Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Teori Agenda Setting: Media Massa dan Politik

OLEH: NURTANTI*

Rabu, 12 Juni 2024, 19:33 WIB
Teori Agenda Setting: Media Massa dan Politik
Ilustrasi
DALAM kehidupan sehari hari media massa menyajikan beragam informasi, berita, isu, peristiwa yang terjadi di masyarakat. Perkembangan teknologi yang memudahkan masyarakat menerima sebuah informasi dengan cepat menjadikan masyarakat semakin terbuka dengan berbagai macam informasi.

Agenda media massa yang memberitakan suatu isu peristiwa informasi dapat berdampak terhadap penentuan kebijakan pemerintah. Agenda setting menggambarkan kekuatan, pengaruh, media yang sangat kuat terhadap pembentukkan opini masyarakat karena media memberi tekanan pada suatu peristiwa maka media dapat mempengaruhi khalayak untuk mengganggap penting. Agenda setting media mempunyai peranan dalam penentuan kebijakan pemerintah.

Ketika menjelaskan terkait dengan agenda setting maupun agenda politik, penulis  mengutip berbagai konsep dari beberapa tokoh. Pertama, menurut Walgrave dalam artikelnya berjudul “The Mass Media’s Political Agenda-Setting Power: A longitudinal Analysis of Media, Parliament, and Government in Belgium (1993 to 2000)” menyatakan bahwa agenda politik merupakan daftar masalah yang menjadi perhatian khusus bagi aktor politik.

Sedangkan arti agenda setting Menurut McCombs dan Shaw, “media massa memiliki kemampuan untuk menggeser agenda berita mereka ke dalam agenda publik” (Griffin, 2010). Pemahaman ini menjelaskan bahwa media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi bahkan membentuk cara berpikir masyarakat yang terpapar informasi.

McCombs dan Shaw lebih lanjut menjelaskan bahwa media memiliki kemampuan untuk membuat orang menilai sesuatu yang penting berdasarkan apa yang dikatakan media, dengan kata lain, kita menghargai apa yang dianggap penting oleh media. Apa yang disampaikan oleh media massa tentunya berpedoman pada kaidah jurnalistik yang berlaku, apalagi ada jurnalis di media massa yang mengolah dan menyampaikan informasi sesuai dengan prinsip jurnalistiknya. Namun dalam hal ini McCombs dan Shaw menjelaskan bahwa apa yang diberitakan di media dianggap penting dan harus diperhatikan oleh masyarakat luas.

Media tidak mempengaruhi pikiran orang dengan memberi tahu mereka apa yang harus dipikirkan dan ide atau nilai apa yang mereka miliki, tetapi dengan memberi tahu mereka masalah dan isu apa yang harus dipikirkan. Masyarakat umum cenderung memutuskan bahwa apa yang disiarkan melalui media massa benar-benar layak untuk diketahui masyarakat luas dan dipublikasikan.

Dalam Agenda Setting, penonjolan isu-isu tertentu oleh media massa tidak lepas dari proses seleksi media yang melewati sejumlah pintu (gates), proses seleksi ini bisa dipegang oleh individu atau sekelompok orang yang nantinya akan memutuskan berita layak muat, Mereka inilah yang memainan peran dalam membentuk realitas yang ada di khalayak, gatekeeper media massa biasanya akan menentukan bobot penyajian isu berdasarkan besarnya ruang yang disediakan, penonjolan berita (melalui headline, lokasi penempatan halaman) dan cara isu tersebut dibahas secara detail atau umum (De George, 1981: 219-220).

Agenda setting berangkat dari dua asumsi pokok yakni bahwa media tidak merefeksikan realitas sepenuhnya, dia hanya menyeleksi dan membentuknya. Kemudian penonjolan isu oleh media dalam kurun waktu tertentu akan mempengaruhi publik, dimana publik akan menganggap isu tersebut lebih menonjol daripada isu yang lain (Weaver, dkk, 1981: 3-4). Roger dan Dearing.

Ketika media mengatur agenda dengan cara yang tidak seimbang atau mengutamakan isu-isu tertentu, hal tersebut dapat merugikan proses demokratisasi. Misalnya, fokus yang terlalu besar pada isu-isu kontroversial atau personalitas politik dapat mengaburkan substansi perdebatan politik yang seharusnya didasarkan pada ide dan program.

Penting untuk memastikan bahwa media tidak hanya memprioritaskan isu-isu yang kontroversial atau sensasional, tetapi juga memberikan perhatian yang memadai pada isu-isu kebijakan substantif. Seiring dengan itu, masyarakat perlu mengembangkan kemampuan kritis untuk menyaring informasi, memahami agenda setting media, dan berpartisipasi aktif dalam ruang publik.

Karena hanya dengan media ini diantaranya proses komunikasi politik itu bisa berlangsung. Dalam konteks ini, bahwa komunikasi politik itu sendiri seperti ibarat darah yang mengaliri unsur-unsur dalam sistem politik. Sistem politik sendiri, pada dasarnya menggambarkan suatu proses in put dan out put. Artinya, berbagai pihak berupaya memasukkan in put nya ke dalam struktur sistem politik yang terdiri dari komponen supra politik dan infra politik agar melalui prosesnya dapat melahirkan out put sistem politik.

Komponen supra politik sendiri berarti unsur-unsur atau pihak-pihak yang tugas pokok dan fungsinya langsung berhubungan dengan penyelenggaraan negara. Sementara komponen infra politik berarti pihak-pihak yang tugas pokok dan fungsinya itu tidak berkaitan langung berhubungan dengan penyelenggaraan negara.

Media dapat menyuntik informasi kepada masyarakat tentang isu-isu tertentu, termasuk isu politik. Dalam hal ini media dapat menyediakan informasi seputar isu politik dalam bentuk berita politik, yang mana dapat memengaruhi bagaimana masyarakat ‘melihat’ proses politik yang terjadi. Konsep media dan politik digunakan karena menjelaskan korelasi antara media dan politik yang terjadi secara komperhensif.

Penjelasan konsep media dan politik ini juga membantu dalam menentukan berita yang dipilih untuk menjadi sumber analisis isi berita. Konsep ini juga digunakan dalam pemilihan kata kunci untuk mencari data di media sosial karena isu yang dibicarakan merupakan isu politik.

Tidak hanya media tradisional yang dapat memberikan pengaruh ke platform media lain namun internet pun juga dapat memberikan pengaruh ke media lain. Praktik intermedia agenda-setting juga terjadi pada media dalam jaringan (networked media). Jürgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog Jerman, dikenal karena kontribusinya terhadap pemikiran sosial dan politik. Salah satu konsep sentral dalam karyanya adalah "ruang publik" atau "öffentlicher Raum" dalam bahasa Jerman. Konsep ini dikembangkan oleh Habermas dalam bukunya yang terkenal, "The Structural Transformation of the Public Sphere" ("Strukturwandel der Öffentlichkeit"), yang diterbitkan pada tahun 1962.

Ruang publik menurut Habermas merujuk pada arena sosial di mana individu-individu berkumpul untuk berbicara dan berdiskusi mengenai masalah-masalah publik atau politik. Ini bukan hanya tempat fisik, tetapi lebih sebagai suatu domain di mana warga dapat berpartisipasi dalam pertukaran ide dan pandangan tanpa intervensi yang menghambat. Habermas melihat ruang publik sebagai suatu bentuk forum yang mandiri dan terbebas dari pengaruh yang merendahkan atau mengintimidasi.

Dalam "The Structural Transformation of the Public Sphere," Habermas menggambarkan perkembangan sejarah ruang publik di Eropa pada abad ke-18, khususnya di Inggris dan Perancis. Pada masa itu, ruang publik berkembang sebagai hasil dari munculnya kelas borjuis yang mengadakan pertemuan di kafe, rumah-rumah pribadi, dan klub-klub diskusi. Ruang publik ini menjadi tempat di mana orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat dapat berbicara bebas mengenai isu-isu politik dan sosial.

Namun, Habermas juga menyadari bahwa ruang publik dalam bentuknya yang ideal telah mengalami transformasi seiring waktu. Dia mengkritik komodifikasi dan birokratisasi ruang publik modern, di mana media massa dan struktur kekuasaan politik memainkan peran besar dalam membentuk opini publik. Habermas juga menyoroti bahaya terjadinya "kolonialisasi dunia kehidupan sehari-hari" oleh kekuatan ekonomi dan politik, yang dapat merusak integritas ruang publik.

Dalam pemikiran Habermas, ruang publik yang sehat dan fungsional adalah prasyarat untuk demokrasi yang efektif. Partisipasi warga dalam pembentukan opini dan pengambilan keputusan adalah esensial bagi kesehatan demokrasi. Meskipun ruang publik yang ideal mungkin sulit dicapai dalam masyarakat modern yang kompleks, konsep ini tetap memberikan kerangka kerja penting untuk memahami peran kritis yang dimainkan oleh partisipasi publik dan dialog terbuka dalam masyarakat demokratis.

Habermas berpendapat bahwa media harus menjadi sarana di mana warga dapat berdiskusi secara bebas dan rasional untuk mencapai konsensus. Agenda setting yang terlalu terkonsentrasi dapat menghalangi proses ini, mengarah pada penurunan kualitas ruang publik. Ketergantungan media pada kepentingan politik atau ekonomi tertentu juga dapat merusak prinsip komunikasi yang bebas dan adil yang diinginkan oleh Habermas. Media yang cenderung fokus pada isu-isu tertentu dapat membatasi keragaman pandangan dalam ruang publik, mempengaruhi proses deliberatif. Hal ini dapat mengarah pada homogenisasi opini dan menurunkan kualitas demokrasi, sebagaimana yang ditekankan oleh Habermas.

Kritik ini mencerminkan ketidakseimbangan antara idealitas ruang publik dan realitas praktik media selama periode pemilu. Seperti yang diketahui bahwa kebanyakan media dikendalikan penuh oleh pemerintah, ini menjadikan media akan sangat mudah "di-setting" oleh mereka yang memiliki kuasa, dan memilih isu yang ingin di tonjolkan, baik itu untuk menjaga nama baik, atau untuk menjatuhkan sang lawan. rmol news logo article

Penulis adalah Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi, Pascasarjana Universitas Sahid
EDITOR: JONRIS PURBA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA