Neoliberalisme Racuni Indonesia

Oleh: Muchamad Andi Sofiyan*

Sabtu, 14 Juni 2025, 04:21 WIB
Neoliberalisme Racuni Indonesia
Ilustrasi/Ist
INDONESIA secara konstitusional menganut sistem ekonomi Pancasila, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Tapi dalam praktik, kita justru menyaksikan dominasi sistem ekonomi neoliberal, sebuah ideologi global yang mengikis kedaulatan negara, melucuti tanggung jawab sosial pemerintah, dan menyerahkan nasib rakyat pada kekuatan pasar.

Negara Menyusut, Pasar Mengembang

Neoliberalisme menjadikan pasar sebagai pusat segalanya, dan negara sekadar pelayan kepentingan investasi. Dalam sistem ini, pendidikan, kesehatan, energi, pangan, bahkan air, semuanya dianggap sebagai komoditas, bukan hak dasar rakyat.

Kita bisa melihat buktinya: Pendidikan tinggi dikomersialisasi melalui status PTNBH dan UKT yang mencekik. Layanan kesehatan makin eksklusif, dengan BPJS yang terus bermasalah dan rumah sakit makin berorientasi profit. 

Infrastruktur dibangun bukan oleh negara secara langsung, melainkan lewat skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), yang pada intinya memindahkan risiko ke rakyat dan keuntungan ke investor. Negara hadir hanya sebagai regulator dan fasilitator pasar, bukan pelindung kepentingan rakyat.

UU Cipta Kerja Simbol Paling Telanjang

Undang-Undang Cipta Kerja adalah manifestasi paling telanjang dari semangat neoliberalisme. Dengan dalih efisiensi dan kemudahan investasi, UU ini: Melemahkan perlindungan buruh dan mempermudah PHK, Menurunkan standar lingkungan hidup, Memudahkan korporasi mengakses tanah dan ruang hidup rakyat.

Rakyat dikecilkan, korporasi dibesarkan. Negara justru berdiri di belakang pemodal, bukan rakyat kecil.

Indonesia sedang mengalami bonus demografi--situasi emas di mana mayoritas penduduk berada dalam usia produktif. Ini seharusnya menjadi batu loncatan menuju kebangkitan ekonomi nasional.

Namun potensi ini justru disia-siakan. Alih-alih membangun sistem ekonomi berbasis produksi dan distribusi nasional, negara justru mendorong generasi muda menjadi “wirausaha individu”, ojek online, atau tenaga fleksibel tanpa perlindungan jaminan sosial.

Bonus demografi yang semestinya menjadi berkah ekonomi dan sosial, justru dibiarkan dihisap oleh logika pasar yang tak mengenal belas kasihan.

Aset Publik Dikomersialisasi, SDA Dikuasai Segelintir

Puncaknya adalah bagaimana aset dan kekayaan negara dijual secara perlahan: Bandara Kualanamu dan Lombok dikelola oleh anak perusahaan BUMN yang sahamnya ditawarkan ke investor, Jalan tol dikelola oleh anak-anak perusahaan BUMN untuk kemudian dilepas lewat skema reksadana infrastruktur, SDA strategis seperti emas, nikel, dan batu bara dikonsesikan ke korporasi besar yang menguasai lahan rakyat dalam skala luar biasa.

Negara tampak memegang kendali, padahal yang dikendalikan hanya kulitnya—sementara daging dan keuntungannya diperas oleh elit korporasi dan entitas keuangan.

Padahal konstitusi sangat jelas: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” (Pasal 33 UUD 1945)

Kini semuanya dibalik: negara menyerahkan urusan vital ke mekanisme pasar dan kontrak bisnis. Keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan kesejahteraan umum dikalahkan oleh kalkulasi profit.

Ini bukan sekadar penyimpangan administratif. Ini adalah pengkhianatan terhadap dasar negara dan cita-cita kemerdekaan.

Ini Bukan Hanya Tanggung Jawab Pemerintah

Namun, kita tak bisa hanya menyalahkan pemerintah. Neoliberalisme menjamur bukan hanya karena dorongan elite, tapi juga karena diamnya publik, apatisme intelektual, dan normalisasi ideologi pasar oleh media dan kampus.

Maka, melawan neoliberalisme bukan semata tugas pejabat, aktivis, atau ekonom. Ini adalah tugas kita semua--warga negara yang masih percaya bahwa bangsa ini didirikan untuk keadilan sosial, bukan untuk melayani pasar.

Kita harus mulai dari: Membongkar ilusi bahwa pasar selalu benar, Menuntut kebijakan berbasis konstitusi, bukan logika investasi, Mendukung gerakan rakyat yang memperjuangkan kedaulatan pangan, energi, pendidikan, dan tanah.

Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Kita tidak kekurangan tenaga kerja. Kita tidak kekurangan potensi. Yang kita kekurangan adalah keberanian untuk keluar dari sistem yang menindas, dan keyakinan untuk membangun sistem yang adil dan bermartabat.

Neoliberalisme adalah konstruksi manusia, bukan suatu keharusan yang tak bisa diubah. Ia adalah pilihan yang keliru. Dan pilihan itu bisa dan harus kita tolak.

Kini waktunya kita kembali ke jalan konstitusi, kembali ke ekonomi Pancasila, dan kembali meletakkan manusia, bukan pasar, sebagai pusat pembangunan. Keadilan sosial bukan utopia. Ia adalah panggilan sejarah. Dan bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menjawab panggilan itu. rmol news logo article

*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA