Rupanya perusahaan yang sudah bersifat perseroan terbuka sekalipun, yang mempublikasikan kinerja perusahaan secara terbuka tidaklah senantiasa otomatis terbebas dari masalah sebagai perusahaan yang merugi.
BUMN PT Indofarma Tbk adalah perusahaan yang memproduksi obat generik bermerek (OGB),
over the counter (OTC) dan makanan, obat keras bermerek (
ethical branded), alat kesehatan, perbekalan kesehatan rumah tangga dan non alat kesehatan.
Alat kesehatan yang diproduksi seperti
medical face mask 3 play (Inamask),
hand sanitizer (Clind),
rapid test (
smart diagnostic Covid-19),
mobile diagnostic real time PCR, produk
isolation transport, dan
virus transport media (VTM).
Indofarma dan PT Kimia Farma Tbk adalah perusahaan yang mampu memproduksi dan memasarkan produk obat-obatan untuk menangani pandemi Covid-19 (05/10/2020). Indofarma turut memproduksi Oseltamivir 75 gram dengan kapasitas produksi sebesar 4,9 juta kapsul per bulan.
Juga memasarkan Remdesivir Inj 100 mg. Remdesivir merupakan produksi Mylan Laboratories Ltd. Remdesivir digunakan untuk pasien rawat inap Covid-19, yang dalam kondisi sedang-berat. Ketersediaan stok Remdesivir sebanyak 400.000 vial per bulan.
Semula Indofarma merupakan perusahaan yang mempunyai laba komprehensif tahun berjalan sebesar Rp8,29 miliar per 31 Desember 2029. Dengan adanya penugasan memproduksi dan memasarkan obat-obatan dan peralatan untuk menangani Covid-19, Indofarma kemudian mulai merugi yang pertama kali untuk rugi komprehensif tahun berjalan sebesar minus Rp3,63 miliar per 31 Desember 2020.
Persoalan pertama kali yang dihadapi oleh Indofarma adalah terjadi peningkatan luar biasa dalam beban pajak. Beban pajak semula sebesar Rp2,98 miliar per 31 Desember 2029 meningkat pesat menjadi Rp25,96 miliar per 31 Desember 2020.
Sungguh luar biasa atas beban pajak sebesar Rp25,96 miliar, ketika perusahaan merugi sebesar Rp3,63 miliar untuk per 31 Desember 2024, sekalipun penjualan bersih perusahaan mencapai Rp1,72 triliun.
Sebenarnya persoalan penanganan Covid-19 oleh Indofarma semula tidaklah menimbulkan beban pokok penjualan yang lebih besar dibandingkan penjualan bersih. Dalam hal ini beban pokok penjualan sekalipun meningkat, namun hanya sedikit naik dibandingkan posisi 31 Desember 2019.
Persoalan Indofarma yang paling mendasar, yaitu ketika beban pokok penjualan sudah lebih besar dibandingkan penjualan bersih sejak 31 Desember 2022, yaitu justru ketika serangan pandemi Covid-19 mereda, namun kondisi perekonomian nasional belum pulih.
Penjualan bersih sebesar Rp2,9 triliun per 31 Desember 2021 menurun menjadi Rp1,14 triliun per 31 Desember 2022. Kemudian beban pokok penjualan sekalipun turun dari Rp2,45 triliun per 31 Desember 2021 menjadi Rp1,25 triliun per 31 Desember 2022, namun masalahnya adalah beban pokok penjualan melebihi penjualan bersih, sehingga perusahaan merugi.
Untuk mengurangi rugi berjalan komprehensif, Indofarma memanfaatkan praktik penangguhan pembayaran pajak.
Indofarma merupakan perusahaan farmasi yang mengalami penurunan penjualan bersih sangat luar biasa. Ketika posisi pelaporan keuangan perusahaan sedang sehat, penjualan bersih Indofarma sebesar Rp1,36 triliun per 31 Desember 2019, namun penjualan bersih sangat terpuruk menjadi Rp0,52 triliun per 31 Desember 2023. Kondisi Indofarma yang tragis ini membantah bahwa bisnis peralatan kesehatan sangat menguntungkan, ketika periode pandemi Covid-19.
Indofarma sebagai perusahaan farmasi publik yang merugi, ketika Indofarma turut berperan menangani pandemi Covid-19 tidaklah sendiri. Apa yang dialami oleh Indofarma juga diderita oleh BUMN PT Kimia Farma Tbk.
Tercatat Kimia Farma mengalami rugi komprehensif tahun berjalan sebesar Rp1,83 triliun per Desember 2023. Kimia Farma juga semula adalah perusahaan yang mempunyai pelaporan keuangan yang juga sehat dengan laba komprehensif tahun berjalan sebesar Rp4,78 triliun.
Kedua perusahaan BUMN farmasi di atas adalah pemasok obat-obatan dan peralatan untuk mengatasi Covid-19 yang penting, sehingga kiranya pemerintah perlu memberikan penghargaan dalam bentuk penilaian ulang dalam bentuk subsidi tarif dalam penanganan Covid-19, memberikan suntikan modal secara signifikan, atau cara lainnya.
Hal itu, supaya ketika kedatangan pandemi virus yang lebih mematikan nanti itu perusahaan-perusahaan BUMN farmasi tidak memilih lebih baik tiarap saja dan merespons pandemi dengan setengah hati untuk mencegah hujatan-hujatan ekstrem, ketika perusahaan merugi.
Merugi ketika Perusahaan menjual produk dengan harga terjangkau, sekalipun masih tinggi ketika kandungan lokal rendah. Persoalan yang mendasar pada bisnis farmasi seperti ini mendesak untuk ditangani.
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: