Jangan salah paham, ini bukan istilah syariah canggih dalam kitab fikih. Tak ada. Tapi, ini istilah rakyat untuk menggambarkan “putar-putar duit umat” demi janji yang, kalau kita jujur, lebih cocok disebut “tiket VIP ke surga” versi grosiran.
Di Indonesia, dan hanya di Indonesia, gelar habib sering diperlakukan seperti kartu akses surga dengan sistem
pay as you go. Beberapa oknum yang mengklaim keturunan Nabi Muhammad SAW, yang kita sebut dengan penuh kelembutan sebagai habib, memperkenalkan metode pemasaran spiritual unik.
Bukan hanya unik, tapi mungkin juga sangat efektif: “Donasi sekian, dapat syafaat sekian.” Promo ini tidak jauh beda dengan
cashback Tokopedia atau Shoope, hanya saja yang ini menjanjikan diskon siksa kubur. Tak ayal, banyak orang yang kepincut.
Menurut pengakuan beberapa korban (bukan pelanggan), mereka diminta untuk berdonasi dalam jumlah tertentu demi “menjaga keberkahan keluarga.” Atau kadang pakai bahasa yang lebih halus, “biar anaknya gak susah dapat jodoh.”
Paket liburan keluarga
Ada juga yang disodori metode “infak istimewa”, uang yang konon akan mempercepat jalan ke surga, setelah diskon tadi, diskon siksa kubur. Iya, karena jalan tol dunia sudah macet, mungkin surga perlu jalan khusus bagi yang royal.
Masalahnya, menurut kajian teologis dan hadis sahih, syafaat tidak bisa dibeli, tidak ada sistem COD antara langit dan bumi.
Syafaat diberikan Allah melalui Rasulullah kepada umat yang layak, bukan yang tajir. Tapi ya, di dunia marketing spiritual, yang penting bukan substansi, tapi narasi.
Dalam sinetron rekaan,
Dawir: The Untold Story, ada satu karakter protagonis: Abah Setu. Tokoh dari Sukabumi, Jawa Barat, ini terkenal karena satu hal: dia sekarang sudah berani bilang “tidak” ke mereka yang dulu datang kepadanya bawa proposal nasab dan
invoice syafaat.Dalam beberapa kesaksiannya, Abah Setu mengaku rumahnya pernah didatangi rombongan habib instan yang mampir bukan untuk berdakwah, tapi untuk tagihan langit. Bahkan, ia mengaku duitnya ludes sampai satu miliar.
Mereka meminta dana besar, katanya untuk “menjaga marwah ahlul bait.” Tapi anehnya, ini masih pengakuan Abah Setu yang beredar di medsos, setelah itu mereka justru belanja jam tangan Swiss dan mobil mewah. Entah, mungkin marwah sekarang butuh suspensi empuk.
Lebih konyol, ada yang percaya dawir lain yang satu ini. Kalau Anda pikir tipu-tipu investasi bodong hanya terjadi di crypto dan MLM, pikir lagi. Dalam dunia dawir, ada level baru yaitu mengubah daun jadi mobil. Ini bukan sihir, ini strategi
branding spiritual model
abrakadabra.
Beberapa oknum menjual “daun berkah” yang katanya bisa berubah jadi kekayaan. Sayangnya, daun itu memang berubah, tapi jadi bukti polisi di laporan penipuan. Sayangnya lagi, masih juga ada orang yang percaya tipu-tipu yang sudah ada contohnya sejak zaman baheula.
Menurut catatan PPATK, selama 2019–2023, terdapat transaksi mencurigakan berkedok donasi agama yang nilainya mencapai lebih dari Rp200 miliar, sebagian besar melibatkan entitas non formal tanpa akuntabilitas.
Yang tragis adalah para korban bukan orang bodoh. Mereka adalah orang-orang biasa yang sedang butuh harapan, lalu diberi narasi surgawi dalam bungkus nasab. Dan ketika akhirnya sadar, sudah terlambat: uang hilang, iman pun goyah.
Menurut riset LIPI tentang Dinamika Keagamaan (2021), semakin longgar kontrol terhadap klaim keturunan Nabi, makin besar kemungkinan penyimpangan ekonomi berkedok agama terjadi. Dan di negeri ini memangnya ada kontrol itu?
Hal ini diperparah oleh minimnya literasi keagamaan masyarakat, yang lebih suka percaya pada keturunan daripada keterangan. Padahal, kita dulu diajari adalah yang membedakan manusia di sisi Tuhan adalah takwa, bukan keturunan.
Tapi hari ini, “keturunan siapa?” lebih penting daripada “perilaku bagaimana?” Dalam diskursus ini, identitas keagamaan jadi gamang. Anak muda bingung: apakah berislam itu soal amal dan adab, atau soal ikut barisan keluarga tertentu?
Paket liburan keluarga
Jurnal Studia Islamika (UIN Jakarta, 2020) mencatat meningkatnya kepercayaan terhadap tokoh berbasis nasab tanpa memverifikasi keilmuan atau kredibilitasnya. Ini bukan lagi
Islam rahmatan lil alamin, tapi
Islam ala royal family.
Dan inilah titik bahayanya: ketika agama digantikan oleh
brand spiritual yang tak berbasis ilmu, maka lahirlah generasi yang lebih takut tidak dapat syafaat habib daripada tidak salat subuh. Sebuah kemusyrikan di era Indonesia maju.
Tentu kita tidak ingin semua habib digeneralisasi. Hanya oknum. Sekali lagi, oknum. Banyak habib yang lurus, tulus, dan sungguh-sungguh berdakwah dengan adab dan ilmu. Yang kita kritik adalah oknum yang menjadikan nasab sebagai alat fundraising permanen.
Solusinya bukan cuma lewat ceramah atau unggahan Instagram. Kita butuh pencerahan struktural:
– Pendidikan literasi agama berbasis kritis, bukan kultus individu.
– Verifikasi nasab mungkin oleh lembaga independen berbasis sejarah dan genealogi ilmiah.
– Pengawasan ketat terhadap aktivitas ekonomi keagamaan informal.
– Penguatan peran ulama yang independen secara finansial.
Paket liburan keluarga
Karena kalau tidak, praktik
dawir ini akan terus berputar, seperti kipas angin di masjid: suaranya kencang dan berisik, anginnya ke sana kemari, tapi tidak pernah menyentuh inti persoalan. Praktik ini akan terus terjadi jika kita biarkan.
Fenomena
dawir ini bukan sekadar problem ekonomi atau sosial. Ia adalah distorsi epistemik dalam memahami agama. Ia mengganti makna ibadah dengan transaksi, mengganti ilmu dengan silsilah, dan mengganti ketakwaan dengan networking spiritual.
Sudah waktunya kita sadar bahwa surga itu bukan dibeli, tapi diperjuangkan dengan amal-amal ibadah demi Allah semata, bukan demi nama tertentu lainnya. Kalau bisa dibeli, tentu Abu Lahab sudah booking duluan, dan para koruptor bisa melenggang dengan aman.
Mari kembali ke jalan yang lurus, bukan jalan yang melingkar-lingkar seperti
dawir. Karena dalam Islam, jalan ke surga itu lurus, mustaqim, bukan spiral ekonomi oknum.
Penulis adalah Wartawan Senior
BERITA TERKAIT: