Demikian pula dalam kaitannya dengan kebijakan publik. Yang paling dibutuhkan masyarakat sekarang ialah kepedulian dan perhatian, cinta dan bukan kepalsuan dari para pemimpin.
Berdasarkan intuisi dan rasa kolektif masyarakat, dapatlah dirasakan mana pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang untuk kesejahteraan umum dan mana yang hanya memanfaatkan suara rakyat untuk berkuasa lalu menggunakan kekuasaan tersebut untuk keuntungan dan kelimpahan keluarganya sendiri.
Memanusiakan Warga Eks Kampung Bayam
Beberapa waktu lalu saya melintaskan sebuah ide untuk Jakarta yang bersifat humanis dan solider. Saya kira itu pula yang sedang dikerjakan oleh Heru Budi Hartono saat ini. Aspek manusiawi senantiasa dipertimbangkan dalam pemutusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Contoh paling aktual ialah pemindahan warga eks Kampung Bayam.
Bahwasanya mereka yang sebelumnya cukup lama tinggal secara tidak manusiawi di tenda darurat di area lapangan JIS, kini dimanusiawikan dengan ditempatkan di rusun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara, di tower 3 lantai 12 dan 13. Ada tempat tipe 36 yang dilengkapi dengan kamar, ruang tamu, kamar mandi dan dapur serta tersedia puluhan balkon untuk menjemur pakaian.
Pemprov DKI dalam hal ini Pak Heru Budi Hartono, menggratiskan biaya sewa. Masyarakat hanya membayar listrik dan air di tempat yang sangat layak ini, lengkap dengan fasilitas umum seperti masjid dan taman untuk anak-anak.
Saya secara pribadi angkat topi, demikian juga GMT Institute Jakarta mengapresiasi tinggi prakarsa yang manusiawi, humanis, solider dan mulia dari Heru Budi Hartono ini. Kebijakan publik memang niscaya demi manusia.
Manusia adalah nilai tertinggi yang tidak bisa diganggu gugat. Apapun kebijakannya, kebaikan manusia adalah nilai yang paling tinggi.
Mengisi Rumah KosongKebijakan misalnya terkait perumahan rakyat dan kawasan pemukiman memang tidak bisa dilepaskan dari aspek dan pertimbangan humanis. Memang harus diakui bahwa persoalan krusial di Jakarta di antaranya adalah ketersediaan tempat tinggal di tengah semakin padatnya jumlah penduduk, semakin sempitnya lahan terbuka dan semakin tingginya harga jual tanah.
Ada pula ironi: begitu banyak rumah yang kosong (mewah dan standar) dan tidak ditempati sehingga rusak begitu saja, sementara ada yang tidak punya rumah, di kolong jembatan atau di permukiman kumuh. Mungkin bisa dipikirkan aspek keberimbangan sosial terkait ironi ini.
Itulah yang kemudian disadari oleh Heru Budi Hartono, dalam hal ini pemindahan eks warga Kampung Bayam. Ada ide lain juga seperti misalnya melalui pembangunan rumah susun/ TOD dengan skema yang memudahkan masyarakat, juga pengecekan rumah-rumah kosong yang tidak dihuni di seantero Jakarta. Jika tidak dipakai, bisa mungkin disewa untuk para tunawisma dengan perjanjian hitam di atas putih. Dengan demikian tidak ada lagi fenomena perkampungan di bawah kolong tol atau gelandangan.
UU Kekhususan harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat dalam rangka mewujudkan tempat tinggal yang layak bagi warga Jakarta, sehingga tidak seorang pun di Jakarta ini harus tidur di pinggir jalan atau di bawah jembatan. Itulah solidaritas dan sensitivitas.
Perihal KebudayaanJakarta menjadi rumah bersama bagi semua suku, ras dan agama. Aspek diversitas ini telah menjadikan Jakarta sebagai kota multikultural, kendati pada mulanya Jakarta ditempati oleh suku Betawi. Suku Betawi hendaknya tidak dianggap sepi, atau hanyalah berupa ondel-ondel yang berkeliling meminta sumbangan sebagaimana banyak di jalan-jalan.
Bagaimana Dinas Kebudayaan mengakomodasi budaya Betawi menjadi PR besar. Namun bukan banyak Betawi, setiap budaya lain dengan sukunya masing-masing memiliki perangkat adat istiadat yang mengatur cara hidup masyarakatnya.
Adat istiadat ini perlu mendapat payung hukum sebagai sebuah otoritas sendiri sehingga dilindungi dengan adanya intervensi pemerintah. Adat istiadat bahkan bisa sebagai salah satu sumber atau inspirasi regulasi, sehingga nilai dan kekayaan budaya tersebut semakin mengakar dalam hidup bersama dan dengan sendirinya akan lestari.
Inventarisasi hukum adat yang bersumber dari budaya itu harus dilakukan untuk kemudian diadopsi ke dalam domain UU kekhususan Jakarta, demi memanusiakan manusia di tengah gempuran globalisasi dan roda zaman. Identitas tetap harus diutamakan dalam kebijakan publik.
Penulis adalah Peneliti Kebijakan Publik GMT Institute Jakarta
BERITA TERKAIT: