Menjelang serah terima jabatan Presiden Republik Indonesia, isu politik mencuat. Isu politik bisa menimbulkan kerusuhan. Kalau kerusuhan, pasti ditindak polisi.
Politik dinasti, jadi perbincangan seru selama beberapa bulan terakhir di Indonesia. Intinya terfokus pada terpilihnya Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, jadi Wakil Presiden mendampingi Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Diskusi politik di Kemang digelar oleh Diaspora Indonesia (orang Indonesia yang bermukim di luar Indonesia) di Hotel Grand Kemang, Sabtu, 28 September 2024 pagi. Topiknya, mengkritisi pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi dan pemerintahan ke depan di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Diskusi itu dibubarkan massa, sebelum diskusi dimulai. Puluhan orang berdemo, diawasi ketat tim polisi. Tapi, ternyata belasan orang lainnya masuk ke ruang diskusi melalui pintu belakang hotel.
Mereka lantas merusak mikrofon, spanduk-spanduk, akhirnya membubarkan diskusi. Alasan pelaku, jangan mengadu-domba masyarakat dengan menjelek-jelekkan pemerintah (pemerintahan Jokowi).
Akhirnya dua pelaku ditetapkan polisi jadi tersangka: Fhelick E. Kalawali (38) dan Godlip Wabano (22). Mereka diproses hukum. Mereka dijerat pasal dugaan tindak pidana pengeroyokan, perusakan, dan penganiayaan.
Karena ini terkait politik, maka muncul isu bahwa pembubaran itu disuruh oleh pihak yang akan dikritik: pemerintahan Jokowi. Menanggapi isu tersebut, pengacara dua tersangka, Gregorius Upi kepada wartawan mengatakan, kliennya bergerak atas inisiatif pribadi, tidak disuruh pihak mana pun.
Gregorius: “Kalau polisi memiliki pandangan seolah-olah ada order, itu kewenangan polisi untuk menyampaikan. Mungkin polisi memiliki pandangan lain. Tapi saya tegaskan, klien kami bergerak atas inisiatif sendiri.”
Sampai di sini, persoalan melebar. Dari perkara kriminal (pengeroyokan, perusakan properti) menjadi masalah politik (order politik). Di situ juga bisa disimpulkan, masalah politik bisa terkait masalah kriminal, dan sebaliknya.
Persoalan politik (kritik masyarakat terhadap pemerintah) yang ngetren sekarang, masih di seputar dinasti politik: Gibran jadi Wapres terpilih. Dan, jika topik diskusi di Kemang itu adalah mengkritisi pemerintah, maka pastinya menyinggung topik dinasti politik. Tak akan surut topik ini jadi bahasan.
Dikutip dari
Majalah Forbes, 19 Januari 2019 berjudul:
Quotes: Thoughts on the Business of Life, dinasti politik adalah jabatan di dunia politik yang diwariskan secara langsung dari ortu atau kakek-nenek kepada generasi berikutnya, secara langsung.
Dinasti politik umumnya di pemerintahan otoriter. Kakek atau ayah yang pejabat tinggi negara, mewariskan kepada keturunannya secara langsung. Bedanya dengan negara kerajaan, di negara kerajaan jabatan politik tertinggi negara: Raja, diwariskan secara langsung dan otomatis. Bedanya jika di negara otoriter ada kata ‘secara langsung’. Di kerajaan ditambahi kata ‘otomatis’.
Dinasti politik, contoh: Di Korea Utara. Kim Il Sung, Ketua Partai Pekerja Korea (1949–1966). Diwariskan kepada anaknya, Kim Jong Il, Sekretaris Jenderal Partai Pekerja Korea (1997–2011). Lalu diwariskan lagi ke Kim Jong Un, Sekretaris Pertama Partai Pekerja Korea (2012–2016) yang hingga kini pimpinan tertinggi Korea Utara. Dari kakek ke ayah akhirnya ke Jong Un.
Atau, Presiden Soeharto di sekitar tiga bulan menjelang akhir masa jabatan mengangkat Siti Hardijanti Rukmana (akrab dipanggil Mbak Tutut) jadi menteri sosial RI. Itu penunjukan secara langsung oleh Soeharto selaku Presiden waktu itu.
Berbeda dengan terpilihnya Prabowo Subianto jadi Presiden. Meskipun Prabowo adalah mantan menantu Soeharto. Berbeda dengan penunjukan Mbak Tutut jadi Mensos.
Terpilihnya Prabowo dan Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden melalui pemilihan umum yang dipilih rakyat. Dalam ilmu politik itu disebut
hereditary politicians (politikus keturunan). Politisi terpilih (jadi pejabat tinggi negara) atas hasil pemilu.
Dikutip dari
American Journal of Political Science volume 57, bertajuk:
Name Recognition Candidate, disebutkan bahwa
hereditary politicians terpilih menjadi pejabat tinggi negara melalui pemilu, karena
name recognition candidate (pengenalan nama dan dukungan publik terhadap kandidat).
Jadi, terpilihnya Gibran sebagai Wapres bukan dinasti politik, melainkan
hereditary politicians atau politikus keturunan. Kemudian oleh pihak lawan politik diarahkan menjadi dinasti politik, yang jadi isu sampai sekarang.
Mungkin, kalau diisukan secara benar (
hereditary politicians atau politikus keturunan) terlalu sulit diucapkan publik. Sulit diviralkan. Bahkan bisa membingungkan, karena ini ilmu politik yang tidak dipahami publik secara masal. Kata ‘dinasti politik’ lebih seksi, dan menohok (secara politik).
Tapi, Gibran terpilih jadi Wapres akibat peraturan yang direkayasa di Mahkamah Konstitusi (MK) ketika Ketua MK masih dijabat Anwar Usman, yang menikah dengan adik kandung Jokowi, Idayati.
Artinya, Anwar Usman adalah paman Gibran. Diduga ada korelasi (hubungan kausalitas) antara rekayasa peraturan di MK dengan terpilihnya Gibran. Karena aturan di MK direkayasa, sehingga Gibran terpilih.
Tapi, faktanya Gibran terpilih oleh penghitungan suara Pilpres. Dipilih oleh rakyat. Satu paket dengan Presiden Prabowo Subianto yang mantan menantu Soeharto.
Dari sini jelas, bahwa terpilihnya Prabowo-Gibran bukan dinasti politik, melainkan
hereditary politicians.
Jika teori
hereditary politicians dalam kasus ini dikaitkan dengan
name recognition candidate, maka jelas bahwa kemenangan Prabowo-Gibran akibat
name recognition candidate.
American Journal of Political Science volume 57, menyebutkan bahwa
name recognition candidate, terkait persepsi publik ketika ikut pemilu (mencoblos).
Name recognition dalam politik adalah kemampuan rakyat pemilih untuk mengidentifikasi nama kandidat, karena sejumlah paparan sebelumnya melalui berbagai metode kampanye.
Itu sebagai kesadaran pemilih tentang kandidat tertentu yang dihasilkan dari berbagai bentuk iklan kampanye. Beberapa metode periklanan untuk meningkatkan kesadaran publik digunakan oleh kandidat yang mencalonkan diri untuk berbagai jabatan meliputi: membuat iklan pribadi dan ideologis yang profesional, pengumuman layanan publik, kerja komunitas dengan demografi pemilih target, dan penampilan publik melalui paparan media massa.
Ketika publik pemilih merenung untuk menentukan pilihan, dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas. Tapi renungan publik yang dinilai paling kuat adalah: Siapa kandidat itu? Anak siapa mereka? Atau cucu siapa mereka?
Prabowo adalah mantan menantu mantan presiden. Gibran adalah anak presiden (masih berkuasa). Akhirnya, menanglah mereka.
Hereditary politicians. Bukan politik dinasti.
Hereditary politicians, sama dengan Megawati Soekarnoputri jadi Presiden karena ia adalah putri dari Presiden pertama, Soekarno. Megawati dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi Presiden RI.
Tepatnya, 23 Juli 2001 MPR mencopot KH Abdurrahman Wahid dari jabatan Presiden, kemudian mengangkat (dari hasil pemilihan di MPR) Megawati sebagai Presiden baru. Inilah
hereditary politicians. Bukan politik dinasti.
Sama juga halnya kini Puan Maharani, putri Megawati Soekarnoputri yang juga cucu presiden pertama Soekarno, menjabat sebagai Ketua DPR. yang sepertinya akan berlanjut di periode mendatang. Ini juga
hereditary politicians. Diraih akibat
name recognition candidate. Bukan dinasti politik.
Kejadian terbaru, Hendra Rahtomo Soekarno, atau akrab disapa Romy Soekarno, mendadak jadi anggota DPR, meskipun ia kalah dalam Pemilu 2024. Romy Soekarno adalah putra Rachmawati Soekarnoputri, yang putri presiden pertama Soekarno. Artinya, Romy adalah cucu Presiden pertama Soekarno.
Penetapan Romy sebagai anggota DPR tertuang dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1401/2024, yang ditandatangani Ketua KPU RI Mochamad Afifuddin, 27 September 2024.
Disebut mendadak, sebab mestinya (berdasarkan hasil Pemilu) Romy Soekarno tidak terpilih dari hasil Pemilu 2024. Perolehan suaranya, ia kalah.
PDIP mendapat dua kursi di Jawa Timur VI yang meliputi Kota Blitar dan Kediri, serta Kabupaten Tulungagung. Caleg PDIP yang meraih suara terbanyak adalah adik calon mantan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Pulung Agustanto, dengan 165.869 suara. Disusul Sri Rahayu yang mendulang 111.284 suara.
Romy berada di posisi keempat dengan 51.245 suara. Romy berada di bawah perolehan suara Arteria Dahlan yang mendapat 62.242 suara.
Namun, di luar dugaan banyak orang, caleg terpilih Sri Rahayu mengundurkan diri. Tanpa alasan. Sri juga ogah diwawancarai wartawan soal itu. Maka, seharusnya yang terpilih adalah Arteria Dahlan (sesuai urutan perolehan suara). Tapi, lagi-lagi Arteria juga mengundurkan diri. Sehingga Romy ditetapkan KPU sebagai anggota DPR RI terpilih.
Maka, anggota DPR periode 2024 - 2029 ada Puan Maharani dan Romy Soekarno. Itu pun bukan dinasti politik. Melainkan
hereditary politicians.
No problem, tak masalah.
Jadi, heboh politik dinasti Jokowi yang akan didiskusikan di Kemang kemudian didemo sehingga terjadi kerusuhan, adalah bagian dari pergulatan politik Indonesia. Tapi, pergulatan politik bisa menimbulkan pergulatan kriminal. Akhirnya jadi urusan polisi.
Penulis adalah Wartawan Senior
BERITA TERKAIT: