Manfaat perdagangan bebas antar negara selama ini dicontohkan terhadap keunggulan komparatif, atau pun keunggulan kompetitif diantara dua komoditas yang berbeda. Misalnya, negara China lebih unggul dalam produksi elektronika, sehingga China mengekspor elektronika ke Indonesia.
Kemudian Indonesia unggul dalam produksi pakaian, sehingga Indonesia mengekspor pakaian ke China. Terjadilah pertukaran produk dan muncullah spesialisasi dalam perdagangan antar negara.
Akan tetapi dalam perdagangan bebas ternyata menibulkan defisit neraca perdagangan sebagaimana tersebut di atas, yang kemudian menimbulkan luka mendalam, antara lain pada industri pakaian dan industri pakaian jadi di Indonesia untuk jenis perdagangan produk yang sama. Terjadi banjir produk impor dari China ke Indonesia.
Masuknya produk impor dari China secara deras membuat kedua industri pakaian dan pakaian jadi Indonesia, yang padat karya tersebut kalah bersaing. Barang impor banyak masuk, karena barang impor terasa jauh lebih murah. Lebih murah 25 hingga 50 persen, bahkan terlaporkan lebih.
Ditambah arus deras masuknya pakaian bekas, yang harga jual pakaian bekas amat rendah. Impor pakaian bekas sesungguhnya dilarang menurut UU Perdagangan, namun pakaian bekas beredar di Indonesia dan mempunyai konsumen.
Dengan adanya perdagangan secara
online, harga barang impor dari China terasa berada jauh lebih murah dibandingkan produk lokal. Produk impor dari China lebih cepat terkonsumsi oleh ekonomi rumah tangga dan ekonomi perusahaan. Disrupsi meningkat, sebagai akibat dari kalah dalam persaingan usaha.
Hal itu, karena adanya perbedaan faktor bawaan (
endowment), yang disebabkan oleh perbandingan perbedaan produktivitas tenaga kerja, upah tenaga kerja, kemajuan teknologi, sewa, suku bunga kredit, biaya transportasi, maupun isu
dumping dan isu penyelundupan.
Selanjutnya industri pakaian dan industri pakaian jadi melaporkan sejumlah pabrik yang ditutup. Pabrik yang ditutup menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam jumlah ribuan orang.
Penutupan banyak pabrik yang padat karya, selain diikuti oleh peristiwa PHK ribuan orang, juga secara berantai diikuti oleh penutupan rumah-rumah kontrakan dan kamar-kamar kos-kosan yang berada di sekitar pabrik.
Demikian pula diikuti oleh penutupan kantin dan catering, sepinya ojek online, dan angkutan umum setempat. Beberapa toko yang melayani kebutuhan hidup buruh pabrik sehari-hari juga ikut sepi dan tutup.
Deindustrialisasi di atas selain menimbulkan masalah terhadap ekonomi perusahaan, ekonomi rumah tangga, UMKM terkait, pengurangan vendor terkait, pengangguran, dan menimbulkan kerawanan sosial. Keberlanjutan pendanaan pendidikan anak pada kepala rumah tangga yang mengalami PHK menjadi terganggu.
Konsumsi BBM, listrik, dan LPG secara lokal menurun. Masalah kesehatan secara lokal juga meningkat. PHK dalam jumlah besar pun menimbulkan demonstrasi buruh, ketika terjadi kekakuan untuk melakukan perpindahan ke jenis pekerjaan pengganti. Pekerjaan transisi sungguh kurang memuaskan dan jauh di bawah harapan semula.
Ketika relokasi industri padat karya ke provinsi lain, yang mempunyai Upah Minimum Regional (UMR) lebih rendah tidak kunjung menghasilkan solusi untuk memperbaiki daya saing produk, maka muncul wacana untuk menaikkan tarif cukai impor produk dari China sebesar 200 persen.
Wacana tersebut untuk melindungi produk hasil produksi di dalam negeri. Hal ini untuk memperbaiki persoalan-persoalan di atas, yang meresahkan. Juga berpeluang untuk menaikkan elektabilitas parpol menjelang Pilkada serentak secara spektakuler pada penghujung tahun 2024, maupun untuk menaikkan penerimaan sumber pendapatan negara dari penerimaan pajak impor.
Wacana opsi menaikkan tarif cukai impor ada dua. Pertama, dengan memberlakukan tarif impor secara umum pada semua produk dari China. Kedua, memberlakukan tarif impor secara spesifik pada produk-produk yang impornya mengalir lebih deras dan menimbulkan defisit neraca perdagangan, seperti pada kasus industri pakaian dan industri pakaian jadi.
Persoalannya kemudian adalah menaikkan tarif impor adalah kegiatan meningkatkan hambatan tarif. Tindakan ini bertentangan dengan perjanjian perdagangan internasional pasar bebas ASEAN China
free trade area, atau
agreement. Menaikkan tarif impor adalah tindakan merevisi, berpotensi membatalkan, atau pun secara ekstrem dapat membangkitkan perang dagang.
Menaikkan tarif impor adalah sebuah tindakan untuk melakukan deglobalisasi, sekalipun dilakukan untuk melindungi industri di dalam negeri sebagai tindakan atas dasar kepentingan nasional, yang terluka sebagai dampak negatif dari perberlakuan pasar bebas. Deglobalisasi dan perang dagang terkenal disosialisasikan oleh Donald Trump merupakan anti tesis terhadap manfaat dari perdagangan bebas.
Deglobalisasi digalakkan karena terdapat produsen dalam negeri yang terluka. Terluka, karena kalah bersaing sebagaimana terjadi pada industri pakaian dan industri pakaian jadi tersebut di atas.
Sebenarnya mengungkit-ungkit tentang kalah bersaing terhadap produk impor juga tercatat terjadi pada produk baja Indonesia, produksi garam lokal, daging sapi, susu, beras, jagung, rotan, dan lain-lain.
Jadi, persoalannya adalah menaikkan tarif impor adalah tindakan yang berbeda regime perdagangan dan dinamika kepentingan nasional, yang memerlukan kajian secara lebih mendalam untuk secara ekstrim melakukan tindakan memulai perang dagang. Sebab, persoalan defisit neraca perdagangan dan kalah bersaing bukan hanya terjadi dengan China.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: