HARI ini, saya menghadiri hari pertama Indonesia International Infrastructure Conference & Exhibition (ICC) -sebuah forum strategis yang tak hanya membicarakan proyek, tetapi juga arah masa depan peradaban.
Dalam setiap percakapan, setiap sesi panel, saya teringat pada prinsip fisika paling mendasar yang pernah dirumuskan manusia: percepatan (acceleration) hanya terjadi bila gaya (force) bekerja pada massa (mass). Seperti dalam hukum Newton, pembangunan tidak akan bergerak tanpa kekuatan yang menuntunnya dan tanpa struktur yang sanggup menanggungnya. Infrastruktur bukan semata urusan beton dan baja, melainkan tentang bagaimana visi, kebijakan, dan kapasitas bangsa bertemu untuk menggerakkan perubahan.
Di pembukaan ICC 2025, Menko IPK Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengingatkan kita akan tiga "jam urgensi" yang sedang berdetak kencang: jam demografi, jam ekonomi, dan jam ekologi. Tiga jam ini adalah pengingat bahwa bangsa ini sedang berpacu dengan waktu -bahwa setiap keputusan pembangunan harus mampu menjawab kebutuhan generasi produktif, mendorong daya saing ekonomi, sekaligus menyelamatkan lingkungan yang kian rapuh. Infrastruktur tak bisa lagi dibangun sekadar untuk mengejar kuantitas; ia harus dirancang untuk menjawab tantangan zaman secara berlapis dan simultan.
Jika gerak adalah konsekuensi dari gaya yang bekerja pada massa, maka pembangunan infrastruktur adalah manifestasi dari bagaimana sebuah bangsa mengakselerasi visinya melalui kekuatan kebijakan, modal sosial, dan determinasi politik.
Sepuluh tahun terakhir, saya menyaksikan- dan menjadi bagian dari- gaya besar itu: gaya yang menembus batas birokrasi, menyatukan aktor-aktor sipil dan teknokratik, menyambungkan kota dan desa, pelabuhan dan pegunungan. Dari MRT Jakarta hingga LRT Palembang, dari pelabuhan Patimban hingga Bandara Kertajati, dari tol Trans Sumatera yang membelah rawa hingga Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), semua adalah hasil dari gaya kolektif yang bekerja pada ‘massa pembangunan’ kita.
Namun gaya tak bekerja sendiri. Ia bertemu massa -berupa dedikasi, disiplin, dan daya tahan. Saya ingin menghormati para "massa" itu, orang-orang yang mengubah gaya menjadi percepatan sejarah.
Fakar Nasution, seorang anak muda dari ITB yang saya kenal baik, menghabiskan berbulan-bulan di rawa-rawa Sumatera Selatan, bertempur diam-diam dengan kelembaban dan lumpur demi memadatkan lahan agar Tol Trans Sumatera bisa berdiri tegak. Ia bukan hanya bekerja dengan ilmu teknik, tetapi juga dengan cinta dan ketangguhan.
Pundjung Setya Barata, bertahun-tahun memimpin proyek LRT Jakarta-Cibubur tanpa kenal waktu, bahkan saat kesehatannya tergerus oleh tekanan pekerjaan. Ia berjalan di atas jadwal yang tak bisa dimundurkan, demi mengejar target Asian Games dan tenggat nasional lainnya.
Budiharto, presdir yang bersahaja, menuntaskan berbagai ruas tol dan memastikan GBK tampil prima sebagai wajah Indonesia di mata dunia. Dalam diamnya, ia adalah sosok strategis yang memahami pentingnya infrastruktur sebagai diplomasi.
Faik Fahmi, di sisi lain, membuktikan bahwa bandara bukan sekadar terminal keberangkatan. Ia menjadikan Yogyakarta International Airport (YIA) sebagai kebanggaan masyarakat DIY dan Jateng -sebuah ikon bahwa infrastruktur juga adalah budaya, estetika, dan martabat lokal yang diangkat secara global.
Dan saya tak bisa menulis tentang infrastruktur tanpa menyebut Menteri Basuki Hadimuljono -seorang pekerja sejati yang dalam setiap banjir atau bencana, selalu muncul bukan sebagai menteri, tapi sebagai teknisi yang memikul tanggung jawabnya sendiri. Ia adalah penerus teladan dari Menteri Djoko Kirmanto (Djokir), yang membangun tanpa banyak suara, dan membiarkan hasilnya bicara sendiri. Dan tentu masih banyak lagi para pejuang infrastruktur yang akan saya kenalkan satu per satu lewat seri tulisan berikutnya -dari kepala balai, para pengendali mutu, hingga para direktur teknis yang bekerja tanpa sorotan kamera.
Semua mereka adalah bagian dari hukum Newton dalam versi kebangsaan: mereka menyerap gaya, menjadi massa, dan melahirkan percepatan. Bahkan saat pandemi COVID-19 melumpuhkan sebagian besar proyek dunia, Indonesia tetap membangun. Infrastrukturtidak berhenti karena manusia-manusianya tak menyerah.
Kini, saat menghadiri Indonesia International Infrastructure Conference & Exhibition, saya tidak hanya belajar dari tren global. Saya datang membawa rasa syukur dan hormat kepada para pejuang infrastruktur -yang tidak hanya membangun jalan, tapi juga membangun jalan bagi harga diri bangsa.
Newton memberi kita rumus, sejarah memberi kita contoh, dan masa depan menanti komitmen kita. Karena itu, hukum Newton bukan sekadar rumus fisika; ia adalah cara pandang terhadap dunia: bahwa tak ada perubahan tanpa dorongan, dan bahwa dorongan yang tak terarah hanya menghasilkan kekacauan. Dalam pembangunan bangsa, gaya itu bisa berupa visi, massa itu adalah rakyat, institusi, dan ilmu pengetahuan. Dan percepatan yang kita butuhkan -itulah momentum sejarah. Maka, bila ingin bangsa ini bergerak maju dengan elegan, kita harus memastikan bahwa seluruh elemen gaya dan massa bekerja dalam satu arah, dalam satu sistem. Seperti hukum alam, pembangunan sejati tak bisa dilawan -ia hanya bisa dipahami, diselaraskan, dan disempurnakan.
*Penulis adalah praktisi di bidang manajemen.
BERITA TERKAIT: