Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemilu 2024 dan Ikhtiar Menjaga Nilai Demokrasi

MUHAMMAD SUTISNA MSi*

Jumat, 02 Februari 2024, 19:04 WIB
Pemilu 2024 dan Ikhtiar Menjaga Nilai Demokrasi
Ilustrasi/RMOL
PEMUNGUTAN suara 2024 tinggal menghitung hari. Hiruk pikuk dan dinamika masyarakat beragam. Ada yang senang karena idolanya maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Ada juga yang kecewa karena proses pencalonan salah satu Cawapres dilalui dengan cara merekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).

Belum lagi gagasan masing-masing Paslon yang disampaikan saat debat Capres-Cawapres beberapa waktu lalu, juga tak lepas dari atensi warga. Lebih dari itu, proses demokrasi yang berjalan jelang Pemilu 2024 kali ini menjadi catatan hitam sepanjang perjalanan bangsa Indonesia, pasca Reformasi 1998.

Penilaian itu mengemuka, karena ada upaya membangun dinasti politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo, di akhir masa jabatannya. Seperti diketahui, salah satu semangat reformasi adalah membasmi KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).

Sementara dalam konteks Pemilu 2024, Jokowi seakan menggunakan kekuasaannya untuk memuluskan jalan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Sikap Jokowi yang berupaya mengkooptasi konstitusi terus disorot. Pengamat dan tokoh pun memberikan saran dan masukan.

Namun tidak satupun yang digubris. Parahnya lagi, perhatian terhadap proses demokrasi itu tidak hanya datang dari masyarakat di tingkat nasional, tetapi juga masyarakat global. Bisa dilihat dari pemberitaan media asal Jerman, Handelsblatt, akhir November 2023, yang menganalisa kondisi demokrasi Tanah Air. Demikian pula dengan media asal Amerika, Time, yang menyatakan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Sorotan media asing terhadap kondisi Indonesia itu merupakan peringatan bagi penyelenggara negara, terutama terkait iklim investasi. Kemunduran demokrasi dinilai mempengaruhi ketidakmauan negara-negara asing untuk berinvestasi. Kekhawatiran itu antara lain antara lain ditegaskan pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam agenda diskusi Daring bersama Forum Intelektual Muda, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, jika kondisi seperti saat ini dibiarkan, terutama masalah dinasti politik, jelas berdampak pada meningkatnya kasus korupsi. Sederhananya, kata dia, bila korupsi terus berlangsung, sementara penolakan terhadap dinasti juga terus dilakukan masyarakat sipil, maka kekacauan sangat mungkin terjadi.

Di sisi lain, negara-negara yang berencana investasi ke Indonesia berpikir ulang. Dengan kata lain, kemunduran demokrasi mengakibatkan investor insecure, sebab trust issue kepada Indonesia menurun.

Bicara soal investasi, sudah pasti stabilitas demokrasi domestik menjadi acuan bagi sebagian besar negara. Karena itu, semakin stabil demokrasi, semakin baik pula situasi ekonomi. Jadi, prinsipnya, ketidakpastian hukum dan ketidakstabilan demokrasi jelas berpengaruh pada situasi ekonomi nasional.

Prinsip dan Etika Demokrasi

Situasi dan keadaan masyarakat di tahun politik seyogyanya mendapat perhatian maksimal dari Jokowi selaku presiden. Demikian pula dengan penolakan terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 oleh masyarakat, seharusnya disikapi penyelenggara negara, agar ke depan tidak ada lagi calon wakil presiden cacat etik karena merekayasa hukum.

Substansi demokrasi Pancasila yang jadi acuan berbangsa dan bernegara, dengan tegas memerintahkan agar setiap warga negara memiliki budi pekerti atau etika, agar tidak ada keterbelahan dan kekisruhan di tengah-tengah masyarakat.

Meminjam pendapat Wakil Presiden ke-1, Mohammad Hatta (Agustam, 2011:82), bahwa demokrasi Pancasila berasaskan kekeluargaan dan gotong royong. Demokrasi Pancasila menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia, dan berkesinambungan.

Sementara menurut Jimly Asshiddiqie, dalam buku berjudul Hukum Tata Negara dan Pilar Demokrasi (MK, 2006), ada tiga prinsip yang harus dipegang teguh ketika mengamalkan Demokrasi Pancasila, yaitu kebebasan atau persamaan, kedaulatan rakyat, dan pemerintahan yang terbuka serta bertanggung jawab.

Dari pendapat Mohammad Hatta dan Prof Jimly Asshiddiqie itu, sangat kontras dengan yang dilakukan rezim Jokowi ketika merespons situasi masyarakat saat ini, terutama kekisruhan di MK.

Presiden Jokowi dan koalisi pendukung Prabowo-Gibran hanya mencari-cari pembenaran melalui konstitusi yang ada. Singkatnya, Jokowi dan rezimnya bersembunyi di atas tafsirnya sendiri. Padahal, secara literally, prinsip-prinsip itu sudah terlihat arahnya.

Selain itu, dari aspek sejarah bangsa, Indonesia dibangun atas budaya kekeluargaan dan saling menghormati, dengan nilai-nilai luhur berkeadaban. Para pendiri bangsa juga bersusah payah agar demokrasi tetap melihat budaya dan keindonesiaan yang melekat pada setiap warga.

Sebab itulah, menjaga prinsip dan etika demokrasi menjadi hal fundamental, agar alam demokrasi Indonesia terus mengalami perkembangan. Karena kehadiran demokrasi yang sehat jelas mendorong kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Kerja keras dan upaya menjaga demokrasi dari potensi kecurangan Pemilu 2024 kian disorot, misalnya pada pembagian Sembako oleh Paslon Prabowo-Gibran yang dituding menggunakan anggaran negara.

Berulang kali Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran membantah, tapi potensi dan tengara ke arah itu memang nyata. Belum lagi terkait arahan Istana kepada kepala desa di seluruh Indonesia agar memenangkan pasangan itu, belum lagi ketidaknetralan TNI-Polri yang juga disorot.

Semua itu memang sangat mungkin dilakukan penguasa saat ini. Untuk mengawasi kekhawatiran-kekhawatiran itu, kelompok masyarakat sipil harus aktif menyuarakan pentingnya menjaga demokrasi, yang membebaskan masyarakat memilih calon pemimpinnya berdasar hati nurani.

Sementara itu, memotret kondisi di akar rumput, bahwa kepercayaan terhadap pemerintah terus menurun. Alasannya, pemerintah saat ini memihak dan seolah ngotot memenangkan salah satu Paslon. Mirisnya lagi, setiap kritikan dianggap sepele oleh TKN Prabowo-Gibran, bisa dilihat dari respons “dijogetin aja”, dan narasi nyeleneh lainnya.

Prabowo sendiri sebagai Capres beberapa kali menyampaikan soal Pemilu damai, penuh keakraban dan kebersamaan. Padahal di sisi lain, sikap dan cara-cara pendukungnya di lapangan terkesan arogan. Pemilu damai akhirnya hanya lips service. Lain di mulut lain di aksi. Itulah bagian dari kekecewaan masyarakat terhadap pemimpinnya.

Presiden yang seharusnya berada di garis depan dalam hal etika, justru membiarkan berbagai aturan ditabrak, bahkan oleh keluarganya. Fenomena itu memunculkan reaksi dari berbagai kalangan yang mulai resah, mulai petani, buruh, budayawan, aktivis, mahasiswa, hingga guru besar, ramai-ramai mengkritisi Jokowi yang mulai keluar dari jalur.  

Akhirnya, melalui tulisan ini saya mengajak seluruh warga bangsa, terus kerja keras mendorong agar demokrasi kita terus mengalami perbaikan. Caranya, dengan berterus terang kepada diri dan hati nurani, soal apa yang sebaiknya dilakukan bangsa dan negara ini.

Sebagai bentuk refleksi bersama, jangan sampai karena hasrat mempertahankan kekuasaan, terus menghalalkan berbagai macam cara, hingga menghilangkan standar moral dalam bernegara.

Bila hal-hal itu tak segera dimitigasi dengan baik oleh negara, akan terjadi gejolak sosial politik yang dapat mengganggu stabilitas negara. Sementara Indonesia terus berusaha menjadi negara yang maju dan unggul. Tapi demokrasinya malah mundur.

*Co-Founder Forum Intelektual Muda
EDITOR: ACHMAD RIZAL

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA