Ilusi Pariwisata sebagai Bantalan Ekonomi di Tengah Gejolak Perang Dagang Global

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/paul-emes-5'>PAUL EMES*</a>
OLEH: PAUL EMES*
  • Senin, 07 April 2025, 14:25 WIB
Ilusi Pariwisata sebagai Bantalan Ekonomi di Tengah Gejolak Perang Dagang Global
Ilustrasi/Net
PERNYATAAN Menteri Pariwisata Widi Putri Wardhana bahwa sektor pariwisata dapat menjadi andalan Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah perang dagang global adalah pandangan yang terlalu optimistis dan kurang mempertimbangkan dinamika ekonomi makro yang tengah terjadi. 

Dengan menyebut bahwa "pariwisata adalah bentuk ekspor jasa yang tidak terganggu oleh kebijakan tarif dagang," sang Menteri mengabaikan efek domino dari kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap tatanan perdagangan dan perekonomian global, yang pada akhirnya justru turut menggerus sektor pariwisata dunia.

Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Presiden Trump?"termasuk tarif 32 persen terhadap produk Indonesia?"telah memicu ketegangan dagang yang luas. Terutama dengan negara-negara mitra utama seperti Tiongkok, Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko yang langsung meresponsnya dengan menaikkan tarif. 

Kebijakan ini tidak hanya berdampak langsung pada industri manufaktur dan ekspor barang, tetapi juga menimbulkan efek tidak langsung yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi global. Ketika ekspor barang terganggu, negara-negara mitra dagang Amerika merespons dengan retaliasi, menciptakan ketidakpastian dalam rantai pasok global, dan menyebabkan perlambatan ekonomi.

Perlambatan ini pada akhirnya memengaruhi perilaku konsumsi global, termasuk keputusan individu untuk melakukan perjalanan wisata. Pariwisata sangat sensitif terhadap situasi ekonomi: ketika daya beli menurun dan ketidakpastian meningkat, prioritas konsumen bergeser dari pengeluaran diskresioner seperti liburan ke kebutuhan yang lebih mendesak. 

Dengan kata lain, penurunan pertumbuhan ekonomi global akibat kebijakan tarif berdampak langsung pada penurunan kunjungan wisatawan internasional. Mood ekonomi adalah faktor utama dalam keputusan perjalanan wisata lintas negara.

Data dari berbagai lembaga seperti UNWTO (Organisasi Pariwisata Dunia) bahkan menunjukkan bahwa krisis ekonomi atau ketegangan dagang global selalu disertai penurunan signifikan dalam jumlah wisatawan global. Contohnya, selama krisis keuangan global 2008-2009, jumlah wisatawan internasional menurun tajam. 

Dalam konteks saat ini, jika negara-negara asal wisatawan seperti Amerika, Tiongkok, atau negara-negara Eropa mengalami penurunan ekonomi akibat kebijakan perdagangan proteksionis, maka proyeksi kunjungan wisman ke Indonesia otomatis akan terdampak.

Mengandalkan pariwisata sebagai bantalan ekonomi dalam situasi ini juga berisiko karena industri ini sangat tergantung pada stabilitas global, kemudahan perjalanan, dan kepercayaan konsumen. Pandemi Covid-19 sebelumnya membuktikan bahwa pariwisata adalah sektor paling awal tumbang, dan paling akhir bangkitnya. Maka, anggapan bahwa pariwisata “tidak terganggu oleh kebijakan tarif dagang” adalah keliru.

Selain itu, meningkatkan jumlah wisman tidak hanya soal strategi promosi, tetapi sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi negara asal wisatawan, biaya perjalanan, nilai tukar mata uang, dan persepsi keamanan serta stabilitas di negara tujuan. Dalam situasi ekonomi global yang terguncang akibat perang dagang, negara-negara asal wisatawan justru akan mengalami penurunan permintaan konsumsi luar negeri, termasuk perjalanan ke Bali, Lombok, hingga Labuan Bajo Indonesia.

Strategi Menteri Widi untuk meningkatkan devisa melalui pariwisata dalam rangka menstabilkan rupiah dan ekonomi nasional bisa jadi hanya akan menjadi harapan kosong, apabila tidak disertai pembacaan jernih terhadap konteks ekonomi global. Apalagi, pariwisata bukan hanya soal menerima kunjungan, tetapi juga soal kesiapan infrastruktur, daya saing pelayanan, dan kondisi kebersihan dan keamanan  adalah faktor-faktor yang belum sepenuhnya siap di berbagai destinasi di Indonesia.

Dengan demikian, dalam situasi global yang sedang terguncang oleh kebijakan proteksionis, termasuk tarif perdagangan yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, strategi menjadikan sektor pariwisata sebagai bantalan ekonomi nasional seharusnya dikaji ulang dengan lebih kritis. 

Daripada mengandalkan pariwisata sebagai solusi tunggal, Indonesia perlu memperkuat daya saing sektor ekonomi produktif lainnya secara menyeluruh, sambil menjaga daya beli domestik dan ketahanan ekonomi nasional secara lebih terencana terukur. rmol news logo article

*Penulis adalah pemerhati kebijakan Publik, Founder ORIN Tourism Development Consultant
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA