Belum lagi euforia sebagai Ketua Umum Golkar baru mereda, tiba-tiba kabar duka datang bertubi-tubi. Pertama, posisinya di pucuk Partai Golkar bisa terancam jika benar kabar pengesahan AD/ART partai ini dibatalkan oleh PTUN Jakarta.
Lalu, bak petir di siang bolong, gelar doktornya dari Universitas Indonesia (UI) juga “ditangguhkan” (bahasa halus dari dibatalkan saat ini). Kalau kata pepatah, “sudah jatuh, tertimpa tangga pula".
Bahlil mungkin malah berasa sudah jatuh dari tangga, tertimpa bangunan, dan dijatuhi panci berisi nasi basi! Duh aduh, sakitnya tuh di sini.
Pada kasus pertama, beredar kabar PTUN Jakarta membatalkan keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan AD/ART Golkar versi terbaru, yang notabene melahirkan Bahlil sebagai Ketua Umum dalam Munas XI.
Dalam pandangan penggugat, Munas tersebut melanggar AD/ART lama yang seharusnya menentukan bahwa Munas hanya boleh dilaksanakan setiap lima tahun, tepatnya Desember 2024.
Namun, ini yang jadi perkara, seperti terinspirasi dari film-film superhero, Munas dipercepat secara ajaib hingga Bahlil resmi menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada Agustus 2024. Dan PTUN diinfokan menganulir keputusan ini, seolah-olah Munas tersebut hanyalah latihan alias gladi resik belaka.
Alhasil, Bahlil harus bersiap-siap kembali “duduk di bangku cadangan,” yang sayangnya, sudah mulai dingin.
Belum selesai pusing memikirkan dampak keputusan tadi, Bahlil dihadapkan dengan ketok godam lain: UI “menangguhkan” gelar doktornya. Tak disebut sampai kapan. Yang pasti, pihak UI masih akan berbenah dulu dengan mengadakan sidang etik terkait “potensi pelanggaran” dalam proses pembimbingan mahasiswa doktoral di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG), tempat Bahlil berkuliah.
Tak tanggung-tanggung, UI bahkan memutuskan moratorium penerimaan mahasiswa baru di program S3 tersebut hingga investigasi selesai. Jadi, gara-gara kasus "gelar S3” ini, bukan hanya Bahlil yang terkena imbas, namun juga calon mahasiswa yang ingin mengejar doktoral di SKSG.
Memang, UI seolah ingin berbenah habis-habisan, agar tak ada kasus serupa yang mencoreng nama besarnya.
Publik, yang selama ini sudah sering disuguhkan kisah-kisah absurd dari dunia politik, tampaknya menyambut dua kabar ini dengan campuran antara angkat jempol dan senyum simpul.
Apalagi para lawan politik Bahlil, senangnya bukan kepalang. Bagi mereka, partai kuning Golkar mesti diselamatkan dari kaum oligarki yang sudah terlalu menyesap dalam-dalam sumsung tulangnya.
Bersama itu, tak sedikit publik yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang menteri, pejabat publik dengan segala sorotan dan pengawasan, bisa tersandung masalah gelar akademik, yang berarti integritasnya bermasalah?
Sebuah lelucon di media sosial menyebut, di Indonesia sepertinya lebih mudah menjadi ketua partai atau menteri daripada meraih gelar doktor secara aman. Atau kebalik?
Namun, di balik humor dan sindiran, kasus ini juga menimbulkan pertanyaan serius tentang kredibilitas dan proses di balik layar. Dari keputusan PTUN hingga moratorium di UI, semuanya seolah memberi sinyal bahwa ada yang perlu diperbaiki. Mungkin, ini menjadi “wake-up call” bagi semua pihak untuk lebih cermat dalam mengikuti aturan main, agar tidak ada lagi kasus “doktor kilat” atau “ketua dadakan.”
Jika nasib Bahlil ini diibaratkan sebagai
reality show, maka bisa dibilang dia kontestan yang sedang mengalami “episode eliminasi.” Apa Bahlil akan mampu bangkit dari kasus integritas berat ini?
Hanya waktu yang akan menjawab. Itu bisa sulit, karena pendukung utamanya, Jokowi, sudah tidak mentas. Namun, bagi kita yang menyaksikan, episode ini telah memberi hiburan sekaligus pengingat, bahwa di dunia politik dan akademik, tidak ada yang benar-benar “aman.”
Lebih penting, dua kasus tadi menjadi peringatan keras bagi Presiden Prabowo Subianto mengenai kredibilitas kabinetnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana proses seleksi kabinet Prabowo, terutama terkait integritas dan rekam jejak para calon menteri. Susunan kabinetnya belakangan memang menjadi sorotan publik karena beberapa menterinya diduga memiliki catatan kelam.
Selain Bahlil, nama mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi juga menuai kontroversi. Budi terseret dalam rumor miring terkait dugaan keterlibatan dengan judi
online.
Ada pula beberapa menteri lain dalam kabinet Prabowo yang disebut-sebut memiliki catatan terkait pelanggaran hukum, mulai dari dugaan korupsi, hingga pelanggaran HAM berat seperti kasus pembunuhan KM 50.
Mungkin Prabowo menunggu waktu yang tepat untuk bertindak? Karena, jika tidak, mereka berpotensi menjadi beban bagi pemerintahannya di masa depan. Copot menteri-menteri yang bermasalah, gitu aja kok repot.
Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an
BERITA TERKAIT: