Kotak Amal Masjid dan Peluang Emas yang Terlewatkan

Oleh: Ratna Yunita*

Minggu, 20 Juli 2025, 05:39 WIB
Kotak Amal Masjid dan Peluang Emas yang Terlewatkan
Ilustrasi/Ist
DI negeri ini, masjid bukan sekadar tempat bersujud. Dengan jumlah mencapai 309.000 unit (Data SIMAS Kemenag 2025), masjid berdiri di setiap sudut kampung dan kota dengan tujuan menjadi penyangga spiritual bangsa. Setiap hari, kotak amal mereka menerima sumbangan dari hati-hati yang tulus. Rata-rata dana yang masuk mencapai Rp3 juta per bulan, bahkan bisa melonjak drastis saat bulan Ramadan. Angka konservatif memperkirakan total sumbangan kotak amal nasional melebihi Rp11 triliun per tahun.

Meski demikian, di balik angka fantastis itu, ada kenyataan yang memukul nurani: sebagian besar dana habis untuk memperindah bangunan, mengganti karpet, atau memperbarui pengeras suara. Sementara di barisan saf yang sama, ada jamaah yang tidak mampu membeli sepasang sepatu untuk anaknya. Bahkan ada ibu tunggal yang sudah empat tahun menganggur, harus mencari Rp500 ribu untuk daftar ulang anaknya yang baru naik kelas 11 SMK. Jumlah yang menurut sebagian orang hanya cukup untuk sekali makan bakso. Dan dia hanya bisa memandang nanar ke kejauhan, meski duduk tak jauh dari kotak amal yang penuh setiap Jumat.

Realitas ini bukan sekadar ironi; ini adalah panggilan moral bagi masjid untuk kembali kepada ajaran Islam yang penuh kasih. Prinsip ta'awun—saling tolong-menolong—menjadi fondasi umat yang tak hanya saling mendoakan, tapi juga saling menguatkan dalam kesulitan hidup. Masjid seharusnya tak hanya menjadi penjaga ubin dan mikrofon, tetapi juga penjaga air mata yang tak terlihat. Sudah saatnya masjid mengalokasikan sebagian besar dana kotak amalnya untuk membentuk Dana Pemberdayaan Masyarakat yang nyata: sistem pinjaman bebas bunga dan bantuan langsung bagi mereka yang tertatih dalam menghidupi keluarga.

Sistem ini memberi akses yang manusiawi: cukup dengan menyampaikan kondisi secara rahasia, bantuan bisa diterima tanpa stigma, tanpa beban bunga, tanpa prosedur rumit. Mereka yang kelak mampu, bisa mengembalikan dana pokok, dan tak bisa, dan tidak perlu dibebani sanksi. Karena sedekah sejati bukan tentang hitung-hitungan, tapi tentang menyelamatkan harapan.

Model dana bergulir ini menciptakan ekosistem kepedulian yang hidup. Jamaah yang mampu akan merasa semakin terdorong menyumbang karena tahu bahwa bantuannya benar-benar meringankan beban sesama, bukan mempercantik marmer. Lebih dari sekadar solusi ekonomi, pendekatan ini adalah terapi spiritual. Ketika jamaah tak lagi dibayangi cemas soal biaya sekolah atau beras di rumah, ibadah menjadi tenang, khusyuk, dan bermakna. Masjid menjadi ruang pemulihan jiwa dan kehidupan.

Masjid tidak boleh hanya bermegah pada megafon yang canggih, sementara suara tangis dalam hati jamaahnya tak terdengar. Kepemimpinan masjid harus berani menunjukkan bahwa Islam tidak hanya hidup di mimbar, melainkan juga di dapur-dapur yang kekurangan, di ruang-ruang keluarga yang berjuang. Mungkin, sekaranglah saatnya kita ubah wajah masjid: dari sekadar rumah ibadah, menjadi pusat pemberdayaan,  dari tempat ritual, menjadi tempat solusi. Islam bukan hanya tentang yang ghaib, tetapi juga tentang keberanian kita hadir nyata dalam kesulitan saudara-saudara kita.

Alih-alih menunggu solusi dari pemerintah atau mendengar penderitaan masyarakat sebagai sesuatu yang tak terelakkan, kepemimpinan masjid dapat menerapkan prinsip-prinsip Islam yang praktis dan dapat mengubah kehidupan dengan segera. Pergeseran dari manajemen amal yang berfokus pada bangunan ke manajemen amal yang berfokus pada masyarakat akan memposisikan masjid sebagai pemecah masalah masyarakat, bukan hanya sebagai tempat ibadah.

Sistem yang ada saat ini di mana orangtua berjuang untuk mendapatkan Rp500 ribu untuk pendidikan anak mereka, sementara masjid mengumpulkan lebih banyak donasi mingguan merupakan peluang yang terlewatkan bagi kepemimpinan Islam. Dengan menciptakan sistem pinjaman tanpa bunga dan mekanisme dukungan langsung kepada masyarakat, masjid dapat memenuhi tujuan mereka yang sebenarnya: memelihara kesejahteraan spiritual dan material jamaahnya. rmol news logo article

*Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA