Konflik Agraria Pulau Rempang dan PSN dalam Perspektif Konstitusi

OLEH: PRIHATIN KUSDINI

Selasa, 31 Desember 2024, 21:19 WIB
Konflik Agraria Pulau Rempang dan PSN dalam Perspektif Konstitusi
Konflik Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Rempang/Ist
INDONESIA adalah sistem kenegaraan berdasarkan hukum berkeadilan dan tersusun dalam satu konstitusi, di mana seluruh orang-orang di dalam negara baik itu yang memerintah maupun diperintah harus tunduk pada hukum yang sama.

Menurut Cicero, ”ubi societasibi ius”, ada masyarakat ada hukum, di dalam masyarakat banyak keinginan beragam. Oleh sebab itu mereka sepakat mengatur, menciptakan kondisi seimbang. Kesepakatan di antara mereka dinamakan norma, norma sosial, norma kesusilaan, dan norma negara atau norma hukum.

Setiap negara mengakomodir keadilan dalam prinsip perikehidupan bagi norma dan peraturan perundang-undangan di wilayah kehidupan negara yang dibatasi oleh teritorial suatu negara dengan negara lain.

Kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan satu prinsip distribusi kekuasaan sehingga tidak bisa bertindak sewenang-wenang dan melanggar hak-hak rakyat, sementara rakyat diberi peran sesuai kemampuan secara demokratis. Indonesia negara hukum berdasarkan Pancasila memiliki alasan filosofis mengakui keberagaman masyarakat Indonsia, mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan agama, menjaga keseimbangan antara individu dan masyarakat, mengutamakan keadilan sosial dan kesetaraan.

Alasan menghindari pengaruh kolonialisme dan imperialisme, membangun identitas nasional, mengakui perjuangan kemerdekaan dan membentuk negara yang berdaulat. Alasan politis Pancasila membangun demokrasi yang stabil, mengutamakan kepentingan nasional dan meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarat dalam membangun.

Alasan sosial dari Pancasila mengakui hak-hak asasi manusia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membangun masyarakat yang harmonis, prinsip prinsip Pancasila berdasarkan lima sila serta implementasi mengintegrasikan nila-nilai Pancasila dalam pendidikan, mengembangkan kebijakan publik yang berbasis Pancasila, meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dan mengembangkan hak hak azasi manusia.

Fenomena saat ini adalah konflik agraria yang sering terjadi di Indonesia karena terjadi beberapa faktor seperti terjadi perampasan tanah, sengketa lahan dan perbedaan kepentingan antara masyarakat lokal dan pihak pengembang. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebanyak 660 konflik agrarian yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2020-2023.

Pada tahun 2023, sebanyak 241 kasus konflik agraria, melibatkan 135.608 kepala keluarga (KK) di 346 desa dengan luas lahan mencapai 638.188 hektare.

Penulis akan membahas kajian kasus tanah Pulau Rempang amanah konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 memiliki sejarah penting dalam perkembangan ekonomi politik Indonesia dilatarbelakangi kolonialisme Belanda dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 ini yang mendorong demokrasi ekonomi, mengatur peran negara dalam ekonomi dan melindungi hak-hak rakyat atas sumber daya alam serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya keadilan sosial.

Pada Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan ayat 3 menjelaskan bahwa, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tujuan dari pasal ini adalah untuk melindungi kepentingan rakyat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kedaulatan Negara.

Pulau Rempang letaknya sangat strategis dan memiliki potensi ekonomi besar, sehingga menjadi rebutan antara pihak-pihak berkepentingan. Lokasi yang sangat strategis di Selat Singapura, dekat dengan pelabuhan Singapura dan Malaysia, akses mudah jalur perdagangan internasional dan luas wilayah yang cukup besar 16.583 hektare dan memiliki potensi ekonomi pariwisata dengan pantai-pantai yang indah dan potensi wisata bahari.

Lokasi ideal untuk membangun kawasan industri seperti pelabuhan, logistik dan manufaktur, akses mudah ke pasar internasional, potensi lainnya pertanian dan perikanan. Infrastruktur Pulau Rempang Jembatan Barelang menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Batam dan Pulau Galang, akses mudah Bandara Internasional Hang Nadim Batam, dan Jaringan transportasi laut yang baik.

Kelebihan lain Pulau Rempang sumber daya alam yang melimpah minyak, gas dan mineral, potensi menjadi pusat logistik dan distribusi, dekat dengan zona ekonomi khusus Batam.

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki daerah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, yang berhak menurut hukum privat dan berwenang menurut hukum publik serta berkewajiban mengatur membuat peraturan-peraturan dan mengurus administrasi, manajemen, sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Pengelolaan rumah tangganya sendiri suatu pengertian hukum perlu ditegaskan dan dipahami. Menurut Teori Substansial (teori otonomi materiil) mengatakan bahwa rumah tangga adalah sesuatu yang tertinggal dan tersisa dan belum menjadi tugas dan kewajiban urusan daerah otonom yang lebih tinggi, atau negara (pemerintah pusat).

Kebijakan pemerintah Indonesia menetapkan Pulau Rempang sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berdasarkan Instruksi Presiden tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 28/1992, dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 19 Juni 1992, menetapkan wilayah lingkungan kerja daerah Industri Pulau Batam, Pulau Rempang, dan Pulau Galang sebagai kawasan Industri, untuk mengembangkan wilayah ini.

Sebagai pusat ekonomi dan industri, dukungan infrastruktur dan fasilitas dari pemerintah, karena kestrategisan dan potensi ekonominya Pulau Rempang menjadi rebutan antara, Pemeritah Indonesia, pengembang swasta (PT Makmur Elok Graha), masyarakat adat Rempang, investor domestik dan asing.

Prinsip otonomi daerah adalah nyata dan bertanggung jawab, nyata dalam arti pemberian otonomi pada daerah harus didasarkan pada faktor perhitungan, tindakkan dan kebijaksanaan yang benar-benar menjamin daerah tersebut secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri, bertanggung jawab dengan tujuan melancarkan pembangunan sampai ke seluruh pelosok negara yang serasi tidak bertentangan dengan pengarahan yang telah diberikan serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Perebutan Pulau Rempang

Perebutan Pulau Rempang melibatkan beberapa pihak dengan klaim kepemilikan yang berbeda-beda. Berikut adalah ringkasan hukum dan klaim kepemilikan:

Klaim Kepemilikan

1. Masyarakat Adat Rempang mengklaim kepemilikan berdasarkan hak ulayat (hak tradisional) yang telah dimiliki selama berabad-abad.
2. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mengklaim kepemilikan berdasarkan UU 18/2001 tentang Otonomi Daerah.
3. Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) mengklaim kepemilikan berdasarkan Keputusan Presiden 28/1992 tentang Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Industri Batam.
4. Pemerintah Pusat mengklaim kepemilikan berdasarkan UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Dasar Hukum

1. UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. UU 18/2001 tentang Otonomi Daerah.
3. Keputusan Presiden 28/1992 tentang Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Industri Batam.
4. Peraturan Pemerintah 18/2021 tentang Pemilikan dan Penggunaan Tanah.

Putusan Pengadilan

1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Batam No. 25/G/2003/PTUN- BTM, membatalkan keputusan BP Batam mengenai pengambilalihan tanah masyarakat adat.
2. Putusan Mahkamah Agung No. 355 K/SIP/2004, memperkuat putusan PTUN Batam.

Sejarah Pulau Rempang

Pulau Rempang merupakan salah satu pulau di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau, yang memiliki luas wilayah sekitar 16.583 hektare. Pulau ini berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam dan terhubung dengan Pulau Batam dan Pulau Galang melalui Jembatan Barelang.

Menurut sejarahnya Pulau Rempang telah di huni oleh Masyarakat lokal dan pendatang jauh sebelum terbentuknya Badan Pengusahaan(BP) Batam pada Tahun 1971. Masyarakat asli Pulau rempang adalah suku Melayu yang berasal dari Kerajaan Melayu Riau. Pada tahun 1784, Belanda mengalahkan Sultan Mahmud Riayat Syah III dan menguasai wilayah Kerajaan, termasuk Pulau Rempang.

Pulau rempang menjadi pusat perlawanan rakyat melayu terhadap belanda. Pada tahun 1922 Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau di sektarnya menjadi bagian dari wilayah Pulau Batam berdasarkan Kepres No 28 Tanggal 29 Juni 19924. Data dari BP Batam Pulau Rempang memiliki Populasi penduduk sebanyak 7.512 jiwa tersebar di area seluas 1.583 hektare, awalnya Pulau Rempang bagian dari Provinsi Riau setelah turun Keppres 28/1992 Wilayah Kerja Otorita Batam diperluas mencakup Pulau Batam, Pulau Rempang, dan Puau Galang, Pulau Cantik ini menjadi perhatian pemerintah setelah ditetapkan industri di Pulau Rempang menjadi PSN. 

Pulau Rempang, yang berlokasi di Kepulauan Riau, telah mengalami berbagai perubahan dan konflik setelah ditunjuk sebagai PSN Rempang Eco-city. Berikut beberapa peristiwa yang terjadi:

Konflik Kepemilikan Tanah
a. Masyarakat adat Rempang merasa hak-hak mereka atas tanah tidak dihormati dan dilindungi.
b. Terjadi konflik antara masyarakat adat dan pemerintah serta pengembang proyek.

Kekerasan dan Intimidasi
a. Masyarakat Rempang mengalami kekerasan dan intimidasi dari kelompok-kelompok yang diduga terkait dengan pengembang proyek.
b. Beberapa warga mengalami luka-luka dan kerusakan properti.

Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "Pembangunan ekonomi harus berdasarkan demokrasi ekonomi", kemudian Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 menjelaskan bahwa: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Jaminan Konstitusi atas Hak Rayat

1. Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.
2. Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 menjamin hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas kehidupan yang layak dan hak atas lingkungan hidup yang baik.
3. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konflik kasus Rempang merupakan konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah dan PT Makmur Elok Graha yang terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat tentang status tanah di Pulau Rempang. Masyarakat adat menganggap tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan, sedangkan pemerintah dan PT Makmur Elok Graha berpendapat bahwa tanah tersebut telah diberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan tersebut.

Konflik ini memunculkan beberapa isu, hak Tanah  Konflik antara hak tanah masyarakat adat dan hak guna usaha yang diberikan kepada PT Makmur Elok Graha, Hak Asasi Manusia pelanggaran hak asasi manusia masyarakat adat yang merasa tidak adil dan diganggu. Kepentingan pemerintah untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura melalui pembangunan kawasan industri di Pulau Rempang.
 
Latar Belakang Konflik

Pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan HGU kepada PT Makmur Elok Graha atas tanah di Batam. Masyarakat adat telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun dan menganggap tanah tersebut sebagai milik mereka. Batas-batas pengelolaan tanah oleh BP Batam dan tanah adat milik masyarakat tidak diuraikan secara jelas, menimbulkan tumpang tindih penguasaan tanah.

Upaya penyelesaian pemerintah perlu menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan untuk menyelesaikan konflik ini. Pengakuan hak-hak masyarakat adat dan tanah ulayat menjadi krusial untuk menemui titik terang dari konflik Rempang. Perlu adanya dialog antara pemerintah, masyarakat adat, dan PT Makmur Elok Graha untuk menemukan solusi yang tepat.

Teori Kekuasaan Michael Foucault (1926-1984) seorang filsuf Perancis yang mengembangkan teori kekuasaan yang kompleks dan mendalam menyatakan Kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh negara atau elit, tetapi tersebar di seluruh masyarakat. Kekuasaan memiliki hubungan antara individu, kelompok, dan institusi. Kekuasaan sebagai pengetahuan dan informasi dapat menjadi alat kekuasaan. Kekuasaan dapat mengontrol perilaku dan pikiran individu.

Dalam analisis Pulau Rempang kekuasaan pemerintah dan pengembang proyek PSN Rempang Eco-city mempengaruhi masyarakat lokal. Kekuasaan tersebut mengontrol akses ke tanah, sumber daya, dan informasi. Masyarakat lokal resistensi terhadap kekuasaan tersebut dengan mempertahankan hak-hak mereka.

Menurut Teori partisipasi yang dikembangkan oleh Arnstein,S.R (1969) A Ladder of Citizen Participation dan Pretty, J.N (1995) Participatory learning Action, menjelaskan bagaimana masyarakat terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan pembangunan. Partisipasi sebagai hak masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Kekuatan partisipasi masyarakat dapat memengaruhi kebijakan dan keputusan.

Partisipasi sebagai proses, partisipasi melibatkan dialog, musyawarah, dan kerjasama antara pihak-pihak terkait. Dalam konteks Pulau Rempang, masyarakat lokal menuntut partisipasi dalam proses pengambilan keputusan tentang proyek PSN Rempang Eco-city. Masyarakat ingin dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan proyek. Partisipasi masyarakat dapat membantu mengurangi konflik dan meningkatkan keadilan sosial.

Kaitan antara Teori Kekuasaan Foucault dan Teori Partisipasi dalam kasus Pulau Rempang, kekuasaan pemerintah dan pengembang proyek membatasi partisipasi masyarakat lokal. Masyarakat resistensi terhadap kekuasaan tersebut dengan menuntut partisipasi dan hak-hak mereka. Partisipasi masyarakat dapat membantu mengurangi ketidaksetaraan kekuasaan dan meningkatkan keadilan sosial.

Menurut Konstitusi UUD 1945 tidak dibenarkan menyingkirkan menyingkirkan kepentingan masyarakat Rempang untuk kepentingan pengusaha. Pasal 18B Ayat
(2) UUD 1945 Mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat. Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945: Menjamin hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas kehidupan yang layak. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.

Pemerintah harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat Rempang dan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak-hak mereka. Masyarakat memiliki hak untuk:

1. Diinformasikan dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
2. Mengajukan keberatan dan gugatan.
3. Menerima kompensasi yang adil.

Keadilan bagi masyarakat rempang sampai saat ini masih menjadi perdebatan karena keadilan belum tercapai pengakuan hak ulayat, kompensasi yang belum sesuai dengan nilai tanah dan kerugian yang dialami, partisipasi pengambilan keputusan masyarakat ingin dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tentang proyek-proyek yang memengaruhi hidup mereka, dan perlindungan lingkungan masyarakat khawatir tentang dampak proyek-proyek terhadap lingkungan dan sumber daya alaam.

Upaya menuju keadilan yang dilakukan masyarakat Rempang telah mengajukan gugatan hukum terhadap pemerintah dan pengembang proyek. Advokasi organisasi masyarakat sipil dan LSM mendukung perjuangan masyarakat Rempang. Dialog dengan pemerintah Masyarakat Rempang berdialog dengan pemerintah untuk mencapai kesepakatan Pengembangan alternatif masyarakat Rempang mengembangkan alternatif pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis komunitas.

Kebijakan Pemerintah

1. Peraturan Pemerintah 18/2021 mengatur tentang pemilikan dan penggunaan tanah.
2. UU 5/1960 mengatur tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria.
3. Kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang Mengatur tentang pengakuan hak ulayat dan perlindungan lingkungan.

Kesimpulan Kasus Kasus Rempang

Aspek Hukum
1. Konflik kepemilikan tanah antara masyarakat adat dan pemerintah.
2. Pengakuan hak ulayat masyarakat adat Rempang belum terwujud.
3. Peraturan pemerintah tentang penggunaan tanah dan sumber daya alam tidak jelas.

Tindakan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah No. 18/2021 tentang pemilikan dan penggunaan tanah.
2. Kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
3. Pengembangan alternatif pembangunan berkelanjutan terjadi intimidasi dalam kasus Kasus Masyarakat Rempang

Intimidasi Fisik dan Psikologis
1. Kekerasan terhadap masyarakat yang menolak proyek pembangunan.
2. Ancaman dan pelecehan terhadap aktivis dan pemimpin masyarakat.
3. Penangkapan dan penahanan tanpa alasan yang jelas.
4. Penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan.

Intimidasi Ekonomi
1. Pemutusan hubungan kerja bagi yang menolak proyek.
2. Penghentian bantuan ekonomi bagi masyarakat yang menolak proyek.
3. Tekanan untuk menjual tanah dengan harga rendah.

Intimidasi Hukum
1. Gugatan hukum palsu terhadap masyarakat.
2. Penggunaan pasal-pasal kriminal untuk menghentikan protes.
3. Penundaan proses hukum bagi masyarakat yang menggugat.

Pelaku Intimidas
1. Aparat keamanan (polisi dan tentara).
2. Pengembang proyek.
3. Pejabat pemerintah lokal dan nasional.
4. Kelompok-kelompok yang diduga terkait dengan pengembang.
 
Berdasarkan Kajian Filosofi Pancasila dalam kasus Rempang, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengakui keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan pengatur hukum alam.

Aplikasi: menghormati kepercayaan dan tradisi masyarakat Rempang.

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengakui hak dan martabat manusia. Aplikasi menghormati hak-hak masyarakat Rempang atas tanah ulayat dan sumber daya alam. Persatuan Indonesia mengakui kesatuan dan kebersamaan bangsa. Aplikasi meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan mengakui peran rakyat dalam pengambilan keputusan. Aplikasi melibatkan masyarakat Rempang dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengakui hak setiap warga negara atas keadilan sosial. Aplikasi menjamin pembagian manfaat pembangunan secara adil dan merata. rmol news logo article

Penulis adalah Ketua Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPP PERHAKHI
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA