Ini soal
hard facts, fakta keras yang kita punyai. Tergantung hati nurani disertai keberanian dan otak cerdas bangsa Indonesia untuk mengolahnya menjadi energi yang bisa mengentaskan kita dari jebakan
middle income trap. Kita sudah berada di status
middle income dengan hitungan sederhana GDP per kapita sekitar USD 4-5 ribu di tahun 2023 ini. Presiden Joko Widodo mengaku sudah mempelajari beberapa negara di dunia yang terjebak dalam apa yang disebut
middle income trap ini, kenapa mereka bisa sampai seperti “lumpuh” begitu.
Bergembira karena berhasil masuk kriteria ini, tapi tak pernah bisa keluar dari lingkaran ini. Sepertinya terperangkap untuk terus menerus bergembira di status quo sebagai negara berkembang terus menerus.
Siapa pihak yang berkepentingan untuk kita tinggal di status quo ini? Pihak internal maupun eksternal. Mereka yang menikmati “keluguan” bangsa Indonesia dalam mengolah segala sumber daya yang dimilikinya. Ya, pihak internal di negeri sendiri maupun eksternal dari negara lain. Ini yang disebut sebagai hambatan atau tantangan riil kita.
Dalam analisa
pareto principle, hilirisasi industri pertambangan adalah salah satu yang
urgent. Nikel, disamping bauksit sebagai kelanjutannya. Apakah dengan mengekspor mentahan kita untung? Ya, jelas untung. Tapi produk olahannya bakal jauh lebih menguntungkan. Ini yang jadi kunci lepas landas dari jebakan middle income trap. Nilai tambah yang jauh berlipat-lipat bisa mendongkrak Indonesia ke rivalitas negara-negara maju.
Multiplier effect secara keekonomian adalah kuncinya. Sambil terus menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten. Revolusi mental manusia-manusia Indonesia yang profesional, lebih cerdas, lebih beradab dan berbudaya. Sebuah proses panjang yang tak boleh ada jedanya. Membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Dalam konteks ini Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep, mengimbau anak muda agar mau masuk dalam kancah politik. Ini penting untuk menyelamatkan masa depan milik mereka sendiri. Demi membangun Indonesia yang hebat.
Sebentar lagi kita masuk dalam pertarungan politik lima tahunan. Pemilu 2024 ini akan sangat menentukan, karena fase 2014-2019 itulah sepertiga dari 3 masa kepemimpinan ke depan yang amat menentukan apakah Indonesia bisa lepas landas atau tertinggal di landasan.
Jokowi sudah membangun landasan yang kokoh di masa kepemimpinannya. Persatuan dan kesatuan. Di tengah hiruk pikuk skandal korupsi yang dilakukan penguasa maupun pengusaha. Dari partainya sendiri (PDIP) maupun parpol pendukungnya (Gerindra, Nasdem, Golkar, dll).
Dari tiga kontestan capres-cawapres, Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran, siapa yang bisa menjadi nakhoda tangguh yang mampu membawa kapal besar Indonesia menuju ke destinasi berikutnya?
Keberanian, itu yang berkali-kali ditekankan Jokowi. Berani, punya nyali, mau bekerja keras demi rakyat. Demi rakyat berani ambil resiko, karena ancaman atau tantangannya datang dari dunia internasional, juga dari para mafia di dalam negeri. Juga dari partai sendiri yang punya kepentingan pragmatis dan oportunis.
Bukan perkara mudah. Kita yang sudah mengalami cara Jokowi memimpin sampai membawa Indonesia ke posisi yang begitu terhormat di kancah dunia, maupun di dalam negeri dengan
approval rate sampai 80% lebih, tentu ingin ini terus berlanjut.
Keberlanjutan, untuk itu perlu keberanian dan kemandirian serta kemauan untuk bekerja keras dari ketiga paslon. Namun ketiga paslon itu tidak berdiri sendiri. Ada tiga
king maker di belakang mereka.
Surya Paloh, Megawati dan Jokowi. Kita tidak semata-mata memilih paslon capres-cawapresnya, tapi juga
king maker di belakangnya.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP) Jakarta
BERITA TERKAIT: