Sebuah rencana kebijakan yang menjelaskan bahwa pemerintah dan terutama Presiden Prabowo Subianto tidak menunjukkan ketertarikan lagi untuk mengembangkan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa).
BUMDes yang sudah diberikan masa inkubasi yang cukup lama memang layak untuk dievaluasi dan diberikan justifikasi. Sudah 10 tahun lebih BUMDes dibentuk dan banyak uang negara, uang rakyat yang diinvestasikan, namun dampaknya sepertinya jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan belum terlihat efektif.
Bisnis itu memang mestinya ada di masyarakat sendiri bukan dikerjakan oleh Pemerintah dalam bentuk BUMDes seperti selama ini. Sebab uang ditambah kekuasaan itu menjadi berkecenderungan bersifat koruptif dan bahkan potensi mengoposisi kepentingan warga sebagai individu. Berbeda dengan koperasi yang sifatnya otonom, demokratis, dan subsidiaritatif terhadap kepentingan masyarakat dan dikerjakan oleh masyarakat sendiri secara mandiri.
Di dalam rezim demokrasi, bisnis memang harus merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat sendiri dan dikerjakan secara bebas oleh masyarakat. Peran pemerintah terbatas pada kebijakan yang dibangun atas dasar motif untuk mengakselerasi lembaga ekonomi milik masyarakat, bukan untuk menutupnya sebagai proyek nasional pemerintah.
Rencana pemerintah untuk mengkonsolidasikan koperasi yang sudah ada dengan berikan insentif juga cara yang lebih bijak. Artinya pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan banyak biaya administrasi dan birokrasi yang berbelit.
Ide untuk mendorong bisnis Kopdes Merah Putih dalam bentuk pemberian hak privilege penyaluran barang subsidi pupuk dan gas juga bagus, sebab barang subsidi itu barang publik. Secara teori, barang publik itu memang butuh jalur distribusi khusus. Akan lebih baik lagi jika ada mekanisme pengawasan langsung dari masyarakat secara demokratis dalam model pengelolaan koperasi. Sehingga mekanisme pengawasannya menjadi efisien dan kurangi potensi moral hazard.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kopdes agar tidak mengulang kegagalan sistem Koperasi Unit Desa (KUD), maka baiknya Kopdes ini perhatikan aspek demokrasi di lembaganya. Koperasinya yang ada mesti dibangun dari atas prakarsa masyarakat sendiri dan koperasi wajib selenggarakan pendidikan kepada anggotanya tentang ideologi koperasi, manfaat, hak dan kewajiban, serta tata kelola koperasi yang demokratis. Jika tidak dilandasi dengan sistem organisasi yang kuat maka investasi apapun akan pasti menguap.
Kemampuan entrepreneurship Kopdes juga mesti dikembangkan serius dengan mensinergikannya dengan badan badan usaha milik negara (BUMN) yang relevan dengan bisnis koperasi terutama sektor ekonomi domestik pangan dan energi. Jangan sampai koperasi hanya jadi label dan sesungguhnya yang bermain adalah jaringan para pengusaha konglomerat seperti yang terjadi pada KUD di masa lalu.
Inovasi pengembangan kelembagaan koperasinya juga harus dikembangkan dengan lebih baik lagi. Model koperasi multipihak (multistakeholder cooperative) yang bisa libatkan semua pihak dan termasuk investor dari luar anggota, bahkan pemerintah akan menjadi daya akselerasi perkembangan koperasi tanpa harus merusak sistem demokrasi dan otonomi koperasi.
Pemerintah yang berpihak pada kepentingan rakyat dengan kekuatan kebijakan dan dana stimulannya, serta rakyat yang bersatu untuk jawab kebutuhan mereka, jika digabungkan maka dapat berfungsi untuk mencegah atau setidaknya mengurangi monopoli akut dari bisnis para plutokrat, atau segelintir elite konglomerat kapitalis yang terjadi saat ini.
Pelajaran Penting Masa Lalu
Tahun 1971, pernah ada Badan Usaha Unit Desa (BUUD) atau semacam BUMDes. Dibentuk sebagai proyek percontohan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terintegrasi dalam program Bimbingan Masyarakat (Bimas), bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Tujuan awal BUUD mendorong sektor pertanian di desa, terutama dalam rangka mencapai target swasembada pangan, dengan mengintegrasikan koperasi-koperasi pertanian yang sudah ada sebelumnya. Fungsi BUUD untuk menyalurkan sarana produksi pertanian dan pemasaran serta pengolahan hasil pertanian yang sebelumnya diusahakan pihak swasta dan Perusahaan Negara (PN) Pertani.
Berangkat dari kegiatan proyek percontohan di DIY ini kemudian dikembangkanlah proyek KUD yang kekuatannya lebih banyak ditopang pemerintah. BUUD kemudian diperjelas oleh pemerintah dalam konsep KUD dengan Inpres No 4/1973, di mana KUD didudukkan sebagai koperasi pertanian yang multifungsi. Meski demikian, dengan semakin menguatnya politik birokrasi pemerintahan Orde Baru, dengan Inpres No 4/1984, KUD memperoleh kedudukan tunggal di desa sebagai koperasi desa.
Proyek ini secara pragmatis memang telah berhasil mencapai target program nasional swasembada pangan yang diraih pada 1980-an. Namun, karena konsepsinya semua serba atas-bawah dan lupa membangun kelembagaan koperasi dengan benar, pada akhirnya pamor KUD turun sejak reformasi dan dicabutnya Inpres No 4/1984.
KUD yang menjadi primadona pada masa Orde Baru memang telah gagal sebagai kelembagaan. Penyebabnya, aspek otonomi organisasi kurang diperhatikan. Pemerintah lupa bahwa organisasi koperasi adalah organisasi otonom yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. Ambisi besar untuk meraih predikat swasembada pangan nasional telah menutup agenda anggota koperasi. Manfaat dari koperasi kemudian hanya dirasakan oleh segelintir elite penguasa dan pengurusnya.
Namun, diakui atau tidak, KUD setidaknya telah memberikan bentuk layanan masyarakat petani secara jelas dibandingkan dengan pada masa sekarang. Mereka masih mendapatkan kepastian tentang harga dan persediaan pupuk serta masih dapat pinjaman melalui unit simpan pinjam yang diselenggarakan KUD. Mereka masih mendapatkan bentuk-bentuk penyuluhan yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian mereka.
Saat ini, pemerintah seperti absen untuk melayani petani di desa. Bahkan, untuk mendapatkan pupuk pun banyak yang harus mencarinya dari rumah polisi yang turut diberikan otoritas untuk mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi dengan harga yang jauh melambung di atas harga seharusnya. Sementara untuk pendanaan, mereka harus menyerah kepada para pengijon.
Banyak petani yang kemudian jatuh miskin dan kehilangan motivasi. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari jumlah rata-rata kepemilikan lahan petani yang rata-rata hanya tinggal 0,23 hektar per keluarga. Jumlah petani gurem alias hanya buruh tani yang tak punya lahan juga tak sebanyak sekarang, yang jumlahnya sampai 73 persen dari jumlah petani yang ada.
Konseptualisasi Ideal KopdesPemerintah dalam Kopdes ini dinyatakan bahwa akan diberikan hak privilege untuk menyalurkan barang subsidi terutama berupa pupuk dan gas. Ditambah modal dari alokasi dana desa sebesar Rp1 miliar per desa dan ditambah skema model modal penyertaan dari pemerintah, dana bantuan sosial, hibah, dan lain-lain, maka Kopdes akan memiliki sumber permodalan yang besar untuk pengembangan usaha. Namun, agar tak mengulangi kesalahan masa lalu dari model BUUD/KUD, kita mesti memberdayakan Kopdes ini dalam kerangka pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat yang baik dengan mengedepankan partisipasi dan prakarsa masyarakat.
Mereka tidak boleh hanya jadi obyek program, tetapi harus diperkuat kapasitasnya untuk turut mengawasi berjalannya usaha dari Kopdes. Program pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang tidak bernilai ekonomis perlu jadi prioritas. Sementara pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang bernilai ekonomis dapat dilakukan oleh internal manajemen Kopdes sendiri.
Manfaat Kopdes harus dihitung dan didistribusikan secara jelas. Agar terus berkelanjutan, perlu disusun dalam pola bisnis perlindungan dana kembali (
economic patronage refund) yang berbasis partisipasi ekonomi masyarakat. Program ini dapat dijalankan seiring dengan penggunaan basis teknologi informasi desa.
Struktur organisasi KUD di masa lalu yang menunjukkan peranan kuat dari pemerintah desa harus dikurangi. Kita dapat belajar dari kesalahan pola struktur organisasi KUD masa lalu yang kuat dipengaruhi birokrasi, di mana camat atau kepala desa begitu kuat peranannya karena mereka berada di dalam struktur organisasi. Peranan pemerintah harus ditempatkan sebagai katalisator dan fasilitator agar proses persenyawaan bisnis dapat berjalan secara natural, tidak dipaksakan.
Kita dapat belajar dari keberhasilan model Koperasi Moshav, koperasi desa yang ada di Israel. Koperasi Moshav yang keanggotaannya meliputi semua warga desa ini bisa dicontoh dalam mengintegrasikan pemerintahan desa yang berfungsi sebagai layanan sosial-ekonomi dan bahkan pelayanan publik.
Dalam konteks tata kelola kita juga dapat belajar dari India. Di mana koperasi petani
Indian Farmer Fertilizer Cooperative (IFFCO) yang menjadi konglomerasi koperasi desa di India ini menjadi besar karena dukungan riil pemerintah agar petani dapat bangun dan miliki pabrik pupuk sendiri pada awalnya. Tidak seperti kita hari ini, dimana pabrik pupuk dan penyediaanya dikerjakan oleh BUMN dan swasta konglomerat.
Prakarsa masyarakat harus dihargai sebagai hal penting. Posisi mereka sebagai subyek pembangunan harus ditempatkan sebagai yang utama. Kopdes ini harus dibangun di atas pondasi demokrasi dan otonomi anggotanya.
*Penulis adalah Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)
BERITA TERKAIT: