Ditambah lagi, usai melewati salat Idulfitri, Indonesia pun harus bersiap menghadapi realitas pahit terhadap perkembangan ekonomi nasional kita. Kenyataan pailitnya Industri dalam negeri masih menghantui masa depan negara Republik Indonesia yang kita cintai bersama ini.
Presiden Donald Trump tidak hanya mengejutkan Indonesia, namun kembali membuat dunia internasional terkejut pasca diterapkannya Kebijakan
Reciprocal Tariffs sebagai upaya langkah strategis Amerika Serikat (AS) dalam menciptakan keseimbangan tarif antar negara.
Reciprocal Tariffs bisa diartikan sebagai kebijakan tarif timbal balik. Kebijakan ini merujuk pada kondisi suatu negara yang menetapkan tarif impor terhadap barang dari negara lain dengan tingkat yang sama seperti tarif yang dikenakan oleh negara tersebut pada barang ekspornya.
Kebijakan ini disinyalir justru akan membuat kondisi dunia makin dihimpit oleh ketidakpastian akibat dari Perang Rusia Ukraina maupun Gejolak Politik di Timur Tengah dan sekarang diperparah dengan adanya Perang Dagang efek domino dari kebijakan Presiden Trump tersebut. Apalagi banyak negara-negara yang akan terkena dampaknya, seperti Indonesia yang secara resmi telah dikenakan tarif resiprokal sebesar 32 persen dari yang biasanya 10 persen per 9 April 2025 nanti.
Angka 32 persen tentu mengancam stabilitas perekonomian Indonesia yang per hari ini (terakhir, 5 April 2025) sedang mengalami ‘kelesuan’ rupiah. Data menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah mencapai angka sebesar Rp17.006 per dolar AS. Nilai tersebut berpotensi menciptakan tekanan ke pasar keuangan apalagi, jika ditambah dengan kenaikan tarif ekspor ke AS.
Kondisi ini dikhawatirkan mengancam stabilitas ekonomi dalam negeri karena menimbulkan
domino effect yang bisa memicu penurunan ekspor Indonesia ke AS; peningkatan biaya terhadap pelaku ekspor komoditas unggulan; perlambatan produksi; hingga badai PHK dan penyempitan lapangan pekerjaan. Lebih lanjut, ketidakstabilan ekonomi nantinya membuat investor asing mengurungkan niat untuk menanamkan modal sehingga visi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen semakin sulit diwujudkan. Terlebih, kebijakan tersebut turut mengancam pergerakan IHSG yang diperkirakan akan melemah saat dibuka. Pada 8 April 2025 dengan rentang
resistance di level 6.660 dan support di 6.150.
Perang Ekonomi AS Vs SemuaTampaknya memang kebijakan Trump tidak main-main. Perang ekonomi AS bukan lagi perang ekonomi versus Tiongkok. Tetapi menjadi bab baru bagi ekonomi-politik global, yakni perang AS vs semua. Mirip sebagaimana pengandaian filsuf Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan (1651),
"Bellum omnium contra omnes” (Perang semua, melawan semua).
Bellum omnium contra omnes adalah gambaran relevan dari ekonomi politik Amerika Serikat sekarang. Di mana AS sedang saling mencurigai dan menyerang demi mempertahankan prinsip hidupnya yaitu ‘America First’. Selain itu AS sedang menciptakan order ekonomi dari kelesuan sejak berakhirnya pemilu.
Selain itu dalam sudut pandang lain, pada dasar kerja sama hubungan dagang antar negara dalam prinsip ekonomi dasar adalah saling mengefisiensikan masing-masing spesialisasi ekonomi dalam negeri. Sebagaimana analisa mahaguru ekonomi David Ricardo (1817) tentang keunggulan komparatif, “setiap negara sebaiknya memproduksi barang yang bisa mereka hasilkan dengan biaya peluang terendah, dan menukar hasil produksi tersebut dengan negara lain, meskipun negara itu bisa memproduksi semuanya secara lebih efisien”.
Namun nyatanya, dengan adanya kebijakan Reciprocal Tariffs dari AS, mengandaikan bahwa secara tidak langsung AS tidak hanya mencari keuntungan yang seimbang dari berdagang di masing-masing negara. Tetapi juga memberikan hambatan perdagangan itu sendiri. Termasuk ekspor dari AS ke negara lainnya.
Selain itu, hal ini menandakan bahwa AS tidak hanya sedang berperang dagang dengan Tiongkok. Tapi juga sedang berperang dengan kurang lebih 60 negara yang telah ditetapkan oleh kebijakan tersebut.
Selanjutnya jika mengandalkan logika Ricardo adanya tarif yang sangat tinggi akan membuat negara tidak bisa fokus pada produk dengan keunggulan komparatifnya. Akhirnya efisiensi global akan menurunkan masing-masing jaringan konsumen tiap negara akan merugi.
Keputusan Donald "the tariff man" Trump untuk membalas tarif impor sejumlah negara atas barang dari Amerika berdampak signifikan terhadap sentimen berinvestasi di pasar saham dan keuangan global.
Dan dampak paling besarnya adalah bahwa ekonomi AS pasti akan melorot signifikan. Terbukti Sejak baru diumumkan oleh Presiden Trump, pasar saham Wall Street yang jadi acuan pasar saham dunia rontok segera setelah Trump umumkan tarif balasan yang katanya untuk melindungi ekonomi AS.Tiga indeks utama Wall Street jatuh ke level terendah selama lima tahun karena investor khawatir tentang dampak ekonomi yang lebih luas.
Indonesia “Now or Never"!Dari perspektif Indonesia, neraca perdagangan dengan Amerika Serikat menunjukkan surplus, bukan defisit. Surplus terjadi ketika nilai ekspor lebih besar daripada nilai impor. Berdasarkan data BPS ekspor Indonesia ke AS pada 2024 mencapai sekitar 28,1 miliar Dolar AS.
Sementara itu impor Indonesia dari AS ke Indonesia pada 2024 diperkirakan sekitar 10,2 miliar Dolar AS (berdasarkan data USTR dan laporan perdagangan bilateral). Jadi, surplus Indonesia dengan AS adalah kurang lebih 17,9 miliar dolar AS untuk tahun 2024.
Sebaliknya, dari perspektif AS, ini tercatat sebagai defisit perdagangan sebesar 17,9 miliar dolar AS dengan Indonesia, karena AS mengimpor lebih banyak dari Indonesia daripada yang diekspor ke sana.
Sebagai catatan, persentase perdagangan dengan AS terhadap total perdagangan Indonesia adalah sekitar 8,1 persen. Namun dengan kenaikan tarif impor terbaru sebanyak 32 persen tentunya berpotensi menurunkan volume dan nilai perdagangan.
Memang di tengah prahara sosial-ekonomi-politik dalam negeri, kebijakan Reciprocal Tariffs seperti pukulan tambahan buat Indonesia. Jika meminjam judul cerpen HB Jasin yang terkenal “Langit (Indonesia) Makin Mendung”. Namun bagaimanapun besarnya badai, kapal bangsa tidak boleh karam. Masih terdapat peluang-peluang yang dapat dimaksimalkan pemerintah dalam menyiasati perang dagang AS.
Terdapat beberapa dampak positif meski terbatas, bagi ekonomi dalam negeri, khususnya segmentasi pelaku usaha menengah-bawah, dari adanya kebijakan tersebut.
Pertama, setidaknya dengan adanya peningkatan tarif masuk ke AS, ini dapat mendorong pelaku usaha untuk mendiversifikasi pasar ekspor baru, dan dalam rangka meningkatkan market value. Misalnya Indonesia dibantu oleh pemerintah, dapat menyasar pasar-pasar baru seperti Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika.
Selain itu ini juga dalam rangka mengurangi ketergantungan ekspor ke AS. Selanjutnya dengan sudah “berlisensi” ekspor ke AS, produk-produk Indonesia, tidak mengalami banyak kesulitan standarisasi ke daerah pasar baru nantinya.
Kedua, tentu adanya penguatan industri domestik. Jika barang AS juga dikenakan tarif yang tinggi oleh Indonesia, maka produk lokal lebih bisa bersaing di pasar dalam negeri. Selain itu substitusi impor sangat mungkin terjadi. Dan ini menjadi peluang bagi UMKM untuk meningkatkan market valuenya.
Ketiga, peluang ini sangat memungkinkan adanya negosiasi dagang baru bagi kerja sama ekonomi, regional atau non-regional. Kebijakan
Reciprocal Tariffs, dapat memicu perundingan dagang bilateral baru. Sehingga Reciprocal Tariffs, dapat menjadi efek domino bagi banyaknya perjanjian bilateral.
Keempat, memang sudah seharusnya pemerintah Indonesia mempunyai rencana ajeg dalam memperkuat sektor manufaktur. Karena jika sektor ini kuat, Indonesia bisa naik kelas dari negara pengekspor bahan mentah menjadi negara industri. Selain itu dalam jangka panjang, ini mendorong Indonesia jadi negara berbasis industri berteknologi.
Dan yang paling cukup strategis adalah sektor manufaktur menciptakan efek berantai. Seperti mendorong industri pendukung (logistik, desain, bahan baku lokal). Serta menguatkan sektor UMKM sebagai pemasok komoditas yang berkualitas.
Namun dari beberapa dampak positif, adanya dampak positif dari perang dagang AS, jika pemerintah tidak segera berbenah akan sulit sekali Indonesia meningkatkan daya tawar ekonomi kedepannya.
Tentu pemerintah sebaiknya harus mengambil langkah-langkah strategis dan cepat agar tak memperburuk kondisi perekonomian negara kita yang saat ini juga sedang mengalami distraksi.
Karena jika tidak disikapi dengan cepat dan cermat, Indonesia sangat mungkin mengalami kerugian ekonomi yang sangat besar. Dan dampak pemulihan ekonominya bisa sangat lama.
Maka dari itu Presiden Prabowo mesti memeras otak dari para menteri untuk menghasilkan kebijakan dari banyak sektor (perdagangan, luar negeri, transportasi, dan lain-lain) yang semuanya berfokus pada perekonomian dalam negeri.
Seperti ungkapan penyanyi terkenal Elvis Presley lewat lagunya yang berjudul sama (1960),
“It's now or never” (sekarang atau tidak sama sekali)! MERDEKA !!!
*Penulis adalah Anggota DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan
BERITA TERKAIT: