Yang luar biasa, si utusan capres bilang: gue mau ajak
lu seneng.
Lu bantu
gue, lu minta kendaraan operasional apa? Alphard? Pajero Sport? Sebut aja. Ini lembar kertas MoU.
Lu sebutin aja. Uang operasional berapa lu mau?
Lu sebutin aja.
Lu-gue. Ini bahasa yang mereka pakai. Konon katanya mereka berdua memang temen lama. Temen dari susah. Sekarang orangnya capres sudah sukses. Mau ajak seneng si ustaz.
Lalu, si utusan capres keluar. Lihat mobil si ustaz. Mobil yang ia tawarkan lebih bagus dan lebih mahal dari mobil ustaz yang diparkir. Sambil meledek kepada si ustaz, utusan capres bilang: masih berapa lama cicilannya?
Makin mantap ia rayu dan tawarin mobil kepada si ustaz. Inget: Alphard atau Pajero Sport? Utusan capres itu juga bilang: di Pilpres 2024, bos
gue paling besar dananya.
Dari mana dia dapat dana besar itu ya? Gaji pejabat kan gak besar-besar amat.
Ini satu dari sekian cerita yang kita denger. Banyak ustaz dan tokoh mendapat tawaran mobil mewah dari seorang capres. Tentu melalui utusan dan orang kepercayaan. Antara Alphard dan Pajero Sport. Ceritanya sudah beredar, khususnya di wilayah Jakarta dan Jawa pada umumnya. Anda juga ustaz? Dapat tawaran juga? Boleh nanti anda cerita. Kecuali jika anda sudah terima, pasti gak akan mau cerita.
Jika ada ustaz atau tokoh masyarakat pakai Alphard atau Pajero Sport baru, jangan anda curigai itu pemberian dari seorang capres yang dananya paling besar tadi. Jangan! Siapa tahu itu bener. Kan malu.
Ironis! Demokrasi yang terbeli. Liberal! Bukan demokrasi Pancasila. Tapi, demokrasi yang sarat transaksional. Demokrasi dengan money politics yang dominan dan masif. Bagaimana nasib bangsa ke depan jika capres model begini yang jadi? Negara ini akan ditransaksikan. Semua masalah akan diselesaikan dengan uang
Mengapa demokrasi kita jadi seperti ini? Kenapa di negeri Pancasila demokrasinya didominasi oleh praktik jual beli? Jangan bilang karena Indonesia bukan penganut sistem khilafah. Gak masuk sama sekali di otak saya. Utopia!
Begini penjelasannya. Pemilih kita mayoritas tidak berpendidikan. Hanya 6 persen yang sarjana. Sebanyak 21,1 persen lulusan SMA. Sisanya lulusan SD san SMP. Sebagian tidak sekolah. Mereka secara umum tidak tahu kriteria capres yang tepat. Tidak paham capres mana yang punya kemampuan memimpin negeri ini. Mereka mudah dipengaruhi, bahkan dibohongi dengan berbagai gimik. Disentuh hatinya dengan senyum dan atraksi politik. Semua serba pencitraan. Rasionalitasnya secara umum tidak jalan.
Sementara kelas menengah yang punya pengaruh, umumnya pragmatis. Bergantung siapa yang berani bayar besar. Siapa yang bersedia siapin operasional cukup. Siapa yang siap bertransaksi dan menjanjikan ekspektasinya. Masyarakat pemilih yang umumnya hanya lulusan SMA kebawah, sebagian sangat dipengaruhi pilihannya oleh kelompok kelas menengah yang punya pengaruh tadi.
Kalau para penjaga moral seperti para agamawan dan akademisi memilih sikap pragmatis, terutama dalam setiap pemilu, maka capres yang akan terpilih adalah mereka yang punya dukungan logistik paling kuat. Modal akan jadi penentu kemenangan. Bukan integritas dan kapabilitas. Kalau demikian, maka masa depan negara akan diperjudikan.
Kecuali situasi dimana rakyat sudah jenuh terhadap situasi yang ada, dan ada gelombang keinginan untuk perubahan, maka capres terutama yang muda, tampil beda dan kehadirannya dianggap antitesa dari penguasa yang ada, akan mendapat peluang lebih besar untuk menang.
Fenomena SBY di Pilpres 2004 dan Jokowi di Pilpres 2014 memberi indikator sebagai dua capres yang tampil sebagai antitesa terhadap penguasa pada zamannya.
Apakah saat ini ada indikator kejenuhan, atau malah kemarahan rakyat pada penguasa yang ada? Adakah tampil seorang yang diidentifikasi sebagai antitesa penguasa, dan memberi ruang baginya untuk menang lebih besar?
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
BERITA TERKAIT: