Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, bicara apa adanya bahwa Indonesia memang bukan habitat alami siklon tropis, jadi wajar kalau kita gagap. Tapi, ah, kata “wajar” kadang hanya pembalut luka yang seharusnya dibiarkan terbuka agar cepat sembuh.
Kenapa? Karena faktanya, pengetahuan tentang siklon sudah kita miliki; deteksinya sudah bisa; alat pantau cuaca kita bukan lagi jaman radio philip. BMKG malah sudah bisa memprediksi delapan hari sebelumnya bahwa Sumatera akan diguyur hujan super deras akibat bibit Siklon Senyar sejak 21 November itu.
Delapan hari sebelum banjir datang, kita sudah diberi tahu! Ya, lebih seminggu, waktu yang cukup panjang untuk menabung, apalagi sekadar membersihkan selokan dan menyiapkan pengeras suara masjid untuk pengumuman darurat. Tetapi tetap saja kita kedodoran, seperti veteran sepeda onthel disuruh balapan MotoGP.
Mari kita luruskan dulu, apa sih siklon itu? Siklon adalah ‘pusaran raksasa’ atmosfer yang lahir dari pertemuan massa udara panas dan dingin, seperti dua geng remaja yang salah paham lalu tawuran di langit. Jenisnya macam-macam mulai dari ada siklon tropis (teman lama kita yang jarang datang), sub tropis, ekstra tropis, sampai siklon yang namanya lucu-lucu tapi dampaknya tidak lucu sama sekali.
Indonesia sejatinya berada di wilayah low latitude dekat khatulistiwa, sehingga biasanya terlalu “adem” untuk memproduksi siklon tropis kelas berat. Akibatnya, ketika ada bibit siklon yang nyelonong dari Samudra Hindia, kita panik seperti orang pertama kali melihat kompor induksi, “Ini tombolnya di mana?”
Dan ketika ibunya Siklon Senyar ini benar-benar lahir, hujan yang ditumpahkannya bukan main-main. Bayangkan, curah hujan 411-600 mm dalam sehari, itu bukan hujan, itu waterfall delivery service. Satu bulan hujan dikemas menjadi satu hari, lalu diulang selama tiga atau tujuh hari. Pantas tanah Sumatera megap-megap, seperti spons murahan yang dipaksa menyerap kolam renang.
Lalu apa sebetulnya yang belum siap? Pengetahuan meteorologi? Tidak. Koordinasi? Mungkin. Alat? Bisa jadi. Kehendak politik dan keberanian mengalokasikan anggaran ke hal-hal yang tidak populer? Sangat mungkin. Kita ini seperti punya buku resep lengkap, tapi kompor belum dibeli, wajan masih dipinjam tetangga, dan dapur pun belum ada atapnya.
Bayangkan andai kita punya sistem peringatan dini nasional yang sama rimbun dengan minimarket, tiga langkah sekali ketemu. Di masjid-masjid, di mal, di sekolah, di gedung perkantoran, di pos ronda, bahkan di halte ojol, semua tersambung dengan sensor cuaca berbasis IoT. Sekecil itu alatnya yakni seukuran kotak tissue, tapi parameternya lebih sensitif dari orang patah hati.
Negara lain melakukannya. Jepang memasang ribuan sensor tanah dan hujan, lengkap dengan alarm otomatis yang menjerit sebelum tanah bergerak. Filipina punya jaringan “Project NOAH”, semacam detektif cuaca 24 jam yang bahkan bisa menaksir banjir berdasarkan topografi. Kita? Kita masih berkutat pada “sudah diumumkan kok di WA grup BPBD”.
Di mana BRIN? Lembaga paling canggih dengan dana penelitian triliunan yang harusnya tidak kalah gesit dari NASA versi Nusantara ini semestinya sudah menanam sensor geofisika dan meteorologi se-Indonesia raya, bukan hanya menjual wacana riset.
Dengan anggaran triliunan, masa BRIN kalah dari hobi anak kuliahan yang bisa merakit stasiun cuaca mini dari Raspberry Pi? Sungguh ironi ketika negara seluas benua ini hanya mengandalkan sirene banjir yang kadang bunyinya lebih sering kalah cepat dari broadcast hoaks di grup keluarga.
Siklon ini memang tak lazim, kata BMKG. Betul. Tapi bencana itu tidak peduli lazim atau tidak. Banjir bandang di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah pengingat pahit bahwa kita tidak sedang hidup di negeri dongeng yang cuacanya selalu cerah.
Ini realitas baru bahwa anomali cuaca makin sering, monsun Asia makin agresif, seruakan dingin dari utara makin jail, dan bumi makin gerah karena ulah manusia. Sekarang siklon meluluh-lantakkan Sumatera. Khawatirnya, itu mengancam Jakarta Utara, Jawa Barat, atau lainnya.
Walhasil, kejujuran BMKG bukan sekadar pengakuan, tetapi tamparan sayang agar kita bangun. Bangun dari mimpi bahwa Indonesia kebal siklon. Bangun dari kebiasaan reaktif, bukan preventif. Bangun dari budaya “nanti kita siapkan kalau sudah terjadi”. Bencana memang tragedi, tapi ketidaksiapan adalah komedi gelap yang tidak lucu.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti mengandalkan doa sebagai protokol darurat, dan mulai memadukannya dengan teknologi sebagai ikhtiar serius. Jika tidak, setiap tetes hujan ekstrem akan berubah menjadi berita duka, dan setiap badai akan memaksa kita membuka mata, yang perlu dipersiapkan bukan hanya sistem, tetapi mentalitas bahwa “jarang terjadi” bukan berarti “tidak akan terjadi”.
Karena bangsa besar bukanlah bangsa yang bebas bencana, melainkan bangsa yang siap ketika bencana datang menghampiri. Semoga.
BERITA TERKAIT: