Hukum yang dulu dibayangkan sebagai fondasi bangsa kini menjelma sekumpulan kalimat busuk yang ditopang kepalsuan. Undang-undang dibuat bukan untuk melindungi warga, melainkan untuk memastikan kekuasaan tetap langgeng. Pasal demi pasal ditulis seperti pagar kawat berduri, membatasi rakyat agar tunduk, sambil memberi jalan lebar bagi elit untuk melenggang. Di pengadilan, kebenaran tak lagi dicari; ia diperdagangkan. Putusan ditentukan bukan oleh nurani hakim, melainkan oleh seberapa tebal amplop dan seberapa tinggi jabatan terdakwa. Rakyat kecil yang mencuri sekilo beras menerima palu vonis seberat besi, sementara pejabat yang menilap triliunan diselimuti alasan kesehatan atau mendapat pengampunan dengan nama manis: rekonsiliasi.
Kemiskinan, alih-alih diberantas, dipelihara. Ia menjadi bahan bakar politik yang membuat rakyat selalu bergantung. Subsidi setengah hati, bantuan sosial yang sering bocor, dan janji pekerjaan yang tak pernah ditepati menjadi teknik lama yang terus diulang. Negara memastikan rakyat tetap lapar, sebab rakyat lapar mudah dikendalikan. Dengan perut kosong, mereka bersedia menerima apapun: selembar kaus saat pemilu, sekarung beras saat kampanye, segenggam janji yang tak pernah ditepati. Di negeri ini, kemiskinan bukan aib bagi penguasa, melainkan strategi.
Korupsi pun telah menjadi sistem. Ia bukan lagi tindakan menyimpang, tetapi bagian dari denyut nadi birokrasi. Dari pejabat tinggi hingga aparat kecil di desa, suap menjadi bahasa komunikasi yang sah. Anggaran negara dirancang bukan untuk pembangunan, melainkan untuk proyek-proyek siluman yang memberi makan oligarki. Rakyat hanya mendengar angka fantastis: triliunan rupiah untuk infrastruktur, miliaran untuk bantuan. Namun di lapangan, jalan tetap berlubang, sekolah tetap reyot, rumah sakit tetap penuh pasien miskin yang ditolak karena tak mampu membayar. Dana telah hilang sebelum sampai, lenyap di kantong mereka yang bersumpah demi rakyat.
Negara, pada akhirnya, hanya menjadi sosok raksasa yang berwajah dingin seperti Big Brother. Ia mengawasi, mengontrol, dan mengatur, tetapi tidak pernah hadir saat rakyat jatuh. Ia cepat menindak suara-suara kritis, tetapi lamban membasmi koruptor. Ia gagah memamerkan kemajuan di forum internasional, tetapi menutup mata terhadap kemelaratan di gang-gang sempit kota dan desa. Ia bicara lantang tentang demokrasi, tetapi menutup ruang bagi oposisi. Republik ini dipelihara bukan untuk rakyat, melainkan untuk segelintir penguasa yang memperlakukannya seperti warisan keluarga.
Delapan puluh tahun merdeka, dan kita menemukan diri kita di negeri yang serupa distopia: rakyat diajari untuk percaya pada slogan, meski kenyataan bertolak belakang. "Negara hukum" diteriakkan, padahal hukum tunduk pada kekuasaan.
"Kesejahteraan untuk semua" diumumkan, padahal kesenjangan makin menganga.
"Bersih dari korupsi" dikampanyekan, padahal pejabat terus menumpuk harta haram. Kebenaran tidak lagi diukur dengan fakta, melainkan dengan apa yang diumumkan negara. Dan rakyat, kelelahan oleh janji dan ketakutan oleh represi, perlahan belajar menerima kepalsuan itu sebagai kenyataan.
Inilah wajah republik pada usia delapan puluh: sebuah negara yang secara formal merdeka, tetapi secara substansi masih terjajah. Dijajah oleh rakusnya pejabat, oleh tumpulnya hukum, oleh abainya negara terhadap rakyatnya sendiri.
Sejarah yang dulu ditulis dengan darah para pejuang kini terasa seperti ironi yang menyesakkan: bangsa yang lahir dari perlawanan terhadap penjajah, kini diperintah oleh anak kandungnya sendiri yang berperilaku lebih kejam daripada kolonial.
Jika Orwell menuliskan Oceania sebagai negeri di mana kebohongan dipaksakan sebagai kebenaran, maka Indonesia hari ini adalah cerminan yang tak kalah muram: negeri yang terus menerus mengulang janji kemerdekaan, tetapi gagal menghadirkan keadilan. Delapan puluh tahun, dan kita masih mencari arti dari kata "merdeka".
*Penulis adalah advokat/aktivis '98.
BERITA TERKAIT: