Berdasarkan pengamatan di lapangan, banyak terdapat anak-anak di berbagai sekolah memainkan permainan ala Squid Game dengan hukuman fisik. Situasi ini jelas mengkhawatirkan. Social Learning Theory dari Albert Bandura (1977) menyebutkan bahwa anak belajar dari apa yang mereka lihat. Ketika tayangan menyajikan kekerasan sebagai cara bertahan hidup, nilai-nilai itu bisa diserap tanpa filter.
Penelitian Bushman & Huesmann (2006) bahkan menyimpulkan bahwa konsumsi media kekerasan berhubungan langsung dengan peningkatan agresivitas. Di saat yang sama, anak dan remaja berada dalam tahap perkembangan moral yang rentan dipengaruhi media. Ini diperkuat oleh teori perkembangan moral Kohlberg (1981).
Kini, Squid Game Season 3 telah dirilis di platform Netflix. Jika mengikuti pola dua musim sebelumnya, potensi eskalasi kekerasan dan dilema moral akan semakin tinggi. Permainan yang lebih sadis, karakter “baik” yang berubah menjadi kejam, hingga viralitas sosial media menjadi ancaman nyata bagi tumbuh kembang psikososial anak. Lantas, bagaimana negara harus bersikap?
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa negara wajib melindungi anak dari konten bermuatan kekerasan. Namun, regulasi kita belum cukup adaptif terhadap realitas dunia digital. Tayangan berbahaya masih bisa diakses bebas lewat ponsel di kamar tidur anak.
Pemerintah, dalam hal ini melalui Komdigi dan KPI, perlu segera memperkuat sistem pengawasan konten digital. Mulai dari verifikasi usia berbasis NIK, kontrol orang tua di platform streaming, hingga edukasi literasi media di sekolah. Perlu juga ada kerja sama lintas negara dengan penyedia platform seperti Netflix agar distribusi konten bisa disesuaikan dengan regulasi lokal.
Perlindungan anak dari tayangan berbahaya bukan cuma soal moral, tapi amanat konstitusi. Pasal 28B UUD 1945 menegaskan bahwa anak berhak atas tumbuh kembang yang sehat dan perlindungan dari kekerasan. Kita tidak bisa membiarkan algoritma dan pasar bebas menentukan masa depan anak-anak Indonesia. Negara harus hadir, bukan sekadar bereaksi. Karena dalam perlindungan anak, pencegahan jauh lebih penting daripada penyesalan.

*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan dan Media Digital
BERITA TERKAIT: