Lafran muda yang memilih takdir profesi pendidik tunas bangsa. Sebagai ciri utama sosok pendiri HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) itu, yang jejak vibes hidupnya acap berliku.
Lafran belia pernah melakoni “tikungan” hidup zigzag: ditinggal ibu, diasuh nenek di Sipirok, dibawa kakak sulung Sitiangat ke Medan, hidup bebas di jalanan Medan dan klub motor Senen, Jakarta, bahkan sempat menjadi petinju.
Juga, jejak Lafran mengadvokasi rakyat pemotong sapi di kaki Sibualbuali yang minta bantuan hukum dari pungutan paksa pajak “darah” potong sapi oleh penguasa militer Jepang. Serdadu Jepang murka. Lafran ditahan, dihajar, diancam di bawah senjata. Lafran selamat, walau nyaris dieksekusi pedang Jepang. Vibes pro rakyat menjadi identitas Lafran!
Lafran muda tak mati nyali. Dengan gemuruh nyala semangat kembali ke Batavia lagi, dan hijrah ke Yogyakarta. Di sana dia menjadi mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa, Lafran dan kawan-kawan mendirikan HMI yang diproklamasikan pada 5 Februari 1947.
Dengan cara yang unik. Dia meminjam jam kuliah Ilmu Tafsir Husein Yahya di kampus Sekolah Tinggi Islam (STI) Jalan Surjodiningratan. HMI semula dihempang, laju berkembang dengan dua identitas asli: KeIslaman dan KeIndonesiaan.
Sejarah Indonesia melanjutkan risalahnya. Prof Lafran berlabuh indah menjadi akademisi sampai gurubesar IKIP Yogyakarta. Sebagai akademisi, Lafran sosok yang konsisten.
Prof.Lafran tegar memidatokan pembaruan konstitusi di forum terhormat: pengukuhan gurubesar IKIP Yogyakarta, 16 Juli 1970. Lafran berpidato ihwal konstitusi yang harus dijaga elan asli hidupnya. Identitas konstitusi yang tidak bisa diubah, walau konstitusi bukan tak bisa berubah.
Pembaruan konstitusi sinonim perubahan atau amandemen. Prof Lafran yang sejak muda belia menghendaki perubahan nasib bangsa. Tak seperti jalan hidupnya yang berkelok, namun Prof Lafran tetap tabah lurus sebagai akademisi yang merdeka sejak hati –meniru judul novel biografi ayahanda Lafran karya A.Fuadi (2019).
Konstitusi bisa berubah, berubah untuk perbaikan nasib rakyat dan negara. Lantas apa identitas konstitusi --yang tak boleh diubah? Berikut ini peringatan Prof Lafran.
**
Bukan di zaman reformasi yang diharap makin demokratis, namun peristiwa ini dilakoni Prof Lafran pada era digdayanya politik “UUD 1945 yang murni dan konsekuen”.
Pada 1970 Prof Lafran akhirnya bisa berpidato di mimbar akademis yang terhormat dan mulia. Pidato lugas perihal fitur penting dalam berbangsa, bernegara, dan berkonstitusi.
Peringatan Lafran ihwal identitas konstitusi, antara lain berikut ini:
“…ada hal-hal yang tidak boleh diubah.
Yang pertama-tama adalah dasar (filsafat) negara yaitu Pancasila.
Yang kedua adalah tujuan negara.
Yang ketiga adalah asas negara hukum.
Yang keempat adalah sebagai Kepemilikan rakyat.
Yang kelima adalah sebagai kesatuan.
Yang (keenam) merupakan asas republik”.
Apa akibat kalau enam hal itu diubah juga?
Masih menurut pendapat Prof. Lafran:
“…kalau salah satu hal yang saya sebut tadi diubah, maka negara ini tidak sesuai lagi dengan negara yang kita inginkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kalau dasar (filsafat) negara dan tujuan negara berubah, dapat kita mengatakan bahwa negara ini bukan lagi negara yang kita proklamirkan pada 17 Agustus 1945. Dan hal ini berlaku juga terhadap organisasi manapun juga. Tujuan dan dasar satu organisasi merupakan eksistensi organisasi itu.
Dan menurut pendapat saya, dengan berpegang teguh pada enam hal yang saya sebut tadi, yaitu hal-hal yang tidak dapat diubah, kita dapat mengadakan perubahan pada tata Negara kita”.
Konsisten pada sikap akademis mengusung pembaruan UUD 1945, butir peringatan bernyali dari pidato gurubesar Prof Lafran Pane itu telah disingkap setakat Dies Natalis ke 2 IKIP Yogyakarta, 30 Mei 1966.
Lukman Hakiem anggota DPR RI (2004-2009) menuliskan jejak pemikiran konstitusi Prof Lafran di koran
Republika (2017). Itu jejak konsistensi pemikiran konstitusionalisme Prof Laftan.
Esai ini mencoba menalar dan berusaha merisalah, bahwa sosok yang konsistensi menghendaki jodohnya: keberanian!
Majelis pembaca yang bernyali dan bersemangat. Pemikiran bernas menakwil konstitusi versi Prof Lafran itu membuktikan Lafran (dan HMI) taat asas dengan keIndonesiaan yang merdeka yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Bukan 27 Desember 1949 seperti kemauan Belanda yang bermanuver dengan jurus syarat pengakuan kedaulatan.
Belanda tak rela Indonesia merdeka dengan caranya. Karena itu jangan mempertanyakan jiwa kebangsaan Prof Lafran, pun kader-kadernya. Yang bernyali pada perjuangan dan mewariskan patriotisme konstitusi yang memerdekakan sejak hati yang kudu lekat pada kedua aras ini: pikiran dan tindakan.
Sebagai tambahan informasi. Pernah, penggagas dan pendiri HMI itu tak mabuk jabatan. Justru, demi kemajuan HMI Lafran Pane mencopot dirinya sendiri dari orang nomor satu HMI dan rela mewakafkan jabatan Ketua Umum PB HMI. Lafran legowo dan gayeng hanya menjadi staf ketua bahkan hanya Sekretaris 2 di bawah Ketua Umum Muhammad Syafaat Mintareja (1947-1948).
Saya mencoba-coba merisalah monumen pemikiran konstitusional Prof Lafran. Kua-akademis keenam pokok konstitusi yang tidak hendak diubah itu yang kemudian saya kenali dalam literatur ilmu hukum konstitusi dengan konsepsi: Identitas Konstitusi (Constitutional Identity).
Konsepsi Identitas Konstitusi itu kini berkembang khazanah pustakanya.
Saya meneroka beberapa literatur Identitas Konstitusi. Buku baru dari Prof Jimly Asshiddiqie mengambil titel "Pancasila Identitas Konstitusi Berbangsa dan Bernegara" (2020). Pan Mohammad Paiz yang menulis buku amandemen konstitusi dalam komparasi yang juga mengulas Identitasi Konstitusi.
Konstitusi semestinya luwes wawasan zaman. Konstitusi bisa diubah, namun (ini teramat penting!) Pan M. Paiz menyebut istilah “fitur-fitur dasar” (
basic features) konstitusi yang tidak bisa diubah. Termasuk tumbuh rindang pohon HAM sebagai konstitusi yang hidup (
living constitution).
Dari Paiz ada 11 fitur utama UUD 1945, 5 di antaranya: (1) pembukaan UUD 1945, (2) negara yang berdaulat dan demokratis, (7) negara hukum dan pengujian UU, (9) esensi perlindungan HAM, kesejahteraan, (10) konsep negara kesejahteraan.
Pakar hukum konstitusi lain seperti Michael Rosenfeld menyebut Identitas Konstitusi sebagai fitur aktual dan ketentuan khusus konstitusi. Hukum konstitusi di India menyebutnya dengan frasa “doktrin struktur dasar”.
**
Menjaga fitur utama konstitusi berbangsa dan bernegara diajarkan Prof Lafran. Dia juga mengajarkan cara menjaga perubahan dengan merawat keberanian yang konstitusional-prosedural. Yang berguna bak katup pengaman gejolak rakyat dan juga kanalisasi kehendak membuat permulaan segar (
desire to make a fresh start), meminjam frasa K.C.Wheare dalam ‘Modern Constitution’ (1996).
Prof Lafran tegak di depan monumen sejarah pemikiran konstitusi. Dia pemberani yang memidatokan perubahan UUD 1945, dan mengusung Identitas Konstitusi –fitur dasar yang tak hendak diubah. Lebih awal dari jamak ulasan bertema Identitas Konstitusi: ‘Constitutional Identity’ (2006) dari Gary Jeffrey Jacobshon, ‘Constitutional Identity’ dari Michael Rosenfeld (2012), juga ‘How Do Constitutions Constitutional Identity’ dari Mark Tushnet (2010).
Namun saya belum menemukan pidato gurubesar Prof Lafran pada 16 Juli 1970 itu belum masuk fitur utama dalam daftar pustaka jamak buku ilmu hukum konstitusi. Namun butir mutiara pikiran Prof Lafran itu sekufu mutu dengan gagasan konstitusionalisme (
constitutionalism), yang dengan berani memidatokan gagasan amandemen konstitusi dan menjaga Identitas Konstitusi UUD 1945.
Mantan anggota DPA RI yang lebih suka sebagai pendidik itu, lugas kepada 6 struktur dan fitur utama UUD 1945 ke dalam Identitas Konstitusi yang tak hendak diubah. Dari sosok konsisten loyal kepada Negara Indonesia dari Proklamasi 17 Agustus 1945, saya menemukan monumen ajaran teladan dari Prof Lafran.
Saya semakin bersyukur dan ikhlas sebagai Lafranian, anak ideologis dan kader HMI dari sang pahlawan nasional, walau HMI sengaja tidak melekatkan diksi Indonesia di belakangnya, namun ajaran Lafran sangat Indonesiawi.
Walau mengaku sulit berorasi, namun Prof Lafran terbukti berciri pemberani sang patriot konstitusi: UUD 1945. Narasi Lafran sosok yang lahir “tak lengkap”, karena apa? Sebab Lafran tidak punya rasa takut –seperti dicuplik novel A.Fuadi. Itu mengabadikan nasihat betapa penting patriotisme konstitusional (
constitutional patriotism, meminjam frasa Mark Tushnet).
Saya bangga pada Prof Lafran yang berani menjaga Proklamasi 17 Agustus 1945 dan menghidupkan konstitusi –yang difiturkan merdeka sejak hati. Analog dengan sikap tegak lurus pada: Indonesia Merdeka 100 persen secara murni dan konsekuen.
Jika mencuplik pendapat Patrick Henry menjadi kalimat positif, hemat patik bahwa konstitusi itu perkakas rakyat membatasi kekuasaan pemerintah –dari keburukan absolutisme. Bukan perkakas pemerintah membatasi kedaulatan rakyat, pun demikian alih-alih mencederai kesejahteraan rakyat.
Analog itu, ajakan untuk berani berkonstitusi berarti berjihad untuk tidak membatasi jalan-jalan mulia kepada kesejahteraan rakyat: perumahan yang layak, terjangkau layanan kesehatan rakyat, pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa, rindang pohon HAM yang bertumbuh dan berkembang, anak-anak Indonesia bahagia untuk semua yang bebas sergapan prevalensi stunting; untuk menyebut beberapa daftar agenda menghidup-hidupkan konstitusi. Itu adalah kausal konstitusional yang halal.
Sudahkah kita meresapi nyali ayahanda Lafran sang patriot konstitusi, mulai dengan cara sederhana berani angkat pena, angkat suara, angkat kamera, angkat akal mulia-berguna; menyokong asa memerdekakan rakyat dari kemiskinan menjadi kesejahteraan, tanpa pagar!
Dengan pemimpin nasional yang konstitusional, yang menghendaki rakyat yang tersenyum. Bukankah maju sejahtera adalah alasan mengapa kita bernegara. Bahagia HMI. Tahniah. Tabik.
* Penulis adalah seorang Advokat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Alumni HMI Cabang Medan
BERITA TERKAIT: