Saya jadi berpikir, definisi mata-mata sekarang ini sudah harus dirombak total. Kalau Anda masih membayangkan sosok gagah seperti James Bond, Anda ketinggalan kereta. Jauh sekali.
Mata-mata paling efektif di tahun 2025 ini justru orang-orang yang tidak akan pernah Anda curigai. Bisa jadi dia seorang koki, sopir truk, atau bahkan anak kemarin sore yang baru puber.
Begini ceritanya, di sebuah negara Eropa Tenggara, seorang pejabat menerima email. Isinya bukan ancaman bom atau foto skandal. Isinya jauh lebih "berbahaya": lampiran dokumen berjudul "Rencana Studi Akademi Administrasi Publik".
Anda pasti menguap membacanya. Justru itu senjatanya. Otak kita ini aneh. Kalau ada email menjanjikan hadiah miliaran, alarm langsung berbunyi. Tapi kalau disodori dokumen birokrasi yang super membosankan, otak kita bilang: "Ah, ini pasti aman. cuma kerjaan."
Saat si pejabat meng-klik dokumen ngantuk itu, tamatlah riwayatnya. Sebuah "kunci serep" digital, menurut laporan The Record, diam-diam terpasang di seluruh sistem kantornya. Kunci itu dipegang oleh sebuah kekuatan siber dari Asia Timur. Hebat, kan? Menaklukkan benteng hanya dengan modal dokumen yang membosankan.
Lalu ada "lowongan kerja" jenis baru. Divisi personalia atau HRD-nya adalah dinas dinas rahasia. Karyawannya? Siapa saja yang butuh uang.
Di Eropa Timur, dinas rahasia dari negara tetangganya tidak perlu susah-payah mencari agen profesional. Mereka cukup buka "lowongan" di aplikasi Telegram. Yang melamar? Anak-anak tanggung. Usia 13 sampai 16 tahun.
Job desk-nya gampang: membakar gardu sinyal kereta api. Gajinya? Cukup untuk beli skin game atau traktir pacar. Laporan dinas rahasia dari negara yang diserang itu menyebut ini sebagai taktik "kombatan sekali pakai". Murah, efektif, dan kalau tertangkap, yang masuk penjara hanyalah anak-anak kemarin sore.
Di Asia Selatan, modusnya lebih halus lagi. Seperti dilaporkan Hindustan Times, seorang insinyur dijebak lewat urusan visa. Dipersulit, lalu "dibantu". Dari situ, tumbuh utang budi. Dari utang budi, muncul permintaan-permintaan kecil via WhatsApp. Tahu-tahu, tanpa ia sadari, ia sudah jadi kurir informasi dan saluran dana untuk operasi dinas rahasia negara seberang.
Dinas rahasia zaman now itu seperti perusahaan multilevel marketing. Mereka tidak menjual produk. Mereka menjual jalan pintas keluar dari kesulitan.
Yang lebih canggih adalah model "karyawan siluman". Ini favorit sebuah negara terisolasi di Semenanjung Korea.
Mereka tahu, perusahaan teknologi dunia butuh banyak programmer. Maka, mereka mengirim ribuan programmer terbaiknya. Tentu tidak pakai nama asli. Profil di LinkedIn-nya kinclong. Fotonya? Ganteng, profesional, hasil buatan AI. Pengalamannya? Luar biasa, hasil karangan bebas.
Perusahaan-perusahaan top dunia pun merekrut mereka. Memberi mereka gaji dolar. Dan yang paling penting: memberi mereka akses penuh ke "dapur" perusahaan.
Anda bayangkan, musuh sudah duduk di ruang rapat Anda. Ikut merancang produk baru Anda. Sambil diam-diam mengirim semua rahasia perusahaan ke negaranya. Ini bukan lagi musuh di depan gerbang. Ini musuh yang kita gaji setiap bulan.
Bahkan sopir truk pun sekarang jadi aset strategis. Seorang sopir truk barang yang melintasi Eropa direkrut hanya untuk satu hal: menandai lokasi-lokasi penting di Google Maps-nya saat ia menyetir. Ponselnya adalah pos pengintaian berjalan.
Semua cara tadi sudah cukup membuat pusing. Tapi sekarang, ada "bos" baru di dunia spionase ini: Kecerdasan Buatan, AI.
Kalau cara-cara tadi ibarat memancing dengan satu kail, maka AI adalah pukat harimau seukuran samudra.
Sebuah kekuatan militer di Eropa Timur, menurut tim siber lawannya, kini sudah tidak menyuruh manusia untuk membuat virus. Mereka menyuruh AI. Hasilnya: senjata siber yang lahir setiap jam, lebih cerdas, dan lebih sulit dilawan.
Lalu, di mana posisi kita Indonesia?
Ah, di sinilah bagian paling menarik sekaligus paling menyedihkan. Kita punya semua "bakat" untuk jadi korban. Populasi muda kita yang gandrung media sosial adalah "kolam ikan" raksasa bagi para perekrut. Ekonomi digital kita yang sedang mekar adalah "dapur" yang paling menggiurkan bagi para "koki" siluman.
Kita ini tuan rumah yang terlalu baik. Terlalu ramah. Siapa saja boleh masuk. Siapa saja boleh membuka "warung"-nya di dunia digital kita. Kita tidak pernah bertanya, warung itu sebenarnya jualan apa. Keramahan kita adalah aset, sekaligus kelemahan terbesar di era ini. Kuncinya adalah memahami paradigma perang modern: kekuatan bukan lagi tank dan tentara, tapi talenta digital dan kewaspadaan.
Kabar baiknya? Modal utama kita melimpah. Jutaan anak muda kita yang hidup di dunia digital itu bukan hanya pasar. Mereka adalah calon-calon jenderal di medan perang siber, jika kita mau mengarahkan mereka.
Tugas kita bukan menutup diri, tapi menjadi tuan rumah yang cerdas. Tetap tersenyum menyambut tamu, tapi dengan sistem keamanan paling canggih di pintu belakang.
Perangnya memang sudah di saku celana kita. Tapi kita masih punya potensi untuk memegang kendalinya.
Sebaiknya kita jangan hanya sibuk membangun rumah digital yang megah. Tapi kita lupa memasang teralis di jendela dan mengunci pintu di malam hari. Kita hanya berharap, semoga tidak ada maling yang masuk. Padahal di luar sana, para maling itu sudah punya kuncinya. Bahkan mungkin, beberapa sudah tidur di kamar sebelah.
Efatha Filomeno Borromeu Duarte
Akademisi Ilmu Politik Universitas Udayana
BERITA TERKAIT: