Polisi tidak mengungkap, mengapa seseorang bunuh diri. Polisi cuma menyelidiki kemungkinan unsur pidana. Sedangkan, kajian bunuh diri sebenarnya kewajiban akademisi mengungkapnya.
Caroline hidup berkecukupan. Wajah cantik, postur tinggi langsing. Ayahnya, Gunawan, punya toko di Jalan Dhoho, Kediri, Jatim. Caroline kuliah di Unair, tinggal di apartemen di Sidoarjo, sehari-hari pakai mobil Honda Jazz hitam nopol AG 1484 BY.
Tidak banyak gadis Indonesia hidup seberuntung dia. Jadi mahasiswi saja sudah untung. Apalagi di Unair. Apalagi di FKH.
Jumlah mahasiswa di Indonesia sedikit. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo kepada pers, Kamis, 4 Februari 2021 mengatakan:
"Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional 2017 penduduk berpendidikan tinggi hanya 8,5 persen dari total penduduk berusia 14 tahun ke atas.”
Caroline ditemukan meninggal dunia di dalam mobilnya, duduk di kursi pengemudi, parkir di halaman apartemen Royal Bisnis, Jalan H. Anwar Hamzah, Desa Tambak Oso, Kecamatan Waru, Sidoarjo, Minggu, 5 November 2023 sekitar pukul 05.30 WIB.
Orang pertama yang melihat Caroline dengan kepala tertutup plastik adalah
security apartemen tersebut.
Security tidak bisa membuka mobil yang terkunci. Lalu ia menelepon polisi.
Polisi tiba, membuka paksa pintu mobil. Caroline sudah meninggal. Kepalanya terselubungi kantong plastik, dilakban ketat di bagian leher. Ada tabung gas helium, yang ujung selangnya masuk ke mulut Caroline. Ponsel dan dompet ada di situ. Ada empat surat tulisan tangan berbahasa Inggris. Satu buat Mama Caroline. Dua, buat kakak dan adik. Tiga, buat paman Caroline. Empat, buat teman-teman.
Empat surat itu sudah dikonfirmasi polisi ke keluarga Caroline. Pihak keluarga memastikan, bahwa itu jelas tulisan tangan Caroline.
Dari kondisi itu polisi menyimpulkan sementara, Caroline bunuh diri. Sambil menunggu hasil otopsi lengkap dari RS Bhayangkara Surabaya. Kanit Reskrim Polsek Waru, AKP Ahmad Yani kepada wartawan, Senin (6/11) mengatakan: “Untuk sementara diduga kuat mahasiswi CA bunuh diri.”
Ayah Caroline, Gunawan, kepada wartawan mengatakan: “Dari bukti-bukti yang ada, keluarga yakin Bernadette (nama lengkap Bernadette Caroline Angelica) bunuh diri. Bukan pembunuhan. Tapi kami tidak tahu, mengapa dia bunuh diri. Kami syok berat. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan dia bakal bunuh diri.”
Surat-surat Caroline setelah diteliti polisi, dikembalikan ke pihak keluarga. Isi surat-surat itu intinya Caroline pamitan pada keluarga. Tidak ada soal asmara. Dia merasa, masa depan gelap.
Surat kepada Mama, isinya (diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia) begini:
Dear Mama
Terima kasih selama ini telah melindungiku. Tetapi sekarang perlindunganmu terasa sia-sia. Aku tak pernah membuat keputusanku sendiri dalam hidup ini. Sekarang inilah bagaimana aku menunjukkan kebebasanku.
Aku memilih apa yang aku pilih dalam hidup ini. Aku tak melihat masa depan untukku. Aku tahu bagaimana kau mencintaiku. Ini bukan salahmu. Aku tidak menyalahkanmu. Maaf, aku tak bisa membalas cintamu. Maaf, aku tak dapat melindungimu.Sangat mengharukan. Tampak, Caroline (anak ke dua dari tiga bersaudara) mencintai Mama. Meski dia mengatakan, tak bisa membalas cinta Mama. Caroline tahu, hidup dia diatur keluarga dengan sangat baik. Bertujuan baik. Tapi, dia ingin membuat keputusan sendiri, di luar aturan keluarga: Bunuh diri.
Caroline merasa, masa depan gelap. Pada bagian ini, aneh. Tidak sesuai anggapan masyarakat umum. Caroline kuliah di FKH Unair angkatan 2019. Saat usia 17. Berarti masa sekolah dia terlalu cepat setahun.
Di hari terakhir hidup, dia menjalani coas (
co-assistant). Program profesi mahasiswa kedokteran hewan, untuk mendapatkan gelar dokter hewan. Artinya, tak lama lagi dia meraih gelar dokter hewan, lantas boleh praktik. Di usia segitu. Hampir semua orang pasti beranggapan, bahwa masa depan Caroline, jelas.
Papa Gunawan: "Bernadette orangnya pendiam. Apa pun selalu dipendam sendiri. Seolah semua baik-baik saja. Sehingga kami orang tua, tidak tahu, apa problem yang dia alami. Apa yang ada di pikiran dia.”
Gunawan menyimpulkan: “Mungkin dia terlalu capek. Soalnya, aktivitas perkuliahannya padat sekali. Dia selalu bolak-balik Kediri-Surabaya, kadang membantu usaha toko kami di Kediri. Kemudian harus meneruskan coas di Unair.”
Apa yang sesungguhnya terjadi pada Caroline? Pertanyaan ini butuh jawaban. Bermanfaat buat masyarakat. Kalau Caroline, yang sepanjang hidup tak kekurangan apa pun, bisa begitu tragis, bagaimana dengan gadis yang hidupnya susah (miskin-bodoh-jelek).
Dari segi usia, Caroline baru saja melewati masa remaja (usia 10 sampai 19). Dia baru masuk era dewasa muda. Problem hidup sangat sulit di masa remaja baru saja dia lalui. Tapi, tentu masih ada sisa, atau ekor, problematika hebat masa remaja.
Christina Cammarata, PhD, psikolog peneliti bunuh diri remaja, dari Nemours Alfred I duPont Hospital For Children di Wilmington, North Carolina, Amerika Serikat, menulis di Buletin
Nemours Teenshealth bertajuk:
Suicide, menguraikan begini:
“Kebanyakan remaja yang gagal bunuh diri dan kami wawancarai setelah melakukan bunuh diri yang gagal, mengatakan bahwa mereka melakukannya karena mereka mau melarikan diri dari situasi yang tampaknya mustahil untuk dihadapi. Atau untuk melepaskan diri dari pikiran atau perasaan yang dia rasa sangat buruk.”
Mereka yang diwawancarai, sesungguhnya tidak ingin mati. Melainkan ingin melarikan diri dari sesuatu yang sedang terjadi. Dan pada saat itu, menurut pelaku, kematian satu-satunya jalan keluar.
Beberapa orang dari mereka, melarikan diri dari perasaan penolakan, sakit hati, atau kehilangan. Orang lain, merasa marah, malu, atau bersalah tentang sesuatu. Beberapa orang, khawatir akan mengecewakan keluarga atau teman. Beberapa orang lain, merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, menjadi korban, atau merasa menjadi beban bagi orang lain.
Kita semua terkadang merasa terbebani oleh emosi atau situasi yang sulit. Hidup siapa pun pasti sulit. Banyak remaja yang mampu melewatinya dan menemukan cara untuk melanjutkan hidup dengan tekad dan harapan.
Jadi, mengapa seseorang mencoba bunuh diri, sementara orang lain yang berada dalam situasi sulit yang sama, tidak melakukannya?
Apa yang membuat beberapa orang lebih tangguh (lebih mampu menghadapi kesulitan hidup) dibandingkan orang lain?
Apa yang membuat seseorang tidak bisa melihat jalan keluar lain dari situasi buruk selain mengakhiri hidup?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut terletak pada kenyataan bahwa kebanyakan orang yang bunuh diri, mengalami depresi. Depresi adalah akumulasi stres yang parah. Stres bertumpuk-tumpuk jadi depresi. Ketika orang depresi, dia tidak lagi berpikir normal. Siapa pun dia. Sepintar apa pun dia.
Hidup manusia pasti mengalami stres. Terus-menerus. Tiada habis. Sampai mati. Apalagi di masa remaja yang sulit. Sulit, karena perpindahan dari masa kanak-kanak yang gampang (jadi raja dan ratu dalam keluarga) menuju ke hidup dengan penuh tanggung jawab. Belajar hidup mandiri. Di situlah tensi stres sangat tinggi.
Orang yang punya manajemen stres (secara alamiah atau bisa juga karena diajari rutin oleh ortu) mampu membuat stres tidak menumpuk. Stres datang, diatasi. Stres datang lagi, diatasi lagi.
Diatasi dengan cara yang beda-beda setiap orang. Ada yang menjadikan kesulitan hidup semacam kesulitan dalam permainan
game. Kalau game tanpa faktor kesulitan, namanya bukan
game. Melainkan menonton sinetron. Jadi, orang model begini justru terus menunggu kesulitan datang. “Mana… kok gak ada kesulitan?” Supaya hidup jadi lebih seru. Dinamis.
Tapi ada orang yang menderita karena kesulitan. Terasa ‘nyesek’ di dada. Dipikirkan berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun. Sementara, stres model lain terus berdatangan. Tidak mungkin berhenti. Akibatnya stres menumpuk, jadilah depresi.
Hasil akhir depresi ada dua: Bunuh diri atau jadi gila.
Dari uraian DR Cammarata itu, buat mereka yang tidak kuat menghadapi kesulitan hidup, wajib konsultasi ke pakar. Setidaknya curhat kepada keluarga yang dirasa bisa memberi dorongan semangat hidup. Bukan seperti Caroline. Yang kata Papa Gunawan: “Bernadette orangnya pendiam. Apa pun selalu dipendam sendiri.”
Akibatnya stres menumpuk jadi depresi. Berakhir tragis.
Penulis adalah Wartawan Senior
BERITA TERKAIT: