Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Presiden Jokowi Tidak Melanggar Hukum dan Etika

OLEH: YUDO PRIHARTONO*

Kamis, 25 Januari 2024, 16:22 WIB
Presiden Jokowi Tidak Melanggar Hukum dan Etika
Presiden Joko Widodo/Net
MERESPON pandangan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti yang menilai pernyataan Joko Widodo bahwa presiden dan menteri dapat memihak dan berkampanye dalam pemilihan umum (pemilu), sepanjang tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara sebagai suatu pernyataan yang melanggar hukum dan etika, maka kami Pergerakan Advokat Untuk Transformasi Hukum Indonesia (PATHI) menolak dengan tegas pandangan tersebut.

Sebelumnya, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menanggapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan presiden dan menteri boleh memihak serta kampanye dalam pemilu. Menurut dia, keberpihakan presiden dan menteri justru melanggar hukum dan etik.

Menurut Bivitri, anggapan regulasi membolehkan presiden dan menteri berpihak itu salah.

"Mungkin Pak Jokowi mengacu ke Pasal 282 UU Pemilu, tapi sebenarnya ada Pasal 280, Pasal 304, sampai 307," ujar dia, dikutip dari beberapa media, Rabu (24/1).

Pasal-pasal itu, Bivitri mengatakan, membatasi dukungan dari seorang presiden dan pejabat-pejabat negara lainnya untuk mendukung atau membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon.

"Jelas pernyataan ini melanggar hukum dan melanggar etik," ucap dia.

PATHI memandang, pandangan tersebut menunjukkan ketidakpahaman Bivitri Susanti terhadap ketentuan pasal 28 C UUD 1945, pasal 23 ayat 1 UU Hak Asasi Manusia (HAM), dan secara khusus pasal 281 UU Pemilu.

Secara hukum, ketentuan pasal 282 UU Pemilu yang memuat larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, pejabat fungsional dan kepala desa untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu dalam masa kampanye, haruslah dibaca dengan “Penafsiran Sistematis”, dengan ketentuan Pasal 281 UU Pemilu, yang telah mengecualikan bahwa Presiden, Menteri dan Kepala Daerah dapat diikutsertakan dalam Kampanye Pemilu dengan segala ketentuan terkait.

Kampanye Pemilu itu sudah pasti merupakan “tindakan” yang menguntungkan salah satu peserta pemilu dan dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan, sepanjang tidak menyalahgunaan fasilitas negara.

Harusnya Bivitri memahami substansi dan penafsiran sistematis atas pasal-pasal tersebut.

Mengikuti kampanye pemilu jelas bukanlah merupakan suatu tindakan “menguntungkan atau merugikan” sebagaimana dimaksud pasal 282 UU Pemilu. Jika kita mengikuti pemikiran Bivitri, maka tidak perlu ada pasal 281 UU Pemilu.

Selain itu, terkait pernyataan pers dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Rabu (24/1), yang meminta Presiden Jokowi menarik pernyataan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak, karena ini akan berpotensi menjadi alasan pembenar untuk pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan pemilu, PATHI menyatakan sebaiknya kembali lagi pada pemaknaan dari ketentuan Pasal 281 UU Pemilu saja.

PATHI berharap seluruh masyarakat sipil sebagai bagian dari demokrasi terus mengkritisi pemilu dengan akal sehat, hati nurani, dan semangat nasionalisme yang mementingkan kepentingan bangsa di atas segalanya.

Jangan sampai Pemilu 2024 dideligitimasi dan didemoralisasi sehingga malah menguntungkan pihak-pihak tertentu.rmol news logo article

*Penulis adalah Deklarator Pergerakan Advokat Untuk Transformasi Hukum Indonesia (PATHI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA