Dengan mewariskan budaya demokrasi yang sehat dan pondasi ekonomi yang kuat, SBY menjadi figur yang sangat layak menjadi negarawan untuk terus menerus memberi gagasan-gagasan positif untuk Indonesia.
Namun realitanya keterlibatan SBY pada pemerintahan penerusnya tidaklah terlalu intens. Bahkan dapat dikatakan lumayan berjarak.
Selain pemerintahan yang berbeda paradigma, SBY juga memilih untuk tidak muncul terlalu sering di ruang publik agar tidak mendistorsi agenda-agenda pemerintahan yang sedang berjalan. Pemberitaan lebih banyak terkait seremoni-seremoni keluarga besar Yudhoyono ataupun sesekali karena posisi beliau sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Senyatanya para mantan Presiden memiliki banyak opsi untuk melakukan aktivitas-aktivitas pasca purna tugas. Ada yang memilih untuk menjadi keynote speaker di berbagai konferensi, ada yang mengembangkan kegiatan-kegiatan amal dan kemanusiaan, serta ada juga yang menjauh dari semua kegiatan-kegiatan di ruang publik. SBY tampak seperti memilih opsi yang terakhir.
SBY lebih banyak terlihat saat melukis, mencipta lagu, dan tampil berdendang di kalangan terbatas. Sebuah potret yang tampak begitu ringan. Sebagian besar orang memandang itu adalah curahan seni untuk seni atau bahkan sebagai pengisi waktu dari seseorang yang telah purnabakti.
Apalagi SBY juga sesekali muncul dalam kegiatan klub bola voli Lavani. Kegiatan-kegiatan yang seolah jauh dari aroma politik dan kerakyatan insani.
Akan tetapi bila kita menelisik buku 80 kumpulan puisi karya SBY "Garis Waktu Tak Bertepi", terkandung di dalamnya adalah sebuah ekspresi hati dari seseorang yang selalu peduli dan menyatu dengan kehidupan.
Bagaimana tidak, dari 3 bagian di dalam buku ini, semuanya adalah wujud refleksi perjalanan batin seorang SBY. Sebuah ziarah kehidupan yang dijalani oleh seseorang yang memiliki mata hati yang tajam.
Buku ini adalah kumpulan karya sebelum, tatkala, dan sesudah SBY sebagai Presiden. Sebagai kado yang sangat representatif untuk ulang tahun SBY yang ke 76. Hampir 11 tahun setelah beliau tak lagi di istana kepresidenan.
Tiga fase kehidupan yang terbuncah dalam rangkaian kata-kata puitis, menampakkan tidak ada perbedaan apapun dari SBY sebagai manusia. Termasuk karya-karyanya yang terkini sekalipun.
Tentu ada puisi-puisi yang lahir karena dipengaruhi jabatannya dan kegiatannya sebagai Presiden tetapi kepedulian beliau dalam mengasah "roso" tetaplah konsisten. Ada kegelisahan, ada gugatan, ada perenungan, ada kerinduan, dan ada juga harapan yang dituliskan. Semuanya berbaur dalam belanga besar: empati.
Sebagaimana tertuang dalam puisi di halaman 45-46 yang beliau tulis di Jakarta, tertanggal 29 Juli 2010, berjudul: "Amanah untuk Mereka"
Pak Presiden,
Tolong tingkatkan gaji kami
Kami guru, yang bikin maju negeri ini
Pahlawan tanpa tanda jasa orang menyebut kami
Pak Presiden,
Kenapa kami dilupakan?
Kami bidan-bidan di daerah pedalaman
Siapa yang menolong ibu-ibu punya kelahiran
Tingkatkan kami punya kesejahteraan
Pak Presiden,
Beginilah nasib nelayan
Susah hidup jika tidak dapat ikan tangkapan
Lagi pula taufan dan badai sedang menerjang lautan
Anak-istri kami juga perlu makan
Pak Presiden,
Kami para petani di pelosok negeri
Berguyur hujan, berterik matahari
Menanam padi, jagung dan ubi
Untuk sesuap nasi dan hidup keluarga kami
Tidak bolehkah makin baik kami punya rezeki
Pak Presiden,
Kami kaum buruh di kota-kota
Siang dan malam memproduksi barang dan jasa
Penggerak ekonomi negara
Tentu kami juga ingin hidup sejahtera
Benar, itu benar semua
Percayalah aku akan terus bekerja
Dan berjuang sekuat tenaga
Untuk meningkatkan taraf hidup semua
Seluruh rakyat Indonesia
Pada puisi di atas, SBY bukan hanya berempati tetapi juga berkomitmen. Sebagai Presiden, beliau terus-menerus mengingatkan dirinya atas tanggung jawab dan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam memperjuangkan kelompok-kelompok masyarakat yang belum beruntung.
Menuangkan "roso" lewat kata-kata tidaklah mudah. Jauh lebih sulit lagi bila momennya saat dipenuhi tugas-tugas kenegaraan. Plus memilih kata-kata dengan rima yang terukur. Ini berat. Sungguh luar biasa!
Karya seperti itu hanya dapat lahir ketika jiwa sedang betul-betul terkoyak oleh emosi yang dalam. Pergulatan batin yang begitu intens. Gejolak pikiran yang begitu meradang.
Tidak semua orang mau membiarkan batinnya sampai taraf seperti ini. Di tengah kesibukannya sekalipun, SBY memilih untuk merambahnya. Mengonfirmasi rasa cita esensialnya sebagai manusia. Sungguh paripurna.
Kita bersyukur pernah memiliki Presiden yang selalu menjaga "roso", menjaga empatinya seperti SBY. Empati kerakyatan yang hanya banyak kita jumpai di generasi 1945 atau generasi yang gemar membaca dan menghargai konstruk gagasan-gagasan tertulis. Sebuah figur yang maha langka di era audio-visual dangkal-instan sekarang ini.
Seseorang yang memiliki empati kuat sangat jarang keliru dalam menentukan langkah, mengambil keputusan, dan memilih kebijakan. Nuraninya akan selalu mempertimbangkan suara rakyat.
Semoga nilai-nilai dan bobot empati ini senantiasa ditularkan pada keluarga besar Partai Demokrat, menjadi inspirasi para pemimpin di Republik ini, dan menjadi sandaran belajar berdemokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selamat ulang tahun, bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Sehat bahagia selalu dan terus berkarya.

*
Penulis adalah Consultant Director Citra Indonesia
BERITA TERKAIT: