Sekilas, penambahan ini terkesan sederhana. Namun, bila dikaitkan dengan nasib perlindungan ketenagakerjaan awak kapal, penambahan ini memunculkan persoalan struktural dan normatif yang harus dikritisi.
Sebab, UU Pelayaran hingga saat ini tidak banyak mengatur aspek ketenagakerjaan awak kapal (hak cuti, PHK, kompensasi, waktu kerja, dsb). Justru yang banyak dijadikan rujukan adalah PP 07 Tahun 2000 tentang Kepelautan, padahal PP tersebut merupakan turunan dari UU No. 21 Tahun 1992 yang sudah dicabut, sehingga relevansinya secara hukum menjadi dipertanyakan.
Frasa ini perlu dicermati dari beberapa sudut. Pertama, dari sisi tafsir sistematik. Di sini, legislator ingin menegaskan bahwa pengaturan tentang kepelautan, termasuk aspek ketenagakerjaannya, menjadi domain UU Pelayaran. Hal ini terlihat sebagai upaya menghindari tumpang tindih rezim hukum ketenagakerjaan pelaut dengan UU Ketenagakerjaan.
Kedua, dari sisi tujuan kebijakan. Ada keinginan untuk memisahkan perlindungan ketenagakerjaan pelaut dari pekerja darat, dengan dalih karakteristik kerja pelaut berbeda. Diksi ini bisa menjadi justifikasi pemerintah untuk menyusun PP baru turunan UU Pelayaran terkait ketenagakerjaan pelaut.
Ketiga, dari sisi praktik dan substansi. Faktanya, UU Pelayaran belum mengatur norma perlindungan ketenagakerjaan awak kapal secara lengkap. Tanpa aturan turunan baru, frasa ini menjadi frasa kosong dan kontraproduktif, bahkan dapat menghambat pelaut dalam menuntut haknya melalui rezim UU Ketenagakerjaan karena muncul argumen bahwa pelaut hanya tunduk pada UU Pelayaran.
Persoalan PP 7/2000PP 07/2000 masih digunakan untuk pelaut dan Perjanjian Kerja Laut (PKL), padahal PP ini bentuk berdasarkan UU No. 21 Tahun 1992 yang sudah dicabut. PP itu juga tidak pernah disesuaikan dengan UU No. 17 Tahun 2008, apalagi dengan UU No. 66 Tahun 2024. Kemudian PP ini juga idak mengakomodasi standar MLC 2006 yang sudah diratifikasi Indonesia.
Secara teori hukum perundang-undangan, peraturan pelaksanaan dari UU yang telah dicabut tetap berlaku selama belum ada penggantinya dan tidak bertentangan dengan UU baru.
Namun dalam praktiknya membuat status PP 07/2000 lemah secara hierarki. Hal ini berpotensi menjadi celah hukum jika ada sengketa ketenagakerjaan pelaut.
Implikasi frasa “diatur dalam Undang-Undang ini” pada revisi pasal 337 UU Pelayaran pun menimbulkan beberapa persoalan.
Di antaranya (1) Potensi Diskriminasi Perlindungan pelaut bisa kehilangan akses perlindungan dari UU Ketenagakerjaan, padahal UU Pelayaran tidak memiliki ketentuan spesifik dan komprehensif terkait hak ketenagakerjaan pelaut. (2) Potensi Legal Vacuum. Tanpa PP baru, perlindungan ketenagakerjaan pelaut menjadi area abu-abu karena instrument hukum yang tersedia tidak memadai. (3) Potensi Sengketa Interpretasi. Pekerja/serikat akan menggunakan UU Ketenagakerjaan sebagai dasar menuntut hak (SEMA No 2 tahun 2024). Pengusaha akan berargumen UU Pelayaran sebagai lex specialis yang harus diikuti. Hakim akan kesulitan memutus karena tidak ada norma rinci dalam UU Pelayaran. (4) Kontradiksi dengan Ratifikasi MLC 2006. Indonesia telah meratifikasi MLC 2006 melalui UU No. 15 Tahun 2016 yang mewajibkan perlindungan ketenagakerjaan pelaut. Frasa ini tidak diiringi dengan aturan pelaksana yang sesuai MLC 2006, sehingga Indonesia terancam gagal memenuhi kewajiban internasionalnya.
Penambahan frasa “diatur dalam Undang-Undang ini” pada Pasal 337 ayat (2) seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah, serikat pekerja, dan pemangku kepentingan maritim untuk segera:
1) Menyusun dan menerbitkan PP tentang ketenagakerjaan pelaut yang menjadi turunan langsung dari UU Pelayaran, dengan substansi yang sesuai MLC 2006 dan kondisi kerja pelaut Indonesia.
2) Melakukan harmonisasi dengan UU Ketenagakerjaan dalam aspek-aspek ketenagakerjaan yang tidak diatur dalam UU Pelayaran, dengan pendekatan perlindungan yang lebih baik.
3) Memastikan akses keadilan bagi pelaut jika terjadi perselisihan ketenagakerjaan, agar tidak menjadi korban “celah hukum” akibat penambahan frasa ini.
4) Menggunakan momentum ini untuk mendorong revisi UU Pelayaran yang lebih komprehensif atau pembentukan UU khusus tentang ketenagakerjaan pelaut sebagai lex specialis, daripada sekadar menambahkan satu frasa yang tidak memiliki daya guna jika tidak diikuti aturan pelaksanaan.
Frasa “diatur dalam Undang-Undang ini” pada Pasal 337 ayat (2) UU Pelayaran adalah cerminan semangat pemisahan rezim hukum ketenagakerjaan pelaut dari pekerja darat, tetapi tanpa pengaturan substansial akan menjadi frasa kosong.
Tanpa PP pelaksanaan yang sesuai, maka frasa ini tidak hanya tidak berguna tetapi juga berpotensi menjadi jebakan hukum bagi perlindungan pelaut.
*Penulis adalah Ketua Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI)
BERITA TERKAIT: