Di jalanan, masyarakat yang hendak berunjuk rasa justru berhadapan dengan moncong senjata, gas air mata, dan kini—berkat Perkap baru—ancaman peluru tajam yang “tegas dan terukur.”
Reformasi yang dijanjikan sebagai upaya membersihkan wajah kepolisian malah terasa seperti kosmetik murahan: menutup borok dengan bedak tebal.
Kasus hukum yang mengaitkan prajurit Korps Bhayangkara sering kali terjadi. Teddy Minahasa adalah puncak parodi. Seorang jenderal, simbol tertinggi dari karier kepolisian, justru tertangkap menjual barang bukti narkoba.
Polisi dan penjahat yang seharusnya berdiri di dua kutub yang saling bertentangan justru larut dalam satu tubuh, satu seragam, satu pangkat. Publik hanya bisa menatap dengan rasa campur aduk: marah, jijik, sekaligus tertawa getir. Betapa tipisnya garis antara penegak hukum dan pelanggar hukum di republik ini.
Namun, tidak adil jika seluruh tubuh Polri dipukul rata dengan stigma. Di balik headline memalukan itu, masih banyak polisi yang jujur, yang menjaga integritas meski digoda "amplop" tetap setia melayani warga walau tahu kariernya mungkin tidak akan melesat, lantaran tidak punya koneksi atau patron.
Mereka adalah wajah sejati dari semboyan “pelindung, pengayom, pelayan masyarakat.” Ironisnya, wajah inilah yang justru tenggelam di bawah bayang-bayang kolega mereka yang bermain proyek, menjual perkara, dan menggadaikan moralitas demi keuntungan pribadi.
Reformasi sejati seharusnya dimulai dengan pembersihan tanpa kompromi. Semua level, dari taruna akademi hingga jenderal bintang empat, harus melalui seleksi ulang yang menelanjangi integritas, rekam jejak, dan moralitas.
Yang lurus diberi ruang untuk tumbuh, yang busuk ditendang keluar tanpa belas kasihan. Tidak boleh lagi ada promosi karena “anak siapa” atau “orang dekat siapa.” Kepolisian bukan perusahaan keluarga, bukan pula pasar gelap jabatan.
Nepotisme, kolusi, dan kultur transaksional yang sudah mengakar harus dihancurkan. Jika tidak, polisi-polisi baik yang masih ada akan terus tersisih, terpinggirkan, dan akhirnya hilang ditelan ekosistem busuk yang lebih menghargai kedekatan ketimbang prestasi. Dan masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan, melihat polisi bukan lagi sebagai pelindung hukum, melainkan sekadar penjahat yang dilegalkan negara.
Reformasi Polri adalah ujian peradaban bangsa ini. Ia tidak bisa berhenti pada peraturan internal yang memberi justifikasi kekerasan, atau pada tim reformasi yang sekadar gimmick.
Ia hanya bisa berhasil bila berani mengusir para pengkhianat berseragam, membongkar jejaring kolutif di dalam tubuh institusi, dan mengembalikan panggung pengabdian kepada mereka yang benar-benar bersih.
Kalau tidak, maka kita akan terus hidup dalam satire postmodern paling getir: polisi dan penjahat bukan lagi dua entitas yang berbeda, melainkan dua wajah dari cermin yang sama. Dan pada akhirnya, yang kalah bukanlah institusi atau pejabat, tapi rakyat yang kehilangan pelindung terakhirnya.
Legacy Hoegeng dan Pelajaran Georgia dan Hong KongReformasi Polri adalah keniscayaan. Bukan sekadar pilihan politik atau program jangka pendek, melainkan kebutuhan mendasar agar kepolisian bisa kembali dipercaya rakyat. Kalimat itu hanya punya arti jika Polri berani konsisten menjalankan
legacy Pak Hoegeng.
Figur Hoegeng adalah pengingat bahwa integritas dan keberanian berdiri di atas hukum, tanpa pandang bulu, bukan mitos. Ia pernah membuktikan polisi bisa hidup sederhana, menolak suap, dan tetap dihormati. Jika hari ini Polri ingin menyelamatkan dirinya dari krisis legitimasi, jalan satu-satunya adalah kembali ke standar moral Hoegeng.
Masalahnya, realitas di lapangan justru menunjukkan arah yang berlawanan. Kasus-kasus memalukan yang menyeret jenderal bintang dua, praktik jual beli perkara, hingga keterlibatan dalam bisnis ilegal menegaskan bahwa penyakit lama belum pernah benar-benar diobati.
Reformasi yang digembar-gemborkan selama dua dekade terakhir banyak berhenti pada kosmetik: ganti jargon, ganti perkap, ganti tim reformasi. Sementara kultur, mentalitas, dan ekosistem internal tetap transaksional, nepotistik, dan komersial.
Polri tidak sendirian menghadapi persoalan ini. Banyak negara pernah bergulat dengan institusi kepolisian yang rusak, bahkan lebih parah. Georgia setelah Revolusi Mawar tahun 2003 adalah contoh paling ekstrem. Polisi di negara itu identik dengan pungli dan pemerasan.
Pemerintah melakukan
shock therapy: 30 ribu polisi lalu lintas dipecat dalam satu hari. Rekrutmen ulang dilakukan dengan sistem transparan, gaji dinaikkan, dan mekanisme pengawasan diperketat. Dalam waktu singkat, citra kepolisian berubah. Dari lembaga yang dibenci, menjadi salah satu yang paling dipercaya di kawasan.
Hong Kong pada 1960-an dan 1970-an juga pernah jadi simbol kepolisian korup. Julukannya saat itu: “
Asia’s Most Corrupt Police.” Suap mengakar di semua level. Reformasi dilakukan dengan mendirikan ICAC, komisi antikorupsi independen yang berani menyikat perwira tinggi.
Tindakan tegas, transparansi, dan penegakan aturan terhadap aparat sendiri perlahan mengembalikan legitimasi polisi di mata publik.
Singapura menghadapi situasi serupa pasca kolonial. Kepolisian rapuh, sarang mafia, dan sulit dipercaya. Reformasi dilakukan dengan memperketat penegakan hukum internal, menaikkan gaji, membangun sistem promosi berbasis prestasi, serta pelatihan modern. Polisi diubah menjadi profesi bergengsi, tapi dengan standar integritas yang tinggi.
Semua contoh itu memberi satu pelajaran besar: tanpa keberanian politik untuk memotong rantai korupsi dari akarnya, reformasi hanyalah slogan. Indonesia bisa belajar dari Georgia, Hong Kong, dan Singapura, tetapi keberhasilan itu tidak akan terulang jika Polri hanya bermain di permukaan.
Polri tidak bisa lagi menutupi borok dengan spanduk “transformasi menuju polisi humanis” sambil di lapangan masih mempertontonkan wajah brutal dan arogansi kekuasaan.
Reformasi sejati adalah soal pembersihan. Oknum harus disapu tanpa kompromi. Seleksi ulang moral dan integritas harus dilakukan dari taruna hingga jenderal. Mekanisme promosi harus jernih, bukan sekadar berdasarkan kedekatan atau jalur patronase. Gaji dan kesejahteraan harus layak, tapi diikuti dengan pengawasan yang keras.
Jika Georgia berani memecat puluhan ribu polisi dalam semalam, mengapa Indonesia tidak berani menyingkirkan para mafia berseragam yang jelas-jelas memperdagangkan hukum?
Jika Hong Kong bisa memberi taring pada lembaga pengawas independen, mengapa Indonesia tidak memperkuat Kompolnas atau membentuk badan baru yang benar-benar independen dan tidak bisa dikendalikan elite?
Reformasi Polri adalah ujian bagi negara ini: apakah berani menghadapi kenyataan pahit, atau terus memoles wajah busuk dengan kosmetik murahan. Legacy Hoegeng seharusnya tidak berhenti sebagai cerita nostalgia, tapi jadi standar moral yang hidup dalam tubuh kepolisian.
Karena tanpa keberanian kembali ke jalan lurus itu, Polri akan terus berjalan di tempat, dan rakyat akan semakin yakin bahwa institusi ini lebih dekat pada penjahat berseragam ketimbang pelindung masyarakat.
Tri Wibowo SantosoDirektur Lembaga Studi Data dan Informasi
BERITA TERKAIT: