Masalahnya, hukum apa yang dilawan oleh tergugat dan kenapa serta bagaimana hal itu menimbulkan kerugian.
Sejak Presiden Joko Widodo meluncurkan proyek strategis nasional (PSN), paling tidak terdapat lima masalah.
Pertama, apa ukuran strategisnya proyek tersebut. Pemerintah biasanya menjawab bahwa proyek dan wujud operasionalnya akan menyerap lapangan kerja, mengembangkan perekonomian, menjawab kebutuhan atas dinamika sosial ekonomi.
Jawaban ini menjadi bias saat PSN dirancang, didanai, dioperasikan oleh korporasi swasta. Karena di balik PSN itu terkandung muatan hajat hidup orang banyak. Melepaskan PSN kepada dominasi korporasi swasta (domestik atau asing) sama dengan memberi ruang besar kepada swasta untuk melakukan kudeta ekonomi politik. Inilah yang disebut kudeta korporasi. Dengan prinsip pasar bebasnya, pemerintah dibuat sebagai bebek lumpuh atas kebutuhan modal finansial.
Kedua, persoalan utama atas PSN adalah tata ruang nasional, tata ruang provinsi dan semua rangkaian hukum tata ruang yang merupakan hajat hidup orang banyak. Saya teringat saat diamanahkan Menteri Agraria pada 1998 untuk ”bercengkerama” dengan tim dari Bappenas dalam masalah kewenangan atas UU 24/1992 tentang Tata Ruang. Saat itu memang berlaku UU 24/1992, bukan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Saya berpijak pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sehingga saya berpendapat bahwa Tata Ruang adalah hajat hidup orang. Atas dasar itu, pemerintahan berkewajiban menihilkan atau meminimalkan invasi dan intervensi pihak swasta dalam merancang, melaksanakan dan mengawasi serta mengevaluasi tata ruang. Maka memberi porsi swasta lebih besar dalam PSN sama dengan melanggar amanah UUD 1945 dan tegaknya UU.
Ketiga, menurut UU No. 26/2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Karena pengertian ini, maka pengadaan atas tanah pada suatu PSN harus mempertimbangkan kelangsungan hidup penduduk atau masyarakat yang tanahnya atau airnya untuk proyek tersebut. Maka pembebasan atas tanah bukan sekadar pada masalah nilai jual obyek pajak (NJOP), tapi juga masalah hak mendasar dari masyarakat yang tanahnya dibeli atau digusur. Artinya, harga tanah itu tidak sekadar dipatok menurut NJOP atau menurut harga pasar, atau kombinasi dari keduanya menurut taksasi yang akuntabel, namun pemilik tanah pun jika melepas haknya patut dipertimbangkan kelangsungan hidupnya. Maka konsepnya adalah
resettlement, yakni konsep yang memberi untung atas kepemilikan tanah sehingga tidak terjadi proses pemiskinan struktural dan melahirkan kesenjangan sosial ekonomi. Artinya rakyat dilibatkan sebagai pekerja juga sebagai pemegang saham karena kepemilikan tanahnya. Jika rakyat lebih memilih dijual lepas, transaksi pun dilakukan.
Keempat, dengan memperhatikan lokasi dan posisi, maka tata ruang PSN memiliki kewajiban mempertimbangkan
connectivity war. Pertimbangan ini menyangkut masalah ketahanan nasional yang posturnya tergantung pada kapasitas dan mental para penjaga garda kedaulatan nasional. Isu
connectivity war menjadi krusial karena PSN PIK 2 menyebar bau ras tertentu dan berada di pesisir laut.
Kelima, dengan mempertimbangkan ketahanan nasional dalam lingkup makna ruang menurut UUD 1945 dan UU 26/2007, maka pemerintahan tidak layak memberi ruang hadirnya suatu model pemerintahan dalam pemerintahan. Contoh nyata atas hal ini adalah bagaimana bobot posisi tawar Kota Tangerang Selatan terhadap lima pengembang di wilayah pemerintahannya. Jika dalam ruang tanah terdapat eksklusivitas, dipastikan ada persoalan.
Memang PSN PIK 2 tidak datang seketika. Gagasnya muncul karena Kabupaten Tangerang ingin mengembangkan kota baru pada 2021. Maka terbitlah Perdanya, disusul berikutnya Perpres pada Maret 2024. Kawasan di Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang akan dikembangkan menjadi
Tropical Coast Land, yakni destinasi wisata yang mengakomodasi wisata mangrove sebagai pengamanan pesisir alami. Lalu kenapa justru mencakup 9 kecamatan di Kabupaten Tangeran dan satu kecamatan di Kabupaten Serang? Justru di sini letak masalahnya. Bagaimana mungkin Menko perekonomian saat melakukan pembahasan untuk proyek tersebut tidak melibatkan Kementerian Agraria/ATR, Kemendagri, Bappenas, Kemenparekraf, Kemenhan, Panglima TNI, Kepolisian, Kemenkeu, Kemenaker, Kementerian Agama, Pemda terkait dan berbagai pihak yang terkait langsung dan tidak langsung.
Dalam sudut pandang hukum administrasi negara, proyek ini wajib mengkalkulasi manfaat sosial politik ekonomi sehingga tidak terbangun pesan dan kesan bahwa pemerintah adalah kaki tangan korporasi swasta. Sementara dalam perspektif hukum tata negara, proyek ini dilarang menurunkan bobot kedaulatan hukum negara disebabkan invasi, intervensi, infiltrasi, dan intervensi kekuatan modal finansial korporasi. Dalam hal ini pejabat publik tidak mengambil kebijakan dengan memenuhi unsur prosedural legal yang benar, profesional, prudensial, proporsional, dan lebih berpihak kepada rakyat (
public domain).
Maka gugatan PMH disebabkan masalah tata ruang (konversi hutan lindung), manipulasi taksasi atas harga tanah, terancamnya keamanan masyarakat dan ketahanan negara, dan yang terpenting terganggunya kelangsungan hidup masyarakat setempat sehingga menimbulkan kerugian material dan immaterial. Jika semua aspek tersebut dipertimbangkan, PSN PIK 2 pasti tidak layak dan patut dipertimbangkan kembali dalam perspektif tata ruang dan ketahanan nasional. Melanjutkan PSN PIK 2 adalah ironi negeri gemah
ripah loh jinawi karena kedaulatan rakyatnya diambil, perekonomiannya dihisap pajak, dan kelangsungan hidupnya tak terlindungi apalagi disejahterakan.
*Penulis adalah ekonom senior
BERITA TERKAIT: