Dua Terobosan Reformasi Polri

Kamis, 02 Oktober 2025, 05:59 WIB
Dua Terobosan Reformasi Polri
Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL)
SIAPA yang lebih kredibel? Sebuah pertanyaan besar yang layak kita lontarkan sejalan dengan terobosan reformasi kepolisian yang diinisiasi dua lembaga? Pertama, inisiasi Presiden Prabowo dengan membentuk bidang khusus reformasi kepolisian yang siap digulirkan akhir September ini. Sejumlah tokohnya telah dipersiapkan. Posisinya langsung di bawah Presiden. 

Dan kedua, sebelum Bidang Khusus Reformasi Kepolisian versi Presiden lahir, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengambil inisiatif lebih awal misi penyelamatan institusi kepolisian itu. Namanya Komite Reformasi Kepolisian. Sekali lagi, publik bertanya-tanya, apa maksud kapolri mengambil inisiatif lebih awal sebelum Bidang Khusus Reformasi Kepolisian terbentuk? Spekulasi pun berkembang liar.

Seperti kita ketahui, munculnya reformasi kepolisian dari Presiden Prabowo ataupun dari Kapolri tak lepas dari kerusuhan 20-30 Agustus lalu. Kerusuhan itu bukan sekedar unjuk rasa, tapi ada desain destruktif. Makar (menggulingkan Prabowo). Dalam hal ini lembaga kepolisian harus bertanggung jawab. Karena, peta di lapangan memang aparat kepolisian yang berhadapan langsung. Sesuai fungsi. Namun, eskalasi unjuk rasa dan sampai kerusuhan menjadikan Polri tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab itu, di samping Menko Politik dan Keamanan.

Maka, kita bisa menganalisis dua inisiasi reformasi kepolisian yang berbeda jelas juga perbedaan arah. Arah Reformasi Kepolisian versi Prabowo jelas: pertama, mencegah keterulangan kerusuhan anarkis politik puncak, apalagi mengarah ke penggulingan kekuasaan (Prabowo). Kedua, membenahi kinerja Polri agar tidak dijadikan kepentingan pihak tertentu yang melawan konstitusi. Ketiga, membangun kembali paradigma Polri: sebagai pelayan dan pelindung masyarakat, bukan memusuhi rakyat. Keempat, membenahi sistem bahkan budaya kerja kepolisian yang sudah jauh dari Bhayangkari. Kelima, perlu dilakukan pembinaan total terhadap mental kepolisian yang kian menonjol dalam dunia korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. 

Sekedar catatan tambahan, menurut catatan Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun Transparancy International Institute, korupsi di lembaga kepolisian tercatat urutan kelima terbesar di Tanah Air ini. Dan sejak sepuluh tahun terakhir, terjadi tren kenaikan: mencapai 65 persen. Jika kita cermati tren kenaikan ini, berarti terdapat korelasi bahwa “perlindungan” atau menjadikan “anak emas” terhadap institusi kepolisian mengakibatkan keberanian untuk melakukan abuse of power, termasuk tindakan memperkaya diri (korupsi)

Dan keenam, mencari jawaban, apakah perlu dilakukan reposisi institusi Polri? Apakah kembali di bawah institusi TNI, atau di bawah Kemendagri?  Atau tetap seperti sekarang: di bawah langsung Presiden? Jika di bawah Presiden, apakah menjadi alat kekuasaan, yang berarti sebagai bodyguard Presiden, atau posisi sebagai alat negara sesuai UU? Semua ini akan dikaji secara mendalam oleh para ahli Bidang Khusus Reformasi Kepolisian, yang kebetulan melibatkan anasir ahli mantan Komjen Polri yang tercatat integritasnya, di samping pengalamannya. Juga anasir ahli sipil lainnya yang memang telah teruji kapasitas keilmuannya. 

Seperti yang informasi yang beredar, di antara ahli yang mengisi Bidang Khusus Reformasi Kepolisian itu ada nama-nama seperti Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri dan Komjen Pol (Purn) Oegroseno dan Prof. Mahfud MD, mantan Menko Polkam, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), alumni Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan alumni Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN, angkatan 1975. Semua lembaga pendidikan dari Kota Gudeg-Yogyakarta.

Kita perlu garisbawahi, ketiga calon “pengisi” Bidang Khusus Reformasi Kepolisian adalah orang-orang yang berintegritas, mumpuni, dan punya keterpanggilan kuat untuk membenahi institusi Polri. Untuk mendudukkan kembali institusi Polri yang bermartabat, berkinerja maksimal sesuai tupoksinya sehingga dicintai rakyat. Tidak seperti saat ini, polisi dinilai sebagai musuh rakyat, atau rakyat memusuhi polisi. Dan karenanya berhembus kencang suara rakyat yang menghendaki Polri sebaiknya dibubarkan. Suara rakyat mencerminkan kebencian puncak. Dan itu terjadi karena perilaku dan perangainya yang jauh dari jati dirinya: dari, oleh dan untuk rakyat.

Misi besar Bidang Khusus Reformasi Kepolisian itu tampaknya membikin gerah Polri di bawah Listyo Sigit Prabowo. Sesuai dengan musabab munculnya Bidang Khusus Reformasi Kepolisian tersebut, Bidang ini akan menyasar aktor intelektual bahkan pendana di balik tragedi 26-30 Agustus kemarin. Jika ditelusuri sesuai temuan teknolog informatika, Ferry Irwandi jebolan Monash University itu arahnya ke anonim Fufufafa. Dan itu tak jauh dari The gangster Mr. Solo.

Karena itu Kapolri Listyo terpanggil untuk melindungi sosok Jokowi dan keluarganya. Dalam bayangan Listyo, hasil kerja awal Reformasi Kepolisian versi Prabowo akan menertibkan seluruh elemen Polri yang diduga kuat terlibat dalam gerakan Solo itu. Bagi Listyo, penertiban itu tak boleh terjadi. Namun demikian, pendekatannya bukan menghalangi langkah-langkah pencarian fakta keterlibatan Solo, tapi harus dengan jalan yang sangat smooth. Di sinilah, Kapolri menyisir langkah taktis yang halus itu. Atas nama suara rakyat yang harus didengarkan, maka dibentuklah Komite Reformasi Kepolisian. Kepentingan rakyat dikedepankan, sehingga seolah-olah Polri saat ini telah berubah: pro rakyat.

Di sisi lain, Listyo menyadari, sudah sekian lama Polri jauh dari “khittah” yang seharusnya melindungi dan senantiasa mengayomi rakyat. Tapi, fakta bicara, “ruh” Bhayangkara telah jauh dipraktikkan. Bahkan, disadari pula, Polri telah terlena menjadi alat kekuasaan. Implikasinya, banyak korban bagi siapapun yang berlawanan dengan rezim. Karena itu, reformasi kepolisian menjadi agenda mutlak. Indah sekali logika reformatifnya.

Tampaknya, Listyo menunjukkan kesadaran intrinsiknya yang luar biasa. Benar-benar pro rakyat. Bisa dipercaya kah? Eh, nanti dulu boss… Jika memang committed to reformasi internal kepolisian, mengapa inisiatif muncul setelah Prabowo menyuarakan akan membentuk Bidang Khusus Reformasi Kepolisian? Dan sekali lagi, jika jernih misinya untuk melakukan reformasi kepolisian, mengapa elemen kelompok Ferdy Sambo dimasukkan dalam Komite Reformasi Kepolisian? 

Pertanyaan ini mengundang analisis lain. Yaitu, Listyo tak mau diganggu kepentingan besar dan strategisnya oleh organ reformasi kepolisian bentukan Prabowo, apalagi melihat track record Ahmad Dofiri dan Oegroseno yang bergaris lurus dan tak mau diajak kompromi untuk kedzaliman. Ketidakrelaan ini pun mendorong berbagai elemen masyarakat menilai bahwa Listyo sejatinya melakukan perlawanan terhadap Presiden. Bukan hanya menantang, tapi juga membangkang. Sikap ini tentu harus dijawab tegas oleh Prabowo: segera memecatnya.

Dengan menganalisis data dasar dari postur Komite Reformasi Kepolisian, maka misi besar pembenahan internal kepolisian sulit diharapkan untuk mencapai target besar. Seperti kita ketahui, hal mendasar seputar reformasi internal kepolisian adalah konflik interes di level elit. Suasana konflik ini telah dibangun lama, setidaknya sejak Jokowi berkuasa. 

Sesungguhnya, Jokowi tak merancang “pengobok-obokan” institusi Polri. Dia hanya terpikir bagaimana membangun loyalitas total sang Kapolri untuk menjaga dan memuluskan seluruh kepentingan taktis kekuasaan sang Jokowi. Cara pandang inilah yang membuat Kapolri Listyo bahkan sebelumnya (Tito Karnavian) membackup sepenuhnya sejuta kepentingan kekuasaan Jokowi, termasuk keluarganya dan para kroninya (kaum buzzers).

Hal itu dapat kita saksikan pada siapapun yang berseberangan dengan rezim Jokowi terus dikejar. Bukan hanya dipersekusi, tapi juga dikriminalisasi dan diamputasi nyawanya. Dalam kaitan pengamanan ini pula kita saksikan bagaimana Polri membangun gugus kekuatan yang ekstra kuat. Itulah Brimob yang persenjataannya – mengutip mantan Panglima TNI – diakui lebih canggih dari TNI. Untuk kepentingan penjagaan yang paripurna terhadap bos besar (Jokowi) terbangunlah Satgasus Merah Putih yang awalnya di bawah Komando Tito Karnavian selaku Kapolri saat itu dan Ferdy Sambo, dan selanjutnya di bawah Listyo.

Dan satu pemandangan yang luar biasa dapat kita saksikan pada pengamanan pemenangan pilpres 2019. Satuan Brimob dikerahkan secara all out untuk membasmi para pengunjuk rasa yang menghendaki sistem pemilu bersih dan berkejujuran. Tak sedikit rakyat bergelimpangan, menjadi martir. Tapi itulah kebiadaban politik aparat Polri saat berada di bawah ketiak penguasa: Jokowi. Siapapun dari komponen rakyat, mereka dihajar bagai binatang bahkan diburu sampai ke gang sekalipun jika melakukan unjuk rasa, meski mendasarkan tuntutan hak keadilan dan kebenaran.

Yang memprihatinkan adalah dampak dari loyalitas total Kapolri terhadap penguasa. Dampaknya bukan hanya pergeseran posisi level pimpinan puncak, tapi juga ke layer-layer di bawahnya. Terjadi, reposisi besar-besaran atas nama angkatan di Akademi Kepolisian (Akpol) di Mabes Polri. Juga, terjadi pada pimpinan Polda. Semua itu berdampak pada kecemburuan akibat penundaan kepangkatan dan jatah posisi. Semakin tinggi kecemburuannya karena dampaknya juga pada pemandangan makin besarnya jumlah perwira dan komjen yang nonjob. Bergaji tapi tak punya meja, alias tak bekerja. Dan pasti kecil nilainya jika tanpa tunjangan. Semua ini berdampak serius pada aspek psikologis: kecemburuan sosial-ekonomi.

Lebih dari itu, anasir Polri yang dinilai tak sejalan dengan kepentingan kekuasaan langsung mendapat sanksi: mutasi. Bahkan, ditindaklanjuti dengan kriminalisasi. Inilah yang kita saksikan pada Komjen Pol (Purn) Susno Duadji.

Akhir kata, reformasi kepolisian sesunggungnya urgent. Mentalitasnya sudah jauh dari ideal. Sistemnya juga rusak parah. Belakangan kian mengkristal, satuan Bareskrim Polri sering dijadikan alat paksa untuk mengkriminalisasi para pihak oposan, dalam kaitan pemerintah ataupun bos oligarki. Mereka menjadi “centeng-centeng” kaum oligarki yang merampas banyak aset pertanahan rakyat. Polisi yang harusnya menjadi garda terdepan untuk melindungi kepentingan rakyat, yang terjadi justru sebaliknya: mengamankan kepentingan kaum oligarki, sekaligus menjadi “algojo” terhadap rakyat. 

Maka, tidaklah berlebihan jika muncul harapan besar dari rakyat: reformasi kepolisian mutlak hukumnya untuk dilakukan, right now, not later. Mumpung sangat kuat momentumnya. Jangan ragu Jenderal. Go and go… Para ternak Mulyono (termul) memang harus segera dibersihkan. Urgensinya bukan hanya pada hari ini, tapi jauh ke depan.

The last but not least, ada problem besar dan serius di tengah Polri. Yaitu, krisis mental dan akhlak. Serangkaian krisis ini merusak sistem kerja. Yang memprihatinkan, kerusakan itu membudaya. Jadilah, prototipe Polri jauh dari kondisi ideal yang diharapkan seluruh lapisan rakyat dan negara. rmol news logo article

Agus Wahid
Analis politik


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA