Peristiwa ini terjadi pada masa Pilkada Jakarta yang mempertemukan dua sosok fenomenal: Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan. Sial bagi Ahok, mulutnya tak kalah fenomenal dibanding kepemimpinannya. Orang Jakarta bilang, “Bacotnya ember.” Entah itu memarahi pegawai, menuding lawan politik, atau memberi ceramah spontan soal ayat suci Al-Qur’an, semuanya dilakukan tanpa rem. Ibarat pengemudi ugal-ugalan di jalan tol, cepat sampai ke tujuan, tapi juga rawan kecelakaan.
Aksi 212 yang digelar pada 2 Desember 2016 di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, dihadiri oleh massa yang diperkirakan mencapai jutaan orang. Meskipun sulit untuk mendapatkan angka pasti, berbagai laporan menyebutkan jumlah peserta berkisar antara 2 hingga 7 juta orang. Aksi ini ditandai dengan lautan manusia berpakaian putih yang memenuhi Monas dan sekitarnya, bahkan meluber hingga jalan-jalan di sekitar lokasi aksi. Acara demo diisi zikir, doa, dan seruan damai dari peserta.
Aksi tersebut berpusat pada kritik terhadap pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dinilai menghina Surat Al-Maidah ayat 51. Dalam pidatonya, Ahok menyebutkan, “Jangan mau dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51...” yang dianggap oleh sebagian pihak sebagai bentuk penistaan agama. Ayat tersebut berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin bagi umat Islam. Kontroversi ini memicu gelombang protes besar, termasuk aksi damai 212.
Ketika Ahok mengutip ayat Al-Qur’an secara serampangan, dia bukan hanya melukai hati umat Islam, tetapi juga membuka pintu bagi kritik tajam dan gelombang kemarahan. Demo 212 pun lahir, bukan sekadar sebagai ajang protes, tetapi juga menjadi simbol bagi banyak orang yang merasa bahwa pemimpin harus berhati-hati dalam bertutur. Bukannya tidak boleh tegas, tetapi tegas tanpa bijak hanyalah keberingasan.
Ahok kemudian harus menghadapi pengadilan. Tuduhan penistaan agama terbukti, dan ia pun dipenjara. Sementara itu, Anies Baswedan memenangkan Pilkada Jakarta, mengemban harapan baru. Sebagai gubernur, ia menunjukkan bahwa komunikasi yang baik tidak hanya soal menyenangkan hati orang banyak, tetapi juga soal menyampaikan gagasan dengan jelas, tanpa melukai.
Refleksi dari peristiwa ini mengajarkan bahwa pemimpin yang kuat bukanlah pemimpin yang hanya keras, tetapi yang mampu menjaga keseimbangan antara ketegasan dan kebijaksanaan. Seorang pemimpin yang baik harus seperti seorang dirigen dalam orkestra besar: memahami kapan waktunya meninggikan nada, kapan harus melembutkan, dan kapan diam adalah pilihan terbaik.
Lebih jauh, peristiwa 212 menunjukkan betapa komunikasi yang buruk dapat menghancurkan reputasi sebaik apa pun. Ahok adalah seorang pekerja keras, tapi cara komunikasinya menjadi penghalang terbesar. “Bacot ember” itu membuat banyak orang lupa pada capaian-capaian positifnya sebagai gubernur pengganti Joko Widodo. Di sisi lain, Anies, dengan gaya komunikasi yang cenderung halus dan diplomatis, berhasil merangkul banyak pihak dan menciptakan narasi positif.
Kini, 212 bukan hanya soal demo. Nama ini diabadikan dalam berbagai bisnis, dari kafe, minimarket, hingga label produk. Tapi, seperti banyak orang tahu, bisnis dan demonstrasi adalah dua dunia yang berbeda. Mengelola bisnis butuh strategi, sementara demo 212 lahir dari dorongan emosional kolektif yang luar biasa. Tidak semua "brand" mampu meniru semangat yang sama.
Namun, satu hal yang jelas: 212 adalah monumen peringatan bahwa pemimpin harus mampu menjaga tutur kata. Demokrasi Indonesia tidak butuh gladiator dengan pedang tajam, melainkan pemimpin yang mampu mengayomi dengan hati yang lapang dan pikiran yang bijak. Di era digital ini, di mana kata-kata bisa menjadi senjata paling mematikan, pelajaran ini semakin relevan. Sebab, seperti kata orang Jakarta, “Kita harus bisa menjaga bacot.”
BERITA TERKAIT: