Hidup
Pengakuan living law dalam KUHP menuntut adanya prosedur teknis dalam revisi KUHAP untuk mengidentifikasi, memverifikasi, dan menerapkan hukum adat secara konsisten. Namun revisi KUHAP belum menyediakan kerangka tersebut.
Tanpa pedoman yang ketat, penerapan living law berpotensi menghasilkan multitafsir, ketidakpastian, bahkan ketidakadilan antardaerah. Penegak hukum dapat menafsirkan hukum adat berdasarkan persepsi lokal masing-masing, yang bertentangan dengan prinsip legalitas serta asas kepastian.
Jalan Keluar: Meneguhkan Visi Humanisme
Revisi KUHAP harus kembali pada prinsip fundamental bahwa prosedur adalah pelayan keadilan, bukan alat perluasan kekuasaan negara. Jika orientasi revisi tetap memprioritaskan efisiensi penyidikan melalui perluasan upaya paksa dan pengecilan kontrol yudisial, maka KUHAP baru hanya akan mewarisi gaya lama otoritarianisme dalam bentuk yang lebih sistematis.
Karena itu, pembaruan KUHAP harus diarahkan untuk: memperkuat kontrol yudisial atas tindakan aparat penegak hukum; mengatur mekanisme keadilan restoratif dan pidana alternatif secara detail, seragam, dan akuntabel; menyediakan prosedur lengkap bagi penanganan pidana korporasi; dan mengatur implementasi living law berdasarkan prinsip legalitas dan kepastian hukum.
Keempat langkah tersebut bukan sekadar agenda kebijakan, tetapi syarat minimum agar KUHP 2023 tidak menjadi dokumen normatif yang kehilangan daya kerja. KUHAP harus menjadi penjaga hak asasi manusia, bukan gerbang pembenaran penyalahgunaan kekuasaan.
Hanya dengan prosedur yang humanis dan akuntabel, cita-cita keadilan substantif dalam KUHP 2023 dapat diwujudkan bagi seluruh rakyat Indonesia.
* Advokat, pendiri Research and Education Center for Humanitarian Transparency Law (RECHT) Institute.
BERITA TERKAIT: