Data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait penduduk miskin Indonesia pada Maret 2023 menunjukkan angka sebesar 25,90 juta orang. Sekalipun angka tersebut menurun 0,26 juta orang dari Maret 2022, namun jumlah 25,90 juta orang miskin tersebut merupakan tantangan tersendiri. Sebab, besaran angka itu dapat berpotensi menjadi kelompok yang tidak percaya kepada Pemerintah. Selain itu, yang perlu diantisipasi dalam era disrupsi teknologi seperti saat ini bahwa angka penduduk miskin tersebut dapat berubah sewaktu-waktu.
Data BPS juga menunjukkan bahwa pada bulan Maret 2023, tingkat pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio yaitu sebesar 0,388. Angka tersebut meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio pada bulan Maret 2022 yang besarannya terdapat pada angka 0,384. Data ini menjadi penanda bahwa terdapat ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia.
Lembaga Oxfam melaporkan bahwa pada dua dekade terakhir, kelompok terkaya dan kelompok lain di Indonesia mengalami pertumbuhan kesenjangan lebih cepat dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Oxfam bahkan menyampaikan bahwa Indonesia menjadi negara keenam dengan ketimpangan kekayaan terbesar di dunia. Jika dibandingkan total kekayaan 100 juta orang termiskin, 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang lebih besar.
Data-data yang ditampilkan baik oleh BPS maupun Oxfam menunjukkan suatu gap. Dalam banyak hal, gap tersebut dapat berpotensi melemahkan kohesi sosial masyarakat. Gap antara kelompok kaya dan miskin tersebut pada akhirnya melahirkan stratifikasi sosial, di mana stratifikasi sosial secara umum dipahami sebagai pembedaan atau pengelompokan anggota masyarakat secara bertingkat.
Dasar pembentukan stratifikasi sosial memang bermacam-macam. Dalam gap kaya dan miskin sebagaimana data yang disampaikan BPS dan Oxfam sebelumnya, stratifikasi sosial didasarkan atas kepemilikan kekayaan. Kekayaan dapat digunakan sebagai ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada. Seseorang atau kelompok yang memiliki kekayaan paling banyak akan ditempatkan pada lapisan sosial atas. Sebaliknya, yang tidak memiliki kekayaan akan ditempatkan ke lapisan sosial rendah.
Pada akhirnya, stratifikasi sosial membuat seseorang sadar akan posisinya di dalam kelompok masyarakat, apakah orang tersebut berada pada lapisan sosial di atas atau lapisan sosial di bawah. Ketika orang tersebut memiliki kekayaan berlebih, maka ia akan menyadari posisinya berada pada lapisan sosial atas. Sebaliknya, ketika seseorang tidak memiliki kekayaan berlebih, ia akan menyadari bahwa dirinya berada pada lapisan sosial bawah. Selain didasarkan pada kesadaran menilai diri sendiri, pengelompokan lapisan sosial juga didasarkan atas penilaian orang lain terhadap dirinya .
Dalam banyak hal, lapisan sosial di atas memiliki kuasa atau dominasi terhadap masyarakat yang berada pada lapisan sosial di bawah dalam stratifikasi sosial. Sebab lapisan sosial yang berada di bawah dipandang tidak mampu secara material dan membutuhkan apa yang dimiliki oleh kelompok lapisan sosial atas untuk survive. Terkait kebutuhan lapisan sosial bawah terhadap apa yang dimiliki oleh kelompok yang berada di lapisan sosial atas itulah, maka kelompok kaya menguasai kelompok miskin yang tidak berpunya.
Namun demikian, pada kenyataannya, tidak semua lapisan sosial bekerja tanpa ada perlawanan. Maksudnya, tidak semua lapisan sosial yang berada di bawah menerima begitu saja keberadaannya dikuasai oleh lapisan sosial atas. Ketika lapisan sosial bawah berpandangan bahwa keberadaanya yang tidak memiliki kekayaan merupakan buah dari kebijakan struktural, maka sikap ketidaksetujuan atas posisi sosialnya dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk. Hal ini pada akhirnya membawa masalah kesenjangan antara kaya dan miskin menjadi situasi yang berbahaya dan dapat menjadi bibit konflik sosial, separatisme, radikalisme, ekstrimisme, termasuk juga terorisme.
Dalam konteks kejahatan, kemiskinan dapat memotivasi orang untuk mencari kebutuhan hidup dengan cara apapun, sedangkan orang kaya cenderung didorong oleh keserakahan yang untuk menambah nilai kekayaannya berpotensi dapat melakukan cara apapun juga. Jika orang kaya menggunakan mekanisme pertahanan kekayaan, maka kelompok yang kurang beruntung cenderung akan mengoreksi situasi ketidakadilan yang dialaminya.
Ketika stratifikasi kekayaan antara lapisan sosial atas yang diisi oleh orang-orang kaya dan lapisan sosial bawah yang diisi oleh kelompok yang tidak berpunya, dikaitkan dengan masalah terorisme, maka kesenjangan sosial merupakan bibit pendorong terorisme di banyak negara, termasuk Indonesia.
Ketidakadilan terhadap distribusi pendapatan dalam masyarakat melahirkan frustasi yang dapat diekspresikan ke berbagai bentuk kekerasan. Jika terorisme dianggap sebagai penyakit, maka penyakit ini menyebar pada seluruh masyarakat yang terfragmentasi, di mana tatanan ekonomi dan sosial dihancurkan oleh adanya kesenjangan. Sebagian kelompok dalam masyarakat merasa termarginalisasi, menganggap tidak ada yang peduli, dan berpandangan bahwa negara telah bersikap sewenang-wenang.
Terorisme merupakan bentuk ekspresi pernyataan perang terhadap kelompok yang dianggap “memiliki hak istimewa”. Untuk itu, pemberian hukuman terhadap para pelaku dianggap belum mampu secara maksimal menurunkan tingkat kejahatan terorisme. Sebab, dasar yang paling pokok sebenarnya terletak pada masalah keadilan sosial. Ketidakadilan sosial memunculkan wajahnya sebagai akar perkembangan terorisme. Atas dasar tersebut, maka terorisme bukan lagi membahas tentang keyakinan radikal terhadap ideologi tertentu, akan tetapi lebih pada mempersoalkan masalah kesenjangan dalam stratifikasi sosial.
Karena masyarakat yang sejahtera merupakan masyarakat yang terbebas dari rasa takut akan segala bentuk penindasan, penyakit, kelaparan, kebodohan, dan rasa takut akan masa depan, maka redistribusi kesejahteraan secara efektif diharapkan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan secara paralel diharapkan dapat mengurangi aktivitas teroris di Indonesia.
Redistribusi pendapatan dapat memunculkan anggapan, bahwa keadilan masih dapat diperoleh, yang membuat masyarakat melihat masih terdapat hari esok di bawah pemerintahan yang berkuasa. Dengan demikian, masyarakat menjadi percaya kepada Pemerintah sebagai fasilitator keadilan sosial yang mengakomodir kepentingan seluruh warga negara dan tidak sekadar berpihak pada lapisan sosial atas yang dominan saja.
*Penulis adalah Siswa Program Doktoral STIK-PTIK
BERITA TERKAIT: