Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jangan Sampai Bulog Memusuhi Petani!

OLEH: ENTANG SASTRAATMADJA

Rabu, 18 Desember 2024, 04:59 WIB
Jangan Sampai Bulog Memusuhi Petani<i>!</i>
Ilustrasi/Net
SAAT kelahirannya, Bulog merupakan akronim dari Badan Urusan Logistik. Pengertian ini melekat erat dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Pemahaman ini hilang setelah Bulog dipaksa untuk berubah menjadi BUMN dengan nama Perum Bulog. 

Sejak itu Bulog tidak lagi dimaknai sebagai Badan Urusan Logistik, tapi hanya sebuah ikon saja. Sama dengan BUMN-BUMN lainnya.

Sudah 21 tahun Perum Bulog berkiprah di Tanah Merdeka. Selama jadi BUMN, Bulog seolah-olah terjebak dalam dua peran dan fungsi yang diembannya, untuk dapat berjalan berbarengan. Sayang, dalam perkembangannya, kedua peran dan fungsi tersebut, belum dapat digarap dengan maksimal. Perum Bulog lebih berkiprah nyata dalam melakukan fungsi sosial, ketimbang mengembangkan fungsi bisnisnya.

Akibatnya, harapan besar Perum Bulog untuk mampu menampilkan diri sebagai Lembaga Bisnis Pangan Raksasa, sepertinya sangat sulit untuk diwujudkan. 

Perum Bulog lebih banyak melaksanakan penugasan Pemerintah dalam hal pengejawantahan fungsi sosial (social responsibility), seperti pelaksanaan Program Bantuan Langsung Beras, yang dalam kehidupan masyarakat dikenal dengan istilah "bansos beras".

Selain itu, Perum Bulog juga dikenal sangat piawai dalam menyelenggarakan impor beras. Bagi Perum Bulog, menyelenggarakan perencanaan dan pelaksanaan impor beras sebesar 5 juta ton merupakan hal yang tidak terlalu sulit untuk digarap. Bahkan jika harus lebih dari angka 5 juta ton beras pun, Perum Bulog siap untuk melakukan impor beras.

Sejarah perjalanan Bulog sejak 10 Mei 1967 dan Perum Bulog sejak 21 Januari 2003, selalu merujuk kepada satu kesimpulan, Bulog atau Perum Bulog senantiasa tampil sebagai "sahabat  petani". Walau belum optimal dalam penerapannya, Bulog atau Perum Bulog telah mengawal kebijakan Harga Dasar dan Harga Atap juga Harga Pembelian Pemerintah, sebagai instrumen harga yang melindungi harga jual gabah/beras ditingkat petani.

Kebijakan harga Pemerintah yang ditetapkan untuk gabah dan beras, pada dasarnya ingin memberikan perlindungan terhadap petani sebagai produsen dan masyarakat selaku konsumen secara bersamaan. Sayang, harapan ini susah diwujudkan. Penetapan harga gabah dan harga beras yang menguntungkan petani dan tidak memberatkan konsumen, adanya di atas kertas. 

Bulog atau Perum Bulog, sebetulnya dilahirkan untuk tampil sebagai lembaga parastatal, yang salah satu semangatnya melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap petani dan konsumen. Pada zaman Bulog dulu, harga dasar dirumuskan untuk membela petani sekiranya ada oknum yang ingin menekan harga di petani. Harga atap digunakan untuk membela konsumen jika harga membumbung sangat tinggi sekaligus sinyal untuk menggelar operasi pasar.

Bulog mestinya tetap jadi "alat negara". Bulog jangan dipaksa untuk jadi Perum Bulog. Ini berarti, kemauan IMF yang mendikte Pemerintah di era reformasi, sebaiknya kita sudahi dan kembalikan Bulog sesuai dengan sejarah kelahirannya. Sekarang, saat yang tepat bagi bangsa ini memperlihatkan kemandirian dan keperkasaannya menjadi bangsa yang merdeka.

Presiden Prabowo sendiri sering menyatakan agar kita jangan pernah mau menjadi kacung bangsa lain. Kita harus mampu berdiri tegak di atas tanahnya sendiri. Itu sebabnya, menjadi sangat masuk akal, jika Kabinet Merah Putih bentukan Presiden Prabowo telah menempatkan pencapaian swasembada pangan sebagai salah satu program prioritas yang mesti diraihnya.

Swasembada pangan dicirikan dengan melimpah ruahnya produksi pangan yang dihasilkan oleh para petani di dalam negeri. Swasembada pangan menggambarkan hasil produksi dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Akan lebih afdol, jika seiring dengan dicapainya swasembada pangan, maka kita pun mampu menyetop impor pangan.

Atas gambaran demikian, maka swasembada pangan merupakan kata kunci terciptanya ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan yang berkualitas. Inilah salah satu pertimbangan, mengapa segenap komponen bangsa, berkewajiban untuk ikut terlibat dalam mensukseskan tercapainya swasembada pangan dan mengemasnya lewat sebuah gerakan.

Setelah produksi melimpah, tugas selanjutnya adalah bagaimana menciptakan harga pangan yang wajar, khususnya untuk komoditas beras. Di mana bagi bangsa kita, beras merupakan komoditas politis dan strategis. Beras juga merupakan sumber kehidupan dan sumber penghidupan sebagian besar masyarakat.

Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan meroketnya harga beras. Beberapa pihak menuding, kenaikan harga beras di pasar, dinilai cukup ugal-ugalan. Pemerintah sendiri seperti yang kewalahan menghadapinya. Berbagai upaya dan langkah telah ditempuh. Ironisnya, seiring dengan banyaknya kebijakan yang diterapkan, harga beras di pasar, tetap bertengger di tingkat harga yang tinggi.

Dihadapkan pada suasana yang seperti ini, harusnya Bulog tampil sebagai solusi cerdas. Bulog perlu bersinergi dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan sektor perberasan untuk melahirkan program dan kegiatan yang benar-benar mampu melindungi petani dan masyarakat atas harga gabah dan harga beras, yang kerap kali jadi permainan oknum-oknum tertentu.

Bulog adalah sahabat sejati petani. Bulog jangan sampai jadi musuh petani, karena boleh jadi Bulog melakukan kemitraan dengan mitra kerjanya, guna menekan harga serendah mungkin. Ini yang tidak betul. 

Sebagai alat negara, yang perlu dilakukan Bulog adalah memberi pelayanan terbaik bagi petani dan masyarakat. Bulog bersama petani harus tetap menjalin persahabatan yang abadi. rmol news logo article

Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
EDITOR: AGUS DWI

< SEBELUMNYA

Algoritmokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA